Ukiran Jepara sudah ada jejaknya pada masa Pemerintahan Ratu Kalinyamat (1521-1546) pada 1549. Ratu mempunyai anak perempuan bernama Retno Kencono yang besar peranannya bagi perkembangan seni ukir.
Di kerajaan, ada menteri bernama Sungging Badarduwung, yang datang dari Campa (Cambodia) dan dia adalah seorang pengukir yang baik. Ratu membangun Masjid Mantingan dan Makam Jirat (makam untuk suaminya), dan meminta Sungging untuk memperindah bangunan itu dengan ukiran. Sungging lalu memenuhi permintaan Ratu Kalinyamat. Hingga sekarang, ukiran itu bisa disaksikan di masjid dan Makam Sultan Hadlirin yang terdapat 114 relief pada batu putih.
Daerah Belakang Gunung konon terdapat kelompok ukir yang bertugas melayani kebutuhan ukir keluarga kerajaan. Kelompok ukir itu kemudian mengembangkan bakatnya dan tetangga sekitar ikut belajar dari mereka. Jumlah pengukir tambah banyak. Pada masa Ratu Kalinyamat kelompok mereka berkembang. Namun, sepeninggal Ratu Kalinyamat mereka stagnan.
Dan kemudian berkembang lagi pada masa Kartini. Satu citra yang telah begitu melekat dengan Jepara adalah predikatnya sebagai “Kota Ukir”. Ukir kayu telah menjadi idiom kota kelahiran Raden Ajeng Kartini ini, dan bahkan belum ada kota lain yang layak disebut sepadan dengan Jepara untuk industri kerajinan mebel ukir.
Akan tetapi, untuk sampai pada kondisi seperti ini, Jepara telah menapak perjalanan yang sangat panjang. Sejak jaman kejayaan Negara-negara Hindu di Jawa Tengah, Jepara telah dikenal sebagai pelabuhan utara pantai Jawa yang juga berfungsi pintu gerbang komunikasi antara kerajaan Jawa dengan Cina dan India. Demikian juga pada saat kerajan Islam pertama di Demak, Jepara telah dijadikan sebagai pelabuhan Utara selain sebagai pusat perdagangan dan pangkalan armada perang.
Pada masa penyebaran agama Islam oleh para Wali, Jepara juga dijadikan daerah “pengabdian” Sunan Kalijaga yang mengembangkan berbagai macam seni, termasuk seni ukir. Faktor lain yang melatarbelakangi perkembangan ukir kayu di Jepara adalah para pendatang dari negeri Cina yang kemudian menetap.
Dalam catatan sejarah perkembangan ukir kayu, tak dapat dilepaskan pula dari peranan Ratu Kalinyamat. Pada masa pemerintahannya ia memiliki seorang patih yang bernama “Sungging Badarduwung” yang berasal dari Negeri Campa. Patih ini ternyata seorang ahli pahat yang dengan sukarela mengajarkan keterampilannya kepada masyarakat di sekitarnya.
Satu bukti yang masih dapat dilihat dari seni ukir masa pemerintahan Ratu Kalinyamat ini adalah adanya ornamen ukir batu di Masjid Mantingan. Di samping itu, peranan Raden Ajeng Kartini dalam pengembangkan seni ukir juga sangat besar.
Raden Ajeng Kartini yang melihat kehidupan para pengerajin tak juga beranjak dari kemiskinan, batinnya terusik, sehingga ia bertekat mengangkat derajat para pengerajin. Ia memanggil beberapa pengerajin dari Belakang Gunung (kini salah satu padukuhan Desa mulyoharjo) di bawah pimpinan Singowiryo, untuk bersama-sama membuat ukiran di belakang Kabupaten.
Oleh Raden Ajeng Kartini, mereka diminta untuk membuat berbagai macam jenis ukiran, seperti peti jahitan, meja keci, figura, tempat rokok, tempat perhiasan, dan barang souvenir lainnya. Barang-barang ini kemudian dijual Raden Ajeng Kartini ke Semarang dan Batavia (sekarang Jakarta), sehingga akhirnya diketahui bahwa masyarakat Jepara pandai mengukir.
Setelah banyak pesanan yang datang, hasil produksi para pengerajin Jepara bertambah jenis, seperti: kursi pengantin, alat panahan angin, tempat tidur pengantin dan penyekat ruangan serta berbagai jenis kursi tamu dan kursi makan. Raden Ajeng Kartini juga mulai memperkenalkan seni ukir Jepara keluar negeri. Caranya, Raden Ajeng Kartini memberikan souvenir kepada sahabatnya di luar negeri. Akibatnya, seni ukir terus berkembang dan pesanan terus berdatangan.
Seluruh penjualan barang, setelah dikurangi dengan biaya produksi dan ongkos kirim, uangnya diserahkan secara utuh kepada para pengerajin. Untuk menunjang perkembangan seni ukir Jepara yang telah dirintis oleh Raden Ajeng Kartini, pada 1929 timbul gagasan dari beberapa orang pribumi untuk mendirikan sekolah kejuruan.
Tepat pada tanggal 1 Juli 1929, sekolah pertukangan dengan jurusan mebel dan ukir dibuka dengan nama “Openbare Ambachtsschool” yang kemudian berkembang menjadi Sekolah Teknik Negeri dan Kemudian menjadi Sekolah Menengah Industri Kerajinan Negeri Dengan adanya sekolah kejuruan ini, kerajinan mebel dan ukiran meluas di kalangan masyarakat.
Makin banyak pula anak yang masuk sekolah ini agar mendapatkan kecakapan pada bidang mebel dan ukir. Di sekolah ini diajarkan berbagai macam desain motif ukir serta ragam hias Indonesia yang pada mulanya belum diketahui oleh masyarakat Jepara. Tokoh-tokoh yang berjasa dalam pengembangan motif lewat lembaga pendidikan ini adalah Raden Ngabehi Projo Sukemi, yang mengembangkan motif Majapahit dan Pajajaran, serta Raden Ngabehi Wignjopangukir, yang mengembangkan motif Pajajaran dan Bali.
Semakin bertambahnya motif ukir yang dikuasai oleh para pengerajin Jepara, mebel dan ukiran Jepara semakin diminati. Para pedagang pun mulai memanfaatkan kesempatan ini untuk mendapatkan barang-barang baru guna memenuhi permintaan konsumen, baik yang berada di dalam maupun di luar negeri. Alur sejarah ukiran kota Jepara terangkum dalam gambar berikut.
Belum ada tanggapan untuk "Terungkap Sejarah Ukir Jepara "
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung