Untuk masa sekarang ini sudah diketahui bersama bahwa perempuan sebagai separuh penduduk Indonesia memiliki potensi yang harus dimanfaatkan untuk kemajuan bangsa. Sudah bukan hal yang aneh, perempuan Indonesia seratus tahun yang lalu ikut berjuang melawan penjajah dan ikut mendorong kemajuan bangsa melalui perannya sebagai ibu dan pendidik anaknya. Pada masa kemerdekaan seperti sekarang ini, perempuan telah banyak bergerak hampir di semua bidang. Namun potensi yang dimiliki perempuan sering terabaikan karena faktor budaya dan struktur yang terbentuk di lingkungan masyarakat.
Dalam masyarakat tradisional, perempuan biasanya telah memanfaatkan sumber daya sekitar dan menggunakan kearifan lokal untuk bertahan dan melanjutkan kehidupannya. Dalam dunia modern, peran-peran tradisional tersebut tetap menjadi satu kekuatan tersendiri dalam menyikapi perubahan-perubahan yang cepat terjadi. Industri-industri kerajinan rumah, tenun, batik, jamu, makanan khas daerah, hingga perdagangan umum dan industri jasa telah menjadi satu kekuatan tersendiri bagi kaum perempuan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga dan untuk meningkatkan kualitas hidup keluarga.
Perempuan terjun menjadi pengusaha dan di berbagai belahan dunia, perempuan pengusaha umumnya menjadi pengusaha yang berhasil. Fischer (1993) menilai keberhasilan ini karena perempuan ternyata lebih berhati-hati dan waspada dalam menjalankan bisnisnya dan sama efektifnya seperti laki-laki.
Perempuan pengusaha cenderung lebih sadar akan resiko atas pertumbuhan yang cepat dan lebih memilih perkembangan usaha yang perlahan tapi berlanjut. Kecenderungan ini dinilai para peneliti (Cliff, 1998; Watson dan Robinson, 2002) bahwa perempuan pengusaha cenderung untuk membatasi usahanya dan mengurangi pertengkaran atau ketidaksepahaman di tempat kerja.
Penelitian yang dilakukan ADB (2001) di dua kota besar di Indonesia menyimpulkan bahwa perempuan-perempuan pengusaha merupakan manajer yang baik dan sangat berhati-hati dalam mengembangkan bisnisnya. Survey yang dilakukan ADB (2002) setahun kemudian terhadap usaha kecil dan menengah menunjukkan ternyata pertumbuhan usaha yang dikelola perempuan lebih maju dari pada usaha yang dikelola laki-laki.
Keberhasilan dan pertumbuhan bisnis yang dikelola oleh perempuan tidak berbeda dengan yang dikelola laki-laki. (Hamilton, 2002). Bisnis yang dikelola perempuan memang cenderung lebih kecil, tapi bukan berarti dikelola dengan menejemen asalan, karena seperti diuraikan di atas perempuan pengusaha cenderung menjaga bisnisnya tidak tumbuh besar. Hamilton juga menemukan perempuan pengusaha akan berhadapan dengan berbagai permasalahan termasuk untuk mendapatkan kredit dan pengembangan usaha.
Untuk alasan-alasan tertentu, perempuan pengusaha tidak memfokus untuk pengembangan usahanya, tetapi lebih pada penataan administrasi untuk kepuasannya dalam melakukan usaha. Lebih lanjut, keputusan yang diambil oleh perempuan pengusaha untuk membatasi pertumbuhan usahanya harus dilihat sebagai pandangan yang lebih luas daripada hanya melihat pada masalah pembiayaan, ekonomi atau pertumbuhan semata. Perempuan memiliki karakter yang lebih termotivasi oleh tujuan-tujuan yang tidak ekonomi dibandingkan laki-laki, oleh sebab itu mereka kurang agresif dan tidak terlalu melihat pada strategi pertumbuhan usaha (Chaganti, 1986).
Perempuan pengusaha juga cenderung untuk melakukan bisnis dan urusan rumah tangga bersama-sama. Mungkin ini merupakan hal yang logis sebagai konsekuensi sebagai seorang ibu tentu menghendaki adanya keseimbangan antara pekerjaan di rumah dan di perusahaan. Apalagi dalam budaya patriarkhi, tentu peran perempuan masih sering dibedakan dan dipisahkan.
Potensi tersebut di atas menyangkut perempuan sebagai individu dan pengusaha. Dari sisi koperasi, koperasi wanita juga mempunyai keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan koperasi-koperasi lainnya. Itu sebabnya sebutan koperasi wanita, yang dianggap sudah terlanjur diberikan dan melekat pada koperasi yang dikelola oleh perempuan, seolah-olah memiliki karakter dan sifat tersendiri. Sebenarnya koperasi wanita sama saja dengan koperasi-koperasi lainnya, hanya karena keistimewaannya yang dikelola dan beranggotakan para perempuan, maka terkesan koperasi wanita menjadi lain. Koperasi wanita cenderung untuk mentaati peraturan dan melaksanakan jati diri koperasi, berarti koperasi ini mengenal adanya nilai-nilai swadaya, tanggung jawab, demokrasi, kebersamaan, dan kesetiakawanan. Contoh saja, dalam koperasi wanita, perempuan dapat melakukan pengaturan dan pengelolaan dana semaksimal mungkin bagi kepentingan anggotanya.
PUSTAKA
- Jurnal Analisis Sosial (2003), Perempuan, Kemiskinan dan Pengambilan Keputusan, Bandung. Akatiga.
- Jurnal Perempuan Edisi 50 (2006), Pengarusutamaan Gender: Mulai Dari Mana?. Jakarta. Yayasan Jurnal Perempuan
- Noerdin, Edriana (2006), Potret Kemiskinan Perempuan: Strategi Pengentasan Kemiskinan Berbasis Gender. Jakarta, Women Research Institute
- Wattson & Robinson (2002), Female Entrepreneurs and Its Implications, Routledge, London.
Belum ada tanggapan untuk "Potensi Perempuan dan Perempuan Pengusaha"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung