Desa adalah wilayah yang mandiri dibawah taklukan kerajaan pusat. Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan, kerajaan pusat hanya menuntut loyalitas desa. Sedangkan bagaimana desa menyelenggarakan pemerintahannya, kerajaan pusat tidak mengatur melainkan menyerahkannya kepada desa yang bersangkutan untuk mengatur dan mengurusnya sesuai dengan adat istiadat dan tata caranya sendiri (dalam Nurcholis, 2011:5).
Istilah otonomi berasal dari bahasa yunani, yaitu autos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti undang-undang. Sehingga otonomi bermakna membuat undang-undang sendiri (zelfwetgeving). Namun dalam perkembangannya otonomi juga berarti pemerintahan sendiri (zelfbestuur) (Huda, 2015: 46-47). Istilah “otonomi” sebenarnya tidak dikenal oleh bangsa Indonesia, karena diciptakan oleh Bangsa Belanda. Terlepas dari hal tersebut otonomi adalah hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (Kartohadikoesoemo, 1984: 281).
Sejauh ini tidak terdapat definisi formal tentang otonomi desa yang dirumuskan dalam undang-undang. Namun dalam wacana yang berkembang terdapat empat cara pandang dan pemahaman tentang otonomi desa.
Pertama, cara pandang legal formal dimana diktum desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, desa baru bisa disebut otonom kalau ia memperoleh pembagian kewenangan dan keuangan dari negara, sehingga desa mempunyai kewenangan untuk mengelola pemerintahan.
Kedua, otonomi desa baru dipahami dan ditegaskan sebagai bentuk pengakuan negara terhadap eksistensi desa berdasarkan asal usul dan adat istiadatnya. Ini artinya negara tidak merusak melainkan melindungi eksistensi desa. Lebih dari sekedar pengakuan, otonomi desa berarti pembagian kekuasaan, kewenangan dan keuangan kepada desa.
Ketiga, konsep “self-governing community” sering juga dirujuk sebagai padanan frasa “kesatuan masyarakat hukum”.
Keempat, cara pandang romantik-lokalistik dimana memandang bahwa otonomi desa adalah “otonomi asli” ini menjadi bias, sebab banyak hal “asli” milik desa sudah diambil oleh negara dan dieksploitasi oleh investor.” (Huda, 2015: 50)
Ndraha (1991) menjelaskan bahwa desa otonom adalah desa yang merupakan subjek hukum, yang dapat melakukan tindakan-tindakan hukum. Tindakan-tindakan hukum yang dapat dilakukan antara lain: mengambil keputusan atau membuat peraturan yang dapat mengikat segenap warga desa atau pihak tertentu sepanjang menyangkut rumah tangganya; menjalankan pemerintahan desa; memilih kepala desa; memiliki kekayaan harta benda dari kekayaannya sendiri; memiliki tanah sendiri; menggali dan menetapkan sumber-sumber keuangan sendiri; menyusun APPKD (Anggaran Pendapatan dan Pengeluaran Keuangan Desa); menyelenggarakan gotong royong; menyelenggarakan peradilan desa; Menyelengarakan urusan lain demi kesejahteraan masyarakat desa (dalam Nurcholis, 2011:5).
Belum ada tanggapan untuk "4 cara pandang dan pemahaman tentang otonomi desa"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung