Sejarah mencatat bahwa pada tanggal 30 September 1965, terjadi peristiwa yang dikenal dengan G/30/S/PKI. Korbannya adalah beberapa Jenderal, oleh karena itu mereka mendapatkan penghargaan sebagai pahlawan revolusi. Film tentang G/30/S/PKI, memperlihatkan betapa sadisnya kejadian tersebut.
Tentu kejadian ini meninggalkan duka yang mendalam bagi keluarga, beberapa cerita tentang kenangan terakhir dapat menjadi pelajaran untuk kita renungkan.
1. Jenderal Ahmad Yani.
TUJUH peluru tercatat menembus tubuh Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letjen TNI Ahmad Yani, pada suatu subuh, 1 Oktober 1965. Sebuah tragedi yang mengiris hati ketika Jenderal Yani jadi target utama gerombolan Tjakrabirawa dan pemuda rakyat.
Padahal hari-hari sebelumnya, anak-anak Jenderal Yani seolah tak pernah mendapat isyarat maupun firasat apapun tentang Ayahnya. “Ibu nandi (Ibu di mana),” tanya Jenderal Yani kepada anak-anaknya sepulang dari kantornya, Kamis siang, 30 September 50 tahun lampau.
“Ibu di dapur, sedang masak,” jawab anak-anaknya kompak, sebagaimana tertulis di buku ‘Tujuh Prajurit TNI Gugur: 1 Oktober 1965’. Kegiatan siang itu pun dilanjutkan dengan hanya ngobrol santai di ruang keluarga, sembari memberi tahu bahwa anak-anaknya tak perlu masuk sekolah pada 5 Oktober yang merupakan HUT TNI.
“Mengko tanggal 5 Oktober, kabeh melu bapak. Ndelok defilenang Istana. Kabeh mbolos sekolah wae (Nanti tanggal 5 Oktober semua ikut bapak. Lihat defile di Istana. Semua bolos sekolah saja),” tutur Jenderal Yani.
Jelas anak-anak Jenderal Yani pun kegirangan. Obrolan penuh canda di bar kecil di dalam rumah, Jalan Lembang No.58, Jakarta Pusat itu pun berlanjut, hingga tangan Jenderal Yani sempat menyenggol botol minyak wangi, hingga isinya tumpah.
Sontak, Jenderal Yani mengusap-usap ceceran minyak wangi itu ke tubuh anak-anaknya. “Nek ditakon uwong seko endi wangine, kandakke nek wangine seko bapak. (Kalau ditanya orang, dari mana wanginya kau dapatkan, bilang wanginya dari bapak),” ucap Jenderal Yani sembari berkelakar.
Selesai makan siang bersama, Jenderal Yani kembali keluar rumah untuk main golf dengan Bob Hasan. Sorenya, Jenderal Yani sepulang ke rumah sempat menyapa beberapa temannya anak-anak Jenderal Yani dari Akademi Militer Nasional (AMN).
“Anak-anak saya ini paling senang dengan kalian. Silakanngobrol dengan adik-adikmu!” sapa Jenderal Yani yang kemudian berlalu ke ruang tamu untuk bertemu beberapa koleganya.
Malam 30 September sekira pukul 23.00 WIB, telefon di rumah mereka bordering. Penelefon misterius itu sempat dua kali bertanya soal keberadaan Jenderal Yani yang dijawab putri sulungnya, Indria Ami Rulliati (Rully).
“Bapak sudah tidur. Jangan main-main ya. Ini rumah Jendera Yani,” ketus Rully kala menjawab penelefon misterius itu.
Tak dinyana, mereka harus melihat tragedi yang bikin perih hati kala sang Ayah, ditembaki, diseret dan dilemparkan ke dalam truk pada Jumat subuh, 1 Oktober 1965. Mereka pun benar-benar bolos sekolah pada 5 Oktober, seperti yang dikatakan Jenderal Yani – untuk mengikuti prosesi pemakaman di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
2. Mayjen S. Parman.
SATU dari sembilan jenderal dan satu personel polisi yang jadi korban Gerakan 30 September (G30S) 1965 adalah Mayjen Siswondo Parman. Asisten I Menpangad bidang Intelijen itu satu dari beberapa jenderal yang masih hidup ketika diculik dan dihabisi di Lubang Buaya.
5 Oktober 1965, jenderal baru menikah 14 tahun bersama Sumirahayu dan tanpa dikaruniai keturunan itu, ikut dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, bersama kolega dan atasannya, Menpangad Jenderal (Anm) Ahmad Yani – sebagaimana keinginannya beberapa waktu sebelum kejadian.
Ya, seperti dikutip dari buku ‘Tujuh Prajurit TNI Gugur: 1 Oktober 1965’. Jenderal Parman pada suatu ketika, sudah berpesan pada sang istri, Sumirahayu, jika nanti dirinya gugur, jenderal kelahiran Wonosobo, 4 Agustus 1918 itu ingin dikebumikan di TMP Kalibata.
“Wah, Ini Taman Makam Pahlawan! Tempat bahagia bagiku, jeng. Jangan lupa ya, kalau aku gugur supaya bisa dimakamkan di sini. Jangan lupa pula supaya pada kijingku (batu nisan), nanti ditulis ‘Pejuang Sejati’,” ucap Jenderal Parman kepada istri ketika berada di depan TMP Kalibata.
Isyarat aneh lain yang dirasakan istri Jenderal Parman adalah ketika suaminya tiba-tiba menyuruh Sumirahayu untuk jalan-jalan ke luar kota, seperti ke Cibubur atau ke Cisalak.
Begitu juga ketika Jenderal Parman sempat mengajak istrinya pelesiran ke Bogor. Suatu perilaku ganjil lantaran selama ini Jenderal Parman bukan sosok yang gemar tamasya.
Hal lain yang tak kalah aneh adalah ketika pada 30 September1965, tepat jam 12 malam, Jenderal Parman dan istri keheranan dengan kedatangan kawanan Burung Gereja dan Burung Sriti di kamar tamu rumah mereka, Jalan Serang Nomor 32, Menteng, Jakarta Pusat.
“Lho kok banyak sekali burung gereja di kamar tamu itu?” tanya Jenderal Parman yang segera dijawab singkat istri, “Ah, sudahlah. Tidur saja”.
“Lho, sekarang banyak Burung Sriti?,” tanya Jenderal Parman lagi keheranan. Keganjilan itu seolah jadi pertanda. 1 Oktober 1965 subuh sekira pukul 04.00, pasutri yang kala itu sudah terbangun dari tidurnya dikagetkan dengan kedatangan 20 personel Tjakrabirawa.
Jenderal Parman diminta menghadap Panglima Tertinggi dan ketika berganti pakaian di kamar, gerombolan Tjakra itu mengikuti ke dalam kamar. Pesawat telefon di rumahnya pun turut diambil dan seketika itu juga, Jenderal Parman mulai sadar bahwa nyawanya terancam.
“Lho kok telefon saya diambil? Lho, saya ini difitnah?” cetus Jenderal Parman. “Oh, tidak Pak,” jawab seorang dari mereka.
Jenderal Parman pun dibawa dan sang istri sama sekali tak tahu ke mana suaminya dibawa pergi. Tak lama kemudian, istri Mayjen Mas Tirtodarmo Harjono datang dengan menangis sembari bertanya tentang keberadaan Jenderal Parman.
Istri Jenderal Parman pun menjelaskan bahwa suaminya telah dibawa gerombolan Tjakra yang ternyata, kejadiannya sama dengan yang dialami keluarga MT Harjono.
“Jeng, jangan menangis. Kuatkan imanmu. Sebagai istri perwira, kita harus tabah dan kuat,” tuturnya kepada istri MT Harjono.
3. Brigjen TNI Soetojo Siswomihardjo
“Sudah ya, Papa pergi dulu,” begitu kata-kata pamitan Brigjen TNI Soetojo Siswomihardjo kepada anak sulungnya, Nani Soetojo pada suatu Kamis, 30 September 1965.
Terlebih, belakangan sebelumnya hubungan sang Ayah dengan putrinya itu tengah renggang. Gara-garanya, beberapa hari sebelum tragedi 1 Oktober 1965, Nani lupa membereskan mesin tik yang dipakainya di ruang kerja rumah Jenderal Soetojo, Jalan Sumenep Nomor 17, Menteng, Jakarta Pusat.
Seperti termaktub di buku ‘Tujuh Prajurit TNI Gugur: 1 Oktober 1965’, putrinya itu pun dimarahi via telefon. Lantaran jengkel, Nani memilih minggat dan tak pulang. Tapi Kamis siang, 30 September 1965, ada suatu pertanda yang membuatnya melangkahkan kaki untuk pulang.
Setelah sempat tidur siang, Nani pun akhirnya bersua dengan Ayahnya. Tapi pertemuannya begitu singkat, karena jenderal kelahiran Kebumen, 28 Agustus 1922 itu harus kembali pergi untuk menghadiri rapat raksasa jelang HUT ABRI di Istora Senayan.
Percakapan seperti yang diungkap pada paragraf pembuka di atas itulah yang jadi pamitan sederhana yang ternyata, jadi pamitan terakhir sang Ayah pada anaknya itu. Pasalnya pada 1 Oktober 1965 sekira pukul 05.30 WIB, Jenderal Soetojo dijemput paksa segerombolan Pasukan Tjakrabirawa.
Gerombolan itu merangsek masuk ke rumah sang jenderal lewat garasi, sembari menodongkan senjata mereka ke para pembantu rumah tangga, untuk dimintai kunci rumah
Jenderal Soetojo salah satu dari beberapa perwira yang masih hidup ketika diculik, seperti halnya Mayjen TNI Siswondo Parman dan Mayjen Raden Soeprapto. Tapi sayangnya nyawa mereka tetap dihabisi di Lubang Buaya.
“Pak Tojo, lekas buka pintu. Bapak dipanggil Presiden,” cetus salah satu dari gerombolan itu. Ketika keluar kamar dengan mengenakan piyama motif batik, sang jenderal segera diapit dan dibawa keluar rumah
Sementara anak-anak dan istri sang jenderal berusaha mengunci diri di salah satu kamar lain, lantaran takut terjadi apa-apa. Perabotan rumah turut diacak-acak sampai mereka pergi membawa Jenderal Soetojo.
Sang istri kemudian berusaha mencari informasi lewat telefon. Setelah tahu sambungan telefon diputus, mereka berusaha meminjam telefon dari tetangga, Soekotjo yang juga anggota CPM (Corps Polisi Militer), untuk menelefon ke beberapa pihak yang dipercaya, termasuk Jaksa Agung saat itu, Soetardhio yang sayangnya hasilnya nihil.
4. Brigjen TNI Donald Isaac Pandjaitan
“Telah gugur pahlawanku, tunah sudah janji bakti. Gugur satu tumbuh seribu, tanai air jaya sakti…,” begitu petikan lagu ‘Gugur Bunga’ nan sendu. Lagu itu pula musik terakhir yang didengarkan Brigjen TNI Donald Isaac Pandjaitan pada 30 September 1965, jelang tragedi keesokan harinya, 1 Oktober 1965.
Lagu tersebut dinyanyikan paduan suara Sekolah Tarakanita dalam gelaran Musyawarah Besar Teknik (Mubestek) di Istora Senayan, 30 September 1965 malam, di mana salah satu anggota paduan suaranya adalah Catherine, putri sulung Jenderal DI Pandjaitan.
Pejabat Asisten IV Menpangad bidang Logistik itu mendengarkan lagu itu dalam hening dan tenggelam dalam diam via televisi, bersama anggota keluarga yang lain di ruang tamu rumah mereka, Jalan Sultan Hasanuddin, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
“Itu kan lagu tentang para pahlawan yang gugur di medan tempur. Coba bayangkan bagaimana perasaan keluarga yang ditinggalkan,” celetuk Masya Arestina, salah satu putri DI Pandjaitan. “Ya sedih, lah,” jawab sang Ayah singkat, sebagaimana yang dikutip dari buku ‘Tujuh Prajurit TNI Gugur: 1 Oktober 1965’.
Kesedihan itu pun jadi nyata ketika pada 1 Oktober dini hari, rumah mereka didatangi gerombolan Pasukan Tjakrabirawa dengan pakaian hijau-hijau, berhelm dan bersyal kuning. Setelah gedoran pintu tak dijawab, mereka pun mendobrak dan menembaki sekitaran paviliun rumah.
Dua keponakan DI Pandjaitan, Victor dan Albert Naiborhu jadi anggota keluarga pertama yang diseret selain tiga pembantu rumah tangga. Keduanya terluka parah kena tembakan, seraya berteriak agar paman mereka tak turun tangga dari kamarnya.
Sementara berondongan tembakan belum berhenti mengarah ke segala sudut rumah untuk memaksa jenderal bintang satu kelahiran Balige, Sumatera Utara, 19 Juni 1925 itu untuk keluar dari kamarnya.
Dengan motif yang sama ketika menculik jenderal lainnya, para gerombolan mengatakan DI Pandjaitan dipanggil menghadap Presiden. Mantan atase militer di Kedutaan RI untuk Jerman Barat itu pun merasa terpaksa menurut.
Dia pun keluar kamar setelah sebelumnya mengenakan pakaian dinas yang dibanggakannya. Setelah dibawa gerombolan ke teras rumah, DI Pandjaitan yang sedang dalam sikap doa, dihujamkan timah panas ke bagian kepala. Jasadnya seketika dilemparkan ke dalam truk yang membawa jenazahnya ke Lubang Buaya.
Selain soal firasat lagu ‘Gugur Bunga’ itu, sedianya seolah sudah ada pertanda lain nan ganjil, sejak Kamis sore, 30 September.Ketika tengah bersantai di teras atas rumahnya, Jenderal DI Pandjaitan lebih sering melamun. Suatu hal yang tak pernah dilakukannya di waktu senggang seperti kegiatan baca buku atau main golf seperti kebiasaannya.
Malam harinya ketika anak ketiganya, Salomo Pandjaitan tengah belajar, sang Ayah seperti melontarkan petuah terakhir setelah membaca koleksi buku sejarah Salomo sambil mengelus-elus kepala putranya itu.
“Sejarah menjadi penting bagi kamu dan kita sekeluarga. Kamu harus membiasakan diri untuk membaca buku sejarah dengan baik dan cermat,” papar DI Pandjaitan berpesan yang disambut anggukan dari Salomo. Sebuah ironi di mana tak lama kemudian, sang Ayah turut jadi bagian dalam buku sejarah bangsa ini.
5. Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Harjono.
30 September 50 tahun silam jadi hari yang kelam, tidak hanya untuk TNI, tapi juga segenap bangsa Indonesia. Sekelompok pasukan Tjakrabirawa yang sudah terinfiltrasi gerakan politik Partai Komunis Indonesia (PKI), menyasarkan kebengisan mereka terhadap sejumlah perwira tinggi TNI AD.
Salah satu yang turut jadi tumbal gerakan laknat itu adalah Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Harjono (MT Harjono). Sebelum kejadian di pagi buta pada 1 Oktober 1965, sedianya pejabat Deputi III Menpangad bidang Perencanaan dan Pembinaan itu, sudah mendapati firasat akan jadi target kekerasan golongan ekstrem kiri.
Namun sayangnya salah satu wakil Menpangad Letjen TNI Ahmad Yani itu tetap tak luput ikut gugur sebagai bunga bangsa. “Bapak harus berjaga-jaga. Kabar mengenai rencana penculikan dan pembunuhan itu barangkali benar,” ungkap ajudan MT Harjono, seperti yang termaktub dalam buku ‘Tujuh Prajurit TNI Gugur: 1 Oktober 1965’.
“Buat apa? Saya dan keluargan tak perlu dijaga!,” jawab MT Harjono singkat. Ya, rumah MT Harjono memang kala itu tanpa penjagaan sama sekali. Sang jenderal pun tak pernah mau memanfaatkan fasilitas pengamanan tentara di rumahnya.
Tapi benar saja, 1 Oktober sekira pukul 04.00 pagi, rumah MT Harjono di Jalan Prambanan Nomor 8, Menteng, Jakarta Pusat itu didatangi segerombolan pasukan Tjakrabirawa. “Assalaamualaikum!,” seru gerombolan pimpinan Serma Bungkus itu sembari mengetuk pintu.
Kebetulan yang membukakan adalah istri sang jenderal, Mariatni. Dia pun bertanya maksud kedatangan para pria tegap berseragam dengan bersepatu lars itu. “Bung Karno memanggil bapak. Ada rapat penting yang harus dihadiri bapak sekarang juga,” jawab Serma Bungkus.
Kala Mariatni ingin membangunkan MT Harjono, gerombolan itu ikut merangsek masuk rumah. “Di luar ada tentara yang mengaku utusan Bung Karno. Mereka minta Ayah ikut mereka. Ada rapat penting di Istana Bogor,” ujar Mariatni pada suaminya.
“Tidak ada rapat pagi buta seperti ini,” jawab MT Harjono. Seketika sang jenderal pun curiga dan menyuruh istri dan anak-anaknya untuk pindah dari kamar masing-masing ke tempat aman.
“Kamu harus segera pindah kamar dan bangunkan anak-anak, karena mereka akan membunuh saya. Pindahlah ke kamar depat beserta anak-anak,” ucap MT Harjono yang malangnya, itu jadi kalimat terakhir sang jenderal pada istrinya.
Tak lama setelah Mariatni memindahkan anak-anaknya, terdengar bunyi rentetan senjata yang ternyata, menembus tubuh MT Harjono. Tubuhnya diseret keluar rumah, dilempar ke dalam truk dan keluarga tak tahu lagi jasadnya dibawa entah ke mana.
Mariatni segera berusaha cari kontak dengan kerabat yang sialnya, kabel telefon rumah sudah diputus. Dia pun bertolak ke rumah asisten intel Menpangad, Mayjen TNI Siswondo Parman dan kemudian ke rumah Menpangad Letjen Ahmad Yani. Yang ditemukannya ternyata tak jauh berbeda dengan yang dialami suaminya.
Seperti halnya beberapa jenderal lain, sedianya keluarta MT Harjono seolah sudah merasakan firasat aneh terhadap perwira TNI kelahiran Surabaya, 20 Januari 1924 tersebut.
Seperti yang dialami anak-anak MT Harjono, sehari sebelum kejadian pada 30 September 1965 sore, di mana ada barisan tentara dekat rumahnya. Salah satu dari mereka bertanya, di mana letak rumah MT Harjono. Sontak dengan spontan, mereka pun menunjuk rumah mereka sendiri.
Firasat lain juga dialami putri bungsu MT Harjono, Enda Marina, di mana ketika sang jenderal tengah sibuk menata bunga anggrek dengan mendengarkan musik klasik, Enda yang ingin mendekati sang Ayah, justru disuruh menjauh.
Sebuah perilaku ganjil buat Enda yang selama ini sangat dekat dengan Ayahnya. Belum lagi, malam sebelum kejadian, Enda juga bermimpi tentang Ayahnya yang ditusuk tombak oleh beberapa orang misterius, hingga tak berdaya dan bersimbah darah.
Dalam keseharian, sang jenderal juga tak pernah bicara politik sedikit pun dengan anak-anaknya di rumah. Tapi pada suatu ketika, anak sulung MT Harjono, Harianto Harjono atau yang biasa disapa Babab, tiba-tiba diajak bicara soal politik oleh ayahnya. Sebuah wejangan atau cenderung seperti petuah terakhir MT Harjono pada anaknya.
“Bab, kalau kamu sudah besar nanti, sebaiknya hindarilah berpolitik. Karena politik itu sangat berisiko. Politik itu menghalalkan segala cara. Selagi kamu berada dalam satu kelompok, kelompok itu akan menganggapmu sebagai teman,” ucap MT Harjono pada Babab.
“Tetapi begitu kamu berpisah, kamu akan dianggap sebagai musuh. Persahabatan dan kebajikan yang telah kamu lakukan di masa yang sudah-sudah, akan mereka lupakan. Makanya kamu tak perlu masuk politik. Masuk tentara boleh, tapi masuk politik, sekali lagi, jangan!,” seru sang jenderal yang jadi pesan terakhir pada anaknya itu.
6. Lettu (CZI) Pierre Andreas Tendean
Jenderal Abdoel Haris Nasution sebagai Menko Hankam/KASAB, masuk jadi salah satu bidikan PKI, pemuda rakyat dan Pasukan Tjakrabirawa yang sudah terpengaruh kelompok kiri untuk diculik, sebagaimana sejumlah jenderal TNI AD lainnya.
Namun Nasution luput dari maut, meski harus merelakan salah satu ajudannya, Lettu (CZI) Pierre Andreas Tendean dan yang paling menyakitkan, putrinya, Ade Irma Suryani turut jadi tumbal bak perisai untuk sang jenderal.
Seperti dikutip dari buku ‘Tujuh Prajurit TNI Gugur: 1 Oktober 1965’, pada 30 September 1965 merupakan hari ulang tahun ibunda Lettu Tendean dan sosok yang dikemudian hari dianumertakan dengan pangkat kapten itu, sedianya sudah ingin mudik ke Semarang.
Tapi Tendean masih berada di kediaman Jenderal Nasution, Jalan Teuku Umar Nomor 40, Jakarta Pusat, pada 30 Septembersore, jelang pergantian shift dengan AKP Hamdan Mansjur, hingga malam.
Saat kediaman Jenderal Nasution didatangi gerombolan Tjakrabirawa, Tendean-lah orang pertama yang menghadapi dan mengaku sebagai Nasution. Tendean sempat lebih dulu diikat di pohon besar depan rumah oleh gerombolan pimpinan Lettu Doel Arief.
Tapi setelah mendapat sejumlah penganiyaan dan penyiksaan, barulah diketahui yang yang mereka tangkap itu bukan Nasution. Tendean dibiarkan sekarat dengan beberapa luka tembak sampai menghembuskan nafas terakhirnya.
jenderal soeprapto gak ada
ReplyDeleteSatu kata dariku...Setiap Manusia menghasilkan Sampah dan Kotoran...dan kotoran yg dihasilkan oleh negara ini adalah kotoran fan sampah yg tidak bisa di daur ulang yaitu PKI...maka jgn pernah ada yg mendaur ulang PKI maka akan tau sendiri akibatnya...Go to Hell PKI
ReplyDeleteMmmhhhh....sudah berapa kali PKI mencoba memberontak kepada NKRI dan Pancasila ? Jangan sekali sekali melupakan sejarah , waspada selalu thd bahaya laten komunis
ReplyDelete