Pernikahan usia anak (child marriage) adalah pernikahan yang dilakukan baik oleh perempuan maupun laki-laki sebelum berusia 18 tahun (Maholtra, et. al. 2011). Pernikahan usia anak melibatkan salah satu atau kedua pasangan berusia di bawah 18 tahun, yang terdaftar atau tidak terdaftar secara resmi serta berada di bawah hukum adat, agama atau perdata (IPPF 2006).Pernikahan usia anak juga dikenal sebagai pernikahan paksa (forced marriage) karena anak masih belum mampu mengambil dan memberikan keputusan yang berhubungan dengan pasangan dan pernikahan. Dalam hal ini, anak kurang memiliki pengetahuan terhadap pilihan hidup yang mereka miliki, sehingga menerima pernikahan sebagai bagian dari nasib mereka.
Berbagai kasus pernikahan usia anak sangat sarat dengan isu-isu kesetaraan dan keadilan gender. Salah satunya ditunjukkan dari kecenderungan bahwa pernikahan usia anak lebih banyak terjadi pada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki (Maholtra, et. al. 2011).
UNICEF (2013) memprediksi selama tahun 2011-2020, sekitar 140 juta anak perempuan menikah sebelum berusia 18 tahun, dan 50 juta anak perempuan diantaranya akan menikah sebelum berusia 15 tahun. Pernikahan usia anak telah diakui sebagai salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia, khususnya pada wanita karena membatasi akses wanita terhadap pendidikan dan menempatkan wanita dalam posisi yang berisiko terhadap kekerasan, pelecehan dan eksploitasi.
Permasalahan pernikahan di usia anak memang merupakan permasalahan yang kompleks dan melibatkan banyak aspek, salah satunya terkait dengan ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender. Beberapa dokumen internasional mencatat isu ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender dalam praktek pernikahan usia anak yang biasanya menjadi faktor penyebab terjadinya pernikahan usia anak, yaitu:
- Pemasalahan ekonomi, yang mana anak perempuan lebih dianggap sebagai bebanekonomi orang tua;
- Kontrol terhadap seksualitas, yang mana pernikahan pada anak perempuan diperlukan sebagai cara untuk mengontrol seksualitas anak perempuan, dan secara tidak langsung berhubungan dengan kehormatan keluarga;
- Budaya dan tradisi, yang mana pernikahan merupakan strategi untuk menghindari tekanan sosial yang akan diterima keluarga jika tidak mengikuti persepsi umum mengenai usia ideal anak untuk menikah. Di masyarakat, seringkali ditemukan nilai-nilai terkait “perawan tua” seandainya anak perempuan tidak menikah hingga usia tertentu; dan
- Keamanan, yang mana kemiskinan menjadikan pernikahan usia anak sebagai strategi atau mekanisme perlindungan yang dilakukan orang tua untuk menjamin masa depan anak.Khususnya pada anak perempuan, banyak pandangan yang ada di masyarakat bahwasanya setinggi apapun perempuan berpendidikan pada akhirnya akan menjadi ibu rumah tangga yang sibuk dengan urusan domestik rumah tangga. Hal inilah yang mendorong orang tua mengijinkan ketika anak perempuannya menikah meskipun masih berada di bawah usia 18 tahun.
SUMBER :
- Really simple stats: The UNICEF Ghana internal statictical bulletin. 2015. Diambil dari: http://www.unicef.org/ghana/REALLY_SIMPLE_STATS_-_Issue_5(3).pdf
- Child marriage factsheet. Diambil dari: http://www.equalitynow.org/sites/default/files /Child%20Marraige%20Fact%20Sheet_0.pdf
- Child marriage in South Asia: International and constitutional legal standards and jurisprudence for promoting accountability and change. 2013. Diambil dari: https://www. reproductiverights.org/sites/crr.civicactions.net/files/documents/ChildMarriage_BriefingPaper_Web.pdf
- Solidarity for the children of SAARC. 2013. Diambil dari: https://www.icrw.org/files /publications/Child_marriage_paper%20in%20South%20Asia.2013.pdf
- UNICEF. 2001. Early marriage: Child spouses. Diambil dari: https://www.unicef-irc.org/ publications/pdf/digest7e.pdf
Belum ada tanggapan untuk "Pernikahan Usia Anak dan Isu Keadilan Gender "
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung