Kebudayaan diciptakan dan dipertahankan melalui aktifitas komunikasi oleh para individu. Secara bersama-sama dalam prilaku kolektif menciptakan realita (kebudayaan) yang mengikat dan harus dipatuhi oleh tiap individu agar dapat menjadi bagian dari unit kelompoknya. (Djuarsa, S., 1994:193).
Maka jelas bahwa antara komunikasi dengan kebudayaan terjadi hubungan yang sangat erat. Hubungan ini ditandai dengan saling interaksi dan bercengkrama yang sering disebut dengan gosip. Gosip diartikan sebagai fenomena yang berpotensial dalam menganalisis bagaimana kebudayaan dan masyarakat berkerja. Gosip selayaknya mampu memberikan petunjuk tentang dimensi yang terorganisir dan tersegmentasi dalam sebuah kelompok (SavilleTroike, 2003: 27).
Tiap individu berkomunikasi dipengaruhi oleh budaya masing-masing, budaya memiliki tanggungjawab atas seluruh perilaku komunikatif serta makna yang dimiliki dan dihasilkan oleh tiap individu. Konsekuensinya, bila dua orang yang berbeda budaya bertemuan dan melakukan komunikasi maka akan berbeda pula pemaknaan yang dimilikinya, dan itu sangat jelas akan menimbulkan kesulitan tertentu. Dimana proses sebuah komunikasi dapat dikatakan sebagai bentuk ritual yang tidak hanya berfungsi sebagai penyampaian pesan saja, akan tetapi lebih pada adanya pengalaman simbolik untuk memproduksi, melanggengkan dan mengubah realita. Realita yang melahirkan simbol-simbol pada saat berkomunikasi.
Gosip bisa bermakna positif maupun negatif, berikut saya paparkan tentang keduanya. Gosip atau membicarakan orang lain yang tidak ada bersama mereka, akan meningkatkan keterikatan sosial menurut berbagai penelitian yang telah dilakukan.
Berikut saya kutipkan beberapa penemuan tentang gosip. Menurut Dr. Robin Dunbar professor psikologi dari Universitas Liverpool yang dikutip oleh Johana (2006:17), gosip adalah versi manusia tentang social grooming yaitu perilaku biasa di antara primata sosial lainnya. Robin mengambarkan seekor kera yang mengelus bulu dan mengambil kutu dari bulu kera lainnya, untuk memperkuat ikatan kelompoknya.
Pada manusia Robin menganggap gosip membantu kita mengembangkan hubungan terpercaya dan mengangkat ikatan sosial (Johana, 2006: 231- 246). Selain itu psikolog Dr. Sarah Wert yang dijelaskan oleh Johana (2006:122-137) menjelaskan bahwa gosip merupakan sumber yang tidak akan habis dalam percakapan dengan orang lain. Kajiannya tentang gosip yang diterbitkan di Review of General Psychology menguraikan bahwa gosip meliputi beberapa bentuk perbandingan sosial. Dalam artikelnya tersebut Wert mencatat bahwa membandingkan diri dengan orang yang kurang terampil atau orang dengan status sosial lebih rendah dapat meningkatkan harga diri. Di samping itu membuat gosip tentang orang yang memiliki status yang tinggi, apakah itu pimpinan atau selebriti, dapat membantu kita memperoleh informasi yang akan membantu kita besaing dengan mereka dari status lebih tinggi sekaligus juga merendahkan mereka. Fakta gosip hanya dapat dikaji dalam konteks relasi yang lebih besar.
Terdapat beberapa penelitian sebelumnya tentang gosip seperti penelitian Gluckman yang banyak dipengaruhi oleh Herkovitz yang menganggap gosip dapat mewujudkan kerekatan dan moralitas. Hal menjelaskan proses tersebut menunjukkan relasi antara pola komunikasi dengan pegaktifan nilai-nilai masyarakat yang dimiliki secara bersama. Proses interaksi yang mereka lakukan erat hubungannya antara satu individu dengan individu lain dan bagaimana hubungan tersebut terjalin dengan kelompok.
Interaksi sosial adalah suatu hubungan yang mempunyai pengaruh secara dinamis antara individu dengan individu, antara individu dengan sebuah kelompok dalam situasi sosial (Santoso. 2010:164). Di sisi lain dalam berinteraksi di lingkup socio cultural kadang menimbulkan persoalan-persoalan yang berasal dari keragaman budaya. Kadang beda budaya dapat menimbulkan distorsi informasi dalam berinteraksi.
Contoh: pada situasi sosial tertentu katakanlah ada tiga orang ibu-ibu yang sedang ngobrol di sebuah pos ronda di kompleks perumahan. Ketiganya sangat asik menceritakan sesorang yang tidak berada dalam lingkaran interaksi tersebut sebuat saja orang itu adalah si Z. Tidak lama kemudian datang seorang ibu katakanlah si A ke pos yang sedang diduduki ketiga ibu-ibu tadi, ibu si A ini pun ikut bercerita tentang sosok si Z. Ia menambahkan informasi yang tidak dibahas oleh ketiga ibu-ibu tadi yang terlebih dahulu telah mengobrol. Selanjutnya datang dua orang ibu-ibu lain sebut saja ibu B dan C, mereka pun ikut menceritai sosok si Z. Keduanya pun menambahkan bahkan mengurangi informasi tentang sosok si Z yang menjadi topik dalam pembicaraan.
Nah dari kejadian ini dapat menarik kesimpulan bahwa dalam situasi sosial tertentu, saat kita berinteraksi, maksudnya lebih dari dua individu tentang sesuatu hal memungkinkan terjadinya distorsi informasi atau perubahan informasi yang telah dikurangi ataukah ditambahkan. Sehingga informasi tersebut tidak utuh lagi dan bisa jadi sudah tidak akurat sesuai realita yang ada (Junida, 2017:4).
Numpang promo ya Admin^^
ReplyDeleteajoqq^^com
mau dapat penghasil4n dengan cara lebih mudah....
mari segera bergabung dengan kami.....
di ajopk.club....^_~
segera di add Whatshapp : +855969190856