Provinsi Kalimantan Tengah terbentuk dari perjuangan rakyat yang ingin membebaskan diri dari Kalimantan Selatan. Desakan rakyat untuk memisahkan diri digelar dalam bentuk Kongres Rakyat Kalimantan Tengah, yang akhirnya memunculkan keputusan yang merubah Kalimantan Tengah sebagai Provinsi Otonom. Secara resmi keluarlah Keputusan Negara melalui UU Darurat No 10 tahun 1957 bertanggal 23 Mei 1957 yang menjadi hari lahirnya Provinsi Kalteng. Kini, provinsi Kalteng terdiri dari 14 kabupaten/kota, setelah melalui beberapa kali pemekaran dari tahun ke tahun.
Masyarakat Kalimantan Tengah, seperti wilayah Kalimantan lainnya didominasi oleh Suku Dayak, yang memiliki enam rumpun utama yaitu rumpun Iban, rumpun Apokayan, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan. Derasnya arus migrasi oleh pendatang dan asimilasinya membuat suku Dayak terbagi lagi menjadi sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub.
Dayak Ngaju dan Dayak Ot Danum umumnya menganut agama leluhur yaitu Tjilik Riwut sebagai agama Kaharingan. Agama asli suku Dayak kian lama ditinggalkan seiring masuknya agama Hindu, Budha, Kristen dan Islam. Sebagian besar masyarakat Dayak yang sebelumnya menganut Kaharingan kini memilih Kekristenan, namun kurang dari 10% yang mempertahankan kepercayaan Kaharingannya. Agama Kaharingan itu sendiri digabungkan ke dalam agama Hindu sehingga disebut sebagai Hindu Kaharingan. Sebaran ajaran Islam juga signifikan sehingga mayoritas penduduk Provinsi Kalteng beragama Islam yaitu sejumlah 1.955.177 orang. Lainnya beragama Protestan (408.340 orang), Katolik (86.238 orang), Hindu (218.890 orang), Budha (9.388 orang) dan Konghucu (594 orang).
Adat Dayak yang Dominan
Sistem kekerabatan masyarakat Dayak Kalimantan Tengah, didasarkan pada prinsip ambilineal, yang memperhitungkan hubungan kekerabatan melalui laki-laki maupun perempuan. Dalam konsep ini anak perempuan mempunyai hak yang sama dalam hak waris dengan anak laki-laki. Namun dalam hal silsilah (jereh), nama keturunan laki-laki yang sering digunakan sebagai nama keturunan (nama famili).
Bagi orang Dayak, perkawinan yang dianggap ideal dan amat diingini oleh umum adalah perkawinan antara dua orang saudara sepupu jauh yang kakek-neneknya adalah sepupu sekali yang dalam bahasa dayak ngaju disebut “hararue” (saudara sepupu derajat ketiga). Hal ini dimaksudkan untuk lebih mempererat kembali hubungan kekerabatan diantara keluarga tersebut.
Perkawinan yang dianggap sumbang (sala horui dalam bahasa ngaju) adalah perkawinan antara saudara yang ayah-ayahnya adalah saudara sekandung (patri-pararel cousin) dan terutama sekali perkawinan antara orang-orang dari generasi yang berbeda misalnya antara seorang anak perempuan dengan pamannya dan sebaliknya antara anak laki-laki dengan orang yang berpredikat sebagai tantenya.
Dalam rangka mengembangkan budaya di Kalteng, maka saat ini seluruh upacara perkawinan suku Dayak di Kalteng selalu menggunakan pola pemenuhan jalan adat. Tata cara dan prosesi pemenuhan jalan adat ini sudah diatur dan ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi Kalteng, sebagai hasil musyawarah mufakat masyarakat adat Dayak. Prosesi adat Dayak dalam pernikahan ini dipimpin oleh pemuka adat yang disebut Mantir Adat.7 Diformalkannya prosesi adat dalam sebuah ketetapan pemerintah provinsi menunjukkan kuatnya kekuasaan adat dan hukum adat, yang mungkin lebih kuat dari pengaruh agama, mengingat masyarakat Dayak telah terbagi-bagi menjadi pengikut agama yang berbeda.
SUMBER:
- BPS Provinsi Kalimantan Tengah. “Kalimantan dalam Angka 2015”.
- Lautt, Bambang Prof.Dr.Ir et al. “Profil Keluarga Kalimantan Tengah”. http://bkkbn-kependudukankalteng.com/profil-keluarga-kalimantan-tengah/. Date of Upload: @7 Nov 2015. Portal web BKKBN, 2015
Belum ada tanggapan untuk "Sejarah Provinsi Kalimantan Tengah dan Suku-suku "
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung