Pengalaman perempuan danlaki-laki berbeda dalam kesenjangan danketidakberdayaan yang menyebabkanseseorang masuk dalam lingkarankemiskinan.Konsep feminisasi kemiskinan menggambarkan ketidakadilan dalam soal keterwakilan wanita di antara orang miskin dibandingkan dengan laki-laki (ILO, 2004). Hal ini juga diungkapkan oleh Moghadam (2005) yang mendefinisikan feminisasi kemiskinan sebagai pertumbuhan populasi perempuan yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Terdapat beragam bentuk kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak, maupun perempuan bersama anak. Menurut ILO (2004) bentuk kemiskinan yang dialami perempuan pada aspek pendidikan, jenis pekerjaan, lapangan kerja, upah, dan keterwakilan politik, yaitu tingkat pendidikan dan yang ditamatkan lebih rendah dibandingkan laki-laki, jumlah pekerja perempuan yang tidak dibayar maupun kerja di sektor informal lebih tinggi dibandingkan laki-laki, upah yang diterima lebih rendah dibandingkan laki-laki, ketenagakerjaan (jumlah pengangguran dan setengah pengangguran) yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki, serta politik (jumlah keterwakilan perempuan pada DPRD tingkat 1 dan 2) lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Bentuk kemiskinan lainnya yang terjadi pada perempuan adalah mengalami kekurangan gizi, pelayanan kesehatan, air bersih, sanitasi dan berbagai bentuk layanan sosial lainnya. Perempuan menjadi subyek dari nilai-nilai sosial yang membatasi mereka yang meningkatkan kondisi ekonomi atau menikmati akses yang sama ke pelayanan umum.
Adapun karakter perempuan miskin menurut Todaro (2000) yaitu sebagai kepala keluarga, rendah kapasitas untuk menghasilkan pendapatan sendiri, terbatas kontrol pada pendapatan suami, keterbatasan akses pada pendidikan, pekerjaan yang layak di sektor formal, tunjangan-tunjangan sosial dan program-program penciptaan lapangan kerja.Jadi semakin meningkatnya keterbelakangan perempuan bukan lantaran mereka tidak layak dan tidak mampu berpartisipasi dalam pembangunan, tetapi karena perlakuan yang tidak adil, kerja mereka tidak dianggap sebagai kerja yang menghasilkan keuntungan (Shiva 2005).
Chant (2009) mengenai aplikasi dari BPFA menyatakan bahwa karakteristik feminisasi kemiskinan terlihat dari adanya kepala keluarga perempuan pada rumahtangga miskin, dimana hal ini sejalan dengan ditemukannya anak di luar pernikahan, anak yang lahir tanpa pengakuan dari ayahnya, dan banyaknya bayi yang lahir dari Ibu yang usianya kurang dari 20 tahun. Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) merupakan salah satu kelompok masyarakat yang telah termarjinalkan dalam sistem sosial, ekonomi, politik dan budaya di Indonesia. Data Profil Perempuan Indonesia (2011-2015) menyatakan masih lebih tingginya perempuan kepala keluargayang tidak memiliki ijazah dibandingkan laki-laki. Sejak tahun 2011 hingga 2015 jumlah perempuan kepala keluarga yang tidak mempunyai ijazah terus mengalamai penurunan dari 52.02% hingga 46.01%. Hal ini berbeda dengan data pada laki-laki kepala keluarga yang tidak memiliki ijazah yang juga mengalami penurunan pada rentang waktu tersebut dari 22.76% menjadi 19.61%.
Jikapun ada perempuan kepala keluarga yang memiliki ijazah adalah sebagai lulusan SD yang sejak tahun 2011-2015 meningkat dari 23.29% menjadi 24.47%. Jaggar (2013) menyatakan bahwa kehidupan miskin perempuan tidak hanya dicirikan oleh rendahnya pendapata namun juga kesulitan yang berhubungan dengan gender mereka, seperti kerentanan secara seksual, marjinalisasi politik, dan beban kerja berlebih. ILO (2004) melihat adanya pengaruh dari ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan sebagai akar dari munculnya kemiskinan.
Feminisasi kemiskinan dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu:
- Akses perempuan terhadap pekerjaan,
- akses terhadap upah yang sama,
- akses pendidikan, dan
- beban pekerjaan.
Ada pandangan di kalangan ilmuwan sosial bahwa kemiskinan sebenarnya tidak lahir dengan sendirinya dan juga bukan muncul tanpa sebab, tetapi kondisi ini banyak dipengaruhi oleh struktur sosial, ekonomi dan politik. Jon Sobrino (1993) menelaah keberadaan orang miskin sebagai rakyat yang tertindas dalam dua perspektif.
Pertama; pada tataran faktual, kemiskinan pada masyarakat yang sedang berkembang ternyata tidak hanya menyebabkan penderitaan yang tak berkesudahan, melainkan juga kematian manusia sebelum waktunya. Penindasan sistimatis dan konflik bersenjata telah memperburuk situasi mereka yang tertindas.
Kedua; pada tataran historis-etis, penderitaan kaum miskin dan tertidas itu disebabkan oleh struktur-struktur yang tidak adil baik di tingkat lokal maupun global yang lebih jauh telah menghasilkan kekerasan yang melembaga (institutionalized violence) dan korbannya pertama-tama adalah mereka yang miskin (Cahyono, 2005; 9).
Pandangan di atas memperkuat asumsi bahwa pada masyarakat yang budaya patriarkinya masih sangat kental dengan maka penanganan masalah kemiskinan nampaknya memerlukan pendekatan tersendiri yang mungkin berbeda dengan penanganan kemiskinan di daerah yang matrilineal. Pada masyarakat dengan kondisi budaya yang sangat paternalistik, mereka yang berada pada posisi yang tertindas dan lemah akan lebih banyak yang miskin. Mereka ini adalah kaum perempuan, dimana pada masyarakat patrilineal perempuan menduduki posisi subordinat laki-laki, termarjinal dan terdiskriminasi.
Whitehead (dikutip Cahyono dalam JP. 42 2005; 11) telah mendata bahwa lebih dari separo penduduk miskin di negara berkembang adalah kaum perempuan. Data dari perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan bahwa dari 1,3 miliar warga dunia yang masuk katagori miskin, 70% nya adalah kaum perempuan Hal ini menguatkan terjadinya feminisasi kemiskinan yakni sebuah kenyataan bahwa sebagian besar angka kemiskinan dialami oleh kaum perempuan.
Kemiskinan yang dialami oleh masyarakat Indonesia adalah kemiskinan majemuk dalam arti kemiskinan yang terjadi bukan hanya kemiskinan sandang pangan, tetapi juga kemiskinan identitas, informasi, akses, partisipasi dan kontrol.
Oleh karena itu, sebagian besar perempuan Indonesia yang miskin tidak hanya secara ekonomi mereka terkebelakang tetapi juga dalam hal keterbatasan akses terhadap informasi, pendidikan, politik, kesehatan dan lain-lain, partisipasi merekapun kurang diberi tempat. Hal ini yang pada gilirannya memunculkan feminisasi kemiskinan di masyarakat Indonesia.
Sumber dari permasalahan kemiskinan yang dihadapi oleh perempuan menurut Muhadjir (2005, 166) terletak pada budaya patriarki yaitu nilai-nilai yang hidup dimasyarakat yang memposisikan laki-laki sebagai superior dan perempuan subordinat.
Budaya patriarki seperti ini tercermin dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan menjadi sumber pembenaran terhadap sistem distribusi kewenangan, sistem pengambilan keputusan, sistem pembagian kerja, sistem kepemilikan dan sitem distribusi sumberdaya yang bias gender. Kultur yang demikian ini akhirnya akan bermuara pada terjadinya perlakuan diskriminasi, marjinalisasi, eksploitasi maupun kekerasan terhadap perempuan.
Pada dasarnya ada faktor struktural yang menyebabkan individu dalam keluarga dan masyarakat tidak mempunyai akses yang sama untuk merealisasikan hak-haknya sebagai anggota keluarga, anggota masyarakat maupun sebagai warga negara. Salah satu hambatan struktural tersebut adalah adanya relasi gender (gender relation) yang tidak adil dan setara sebagai akibat dari budaya yang sangat paternalistik.
Selain hal tersebut di atas, struktur budaya patriarkhi juga melahirkan keterbatasan perempuan dalam hal pengambilan keputusan baik di dalam keluarga maupun di masyarakat. Dalam keluarga, pengambilan keputusan didominasi oleh kaum laki-laki, demikian juga di lingkungan masyarakat yang lebih luas. Di ranah publik, eksistensi perempuan juga kurang diperhitungkan, terbukti dengan minimnya jumlah perempuan yang menduduki posisi jabatan struktural baik di legislatif, eksekutif maupun yudikatif.
Dengan demikian maka feminisasi kemiskinan adalah keterwakilan perempuan dalam kemiskinan sebagai konstruksi sosial dari ketimpangan relasi gender yang dialami perempuan dari laki-laki sehingga berdampak pada keterbelakangan perempuan dalam aspek pendidikan, ketenagakerjaan (ekonomi), akses dalam layanan kesehatan,keterwakilan politik,dan sosial (kekerasan).
PUSTAKA
- Cahyono. 2005: “ Wajah Kemiskinan Wajah Perempuan” Jurnal Perempuan,”Mengurai Kemiskinan: Di mana Perempuan?”, No.42, Tahun2005
- ILO. 2004. Jender dan Kemiskinan. Kantor Perburuhan Internasional
- Muhadjir, 2005; Negara dan Perempuan.Jogyakarta. CV. Adipura.
- Moghadam, V.M. 2005. Globalizing women: Transnational feminist networks. MD: The Johns Hopkins University Press. Baltimor
- Shiva, V & M, Mies. 2005. Ecofeminism: Perspektif Gerakan Perempuan &Lingkungan. Terj dari Ecofeminismoleh Kelik Ismunanto & Lilik. IRE Press. Yogyakarta
- Todaro. M.P., 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga(H.Munandar, Trans. Edisi Ketujuh ed.). Jakarta: Erlangga.
Belum ada tanggapan untuk "Feminisasi Kemiskinan dalam Kultur Patriarki Di Indonesia"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung