Nikah sirri merupakan fenomena yang hingga saat ini belum tuntas diskursusnya dengan berbagai faktor yang melingkupinya. Paktik nikah siri menyisakan beragam masalah yang menyertainya. Pelaku nikah siri pada umumnya tidak berpikir panjang. Mereka tidak mempertimbangkan secara matang akibat yang akan ditimbulkan dari pernikahan siri tersebut. Pelaku tidak berpikir secara jernih apa yang akan terjadi seandainya suatu saat nanti sang suami pergi meninggalkan begitu saja, tentu tidak ada kejelasan status perkawinannya tersebut.
Berikut ini adalah dampak-dampak dari nikah siri:
a. Perempuan dan anak dari nikah siri lemah di mata hukum
Nikah siri sah menurut agama, akan tetapi perkawinan yang tidak dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama memiliki dampak hukum yang tidak ringan karena ketika terjadi perselisihan, istri nikah siri tidak dapat menggugat suaminya. Dalam hal ini, bergaining position istri sangat lemah. Begitu pula dengan anak, status anak status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu, artinya si anak tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya (pasal 42 dan pasal 43 Undang-undang Perkawinan, pasal 100 KHI). Ketidakjelasan status anak di mata hukum mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja suatu waktu si ayah dapat menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya.
b. Berdampak pada psikologis dan kehidupan sosial anak
Nikah siri memiliki dampak psikologis bagi tumbuh kembang anak. Tidak sedikit dari mereka yang menjadi bahan olok-olokkan dari teman sekolahnya, mereka sangat mudah dikenali dan ketika melihat secara sekilas, maka dalam pikiran orang akan muncul persepsi ini anak hasil nikah siri yang tidak jelas di mana keberadaan ayahnya.
c. Lemahnya ketahanan ekonomi keluarga
Ikatan perkawinan nikah siri berlangsung antara 5 – 12 bulan. Hanya sebagian kecil nikah siri berlangsung antara 1 – 5 tahun. Bahkan ada perkawinan siri berlangsung antara 1 – 5 bulan. Kelangsungan pernikahan sangat berpengaruh terhadap ketahanan keluarga, mengingat status perkawinan secara hukum lemah, dampaknya secara ekonomi juga rentan.
d. Hak Dasar Anak Kurang Terpenuhi
Setiap anak anak memiliki hak dasar yang sama, dimanapun dan dalam kondisi apapun. Namun dalam praktiknya, pemenuhan hak dasar anak hasil perkawinan siri, seringkali mengalami kendala dan hambatan, baik aspek pendidikan, kesehatan dan sosial.
Anak hasil nikah siri tidak mendapat hak dasarnya secara penuh. Anak terkendala mendapatkan akta kelahiran, padahal secara hakiki merupakan identitas yang fundamental. Disamping itu, anak sulit diterima secara sosial, anak diacuhkan oleh lingkungannya dan anak sulit mendaftar ke sekolah negeri, karena tidak cukup administratif terutama akta kelahiran. Akibatnya anak berpotensi menjadi terlantar dan mengalami hambatan tumbuh kembang.
e. Mengalami hambatan soal waris
Anak yang lahir dari perkawinan siri ini masih menjadi perdebatan yang cukup panjang. Menurut Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.” Namun, perkawinan tersebut harus dilaporkan dan dicatat di Kantor Urusan Agama atau di Catatan Sipil bagi yang bukan beragama Islam. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang menyatakan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Begitu pula di dalam Pasal 5 KHI disebutkan: (1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat. (2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 32 Tahun 1954.
Tanpa adanya pencatatan tersebut, maka anak yang lahir dari pernikahan siri hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya atau keluarga ibunya. Pasal 42 UU Perkawinan menyebutkan bahwa “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”, dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”Ini juga dikuatkan dengan ketentuan KHI mengenai waris yaitu Pasal 186 yang berbunyi ”Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.” Oleh karena itu, dia hanya mewaris dari ibunya saja.
Untuk anak luar kawin yang tidak sempat diakui atau tidak pernah diakui oleh Pewaris (dalam hal ini ayahnya), berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang menguji Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, sehingga pasal tersebut harus dibaca: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Jadi anak luar kawin tersebut dapat membuktikan dirinya sebagai anak kandung dari pewaris. Namun demikian, jika mengacu pada Pasal 285 KUHPerdata yang menyatakan bahwa apabila terjadi pengakuan dari ayahnya, sehingga menimbulkan hubungan hukum antara pewaris dengan anak luar kawinnya tersebut, maka pengakuan anak luar kawin tersebut tidak boleh merugikan pihak istri dan anak-anak kandung pewaris. Artinya, anak luar kawin tersebut dianggap tidak ada. Oleh karena itu, pembuktian adanya hubungan hukum dari anak hasil perkawinan siri tersebut tidak menyebabkan dia dapat mewaris dari ayah kandungnya (walaupun secara tekhnologi dapat dibuktikan). Pendapat ini juga dikuatkan oleh Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia tanggal 10 Maret 2012 yang menyatakan bahwa anak siri tersebut hanya berhak atas wasiat wajib.
f. Keutuhan Keluarga Rentan
Perkawinan siri rentan mengalami keretakan dalam mempertahankan keluarga. Terutama mereka yang melakukan nikah siri dengan orang asing, mulanya anak mendapatkan semua hak sebagai sebagai layaknya istri dan anak. Akan tetapi setelah beberapa tahun kemudian tidak lagi mendapatkan nafkah dari suaminya, mengingat suami kembali ke negara asalnya. Bahkan pada saat meminta suami agar menghadiri resepsi pernikahan anaknyapun, mengalami kendala dan tidak mau hadir dalam acara resepsi pernikahan anaknya.
g. Berdampak secara kultural
Ketika praktik nikah siri menjadi suatu hal yang biasa, maka nikah memberikan efek soio-kultural masyarakat setempat. Sebagian muncul pandangan miring bahwa laki-laki tidak mau menikah secara sirri untuk isteri kesekian, dianggap sebagai laki-laki penakut.
h. Nikah siri berdampak secara administratif kependudukan
Praktik nikah siri berdampak negatif bagi administrasi kependudukan. Mengingat pemerintah mengalami hambatan untuk mengetahui secara faktual, berapa sebenarnya penduduk yang sudah menikah dan yang belum. Berapa pendudukan yang memiliki akte kelahiran atau belum. Sementara praktik nikah siri tidak dapat di data secara kongkrit. Padahal tertib administrasi merupakan keharusan dari setiap negara. Administrasi kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam penerbitan dokumen dan data kependudukan melalui, pendaftaran penduduk, pencatatan sipil, pengelolaanaa informasi administrasi kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik. Lemahnya data kependudukan akibat nikah sirri, akan berdampak bagi pelayanan publik.
i. Nikah siri berdampak terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Laporan Indeks Pembangunan Manusia tahun 2015 yang dikeluarkan oleh PBB urusan Program Pembangunan (UNDP) menyatakan Indonesia masih dihadapkan sejumlah kendala dalam hal kualitas sumber daya manusia. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia menempati peringkat ke 110 dari 187 negara, dengan nilai indeks 0,684. Jika dihitung dari sejak tahun 1980 hingga 2014, berarti IPM Indonesia mengalami kenaikan 44, 3 persen. Akan tetapi jika praktik nikah siri tidak mampu dicegah, dipastikan kenaikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia akan sulit terwujud, mengingat keluarga nikah siri, sangat rentan terhadap pemenuhan hak dasar anak, rentan broken home serta rentan secara ekonomi.
j. Beban Perempuan Semakin Besar
Nikah siri berdampak menurunnya kualitas hidup perempuan, karena keluarga dari nikah siri tidak berlangsung lama. Ketika suami tidak lagi memberikan jamiman nafkah, maka istri beralih peran menjadi kepala keluarga, mencari nafkah untuk diri dan anaknya dan penjamin pemenuhan hak dasar anak.
k. Menurunnya kualitas hidup anak
Kehadiran ayah dan ibu dalam satu keluarga merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keberadaan mereka saling mengisi dan melengkapi. Ketidak hadiran salah satu dari keduanya tidak tergantikan oleh siapapun, meskipun kakek, nenek, paman, atau siapun tetap tidak dapat menyamai kasih sayang ayah dan ibu. Kasih sayang seorang nenek terhadap cucunya tidak sama dengan kasih sayang seorang ayah. Kasih sayang seorang kakek ataupun nenek tidak sama dengan kasih sayang orang tua. Suami yang melakukan nikah siri umumnya tidak dapat memberikan kasih sayang sepenuh hati terhadap anaknya.
Mayoritas suami yang nikah siri tidak tinggal satu rumah dengan anak dan istri yang dinikahi siri. Hal ini tentu berpengaruh terhadap kualitas mental dan pribadi anak karena anak tidak mendapat kasih sayang dan perhatian dari ayah, padahal posisinya sebagai pilar yang turut menentukan bagi tumbuh kembang anak.
l. Degradasi nilai pernikahan
Pernikahan adalah ikatan suci. Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama. Ikatan tersebut dinamakan “mitsaqan ghaliza” yaitu perjanjian yang amat kokoh (QS An-Nisa 4:21). Perjanjian demikian hanya ditemui tiga kali dalam Al-Qur’an. Pertama yang disebut di atas, yakni menyangkut perjanjian antara suami-istri dan dua sisanya menggambarkan perjanjian Allah dengan para nabi-Nya (QS Al-Ahzab 33:7) dan perjanjianNya dengan umatNya dalam konteks melaksanakan pesan-pesan agama (QS An-Nisa 4:154).
Perjanjian antara suami-istri sedemikian kokoh, sehingga bila mereka dipisahkan di dunia oleh kematian, maka mereka masih akan digabungkan oleh Allah di akhirat setelah kebangkitan. Praktik nikah sirri dalam banyak kasus ditemukan kekokohan dalam ikatan perkawinan. Bahkan dalam banyak praktik, perkawinan sirri menjadi legalisasi untuk tujuan lain yang secara etis dan agama tidak dibenarkan.
m. Merusak mindset generasi muda
Praktik nikah sirri berdampak negatif bagi mindset generasi muda. Diantara dampak negatif yang potensial timbul yaitu perempuan muda bisa jadi berpikir pragmatis dan instan, ia lebih memilih mencari keuntugan finansial jangka pendek melalui nikah sirri daripada menempuh sekolah dan menampa diri. Apalagi nikah sirri dengan orang asing, secara umum menggiurkan secara ekonomi.
n. Pelemahan status sosial perempuan
Dalam bahtera rumah tangga status seorang perempuan setara dengan laki-laki, keduanya saling membutuhkan dan saling melengkapi. Praktek nikah siri justru menempatkan perempuan menjadi subordinasi, lemah dan dilemahkan bahkan dalam sejumlah kasus dan temuan, posisi perempuan sekedar sebagai objek. Posisi perempuan seolah-olah tidak bernilai, dihitung dengan nilai uang, bukan nilai ketulusan untuk membentuk keluarga yang kokoh. Dalam konteks ini, nikah siri melemahkan nilai kemanusiaan perempuan dan yang sejatinya berhak dihormati, dihargai dan dilindungi.
Belum ada tanggapan untuk "14 Dampak Negatif dari Nikah Sirri "
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung