Prinsip-prinsip dalam pelayanan prima, dikomunikasikan dengan bahasa. Tanpa bahasa komunikasi sulit dilakukan. Penggunaan bahasa dalam pelayanan prima harus beretika. Etika berbahasa dalam pelayanan prima diimplemtasikan dalam semua bentuk pelayanan, yaitu ketika menyapa pelanggan. ketika bertelepon, dan ketika bersurat.
Tanpa etika dalam berbahasa, kesan pelanggan pada perusahaan / institusi akan buruk atau tidak menyenangkan. Pelayanan beretika adalah pelayanan yang memperhatikan etika atau norma-norma yang berlaku dalam mayarakat pengguna pelayanan.
Etika adalah instrumen dalam masyarakat untuk menuntun tindakan (perilaku) agar mampu menjalankan fungsi dengan baik dan dapat lebih bermoral. Hal tersebut berarti bahwa etika merupakan norma dan aturan yang mengatur perilaku seseorang dalam bertindak dan memainkan perannya sesuai dengan aturan main yang ada dalam masyarakat agar tindakannya dapat disebut santun atau bermoral (Syafhendri, 2008).
Bahasa beretika merupakan bagian dari “assurance” yaitu bahasa santun, bahasa dengan pilihan kata sesuai dengan status lawan bicara. Lawan bicara dalam kaitan dengan pelayanan prima adalah tamu kantor yang layak dihormati tanpa diskriminasi. Ilmu bahasa yang berkaitan dengan ini adalah sosiolinguistik. Sosiolinguistik membahas ragam bahasa dalam berkomunikasi. Di dalam sosiolinguistik dikenal berbagai variasi bahasa.
Masing-masing varian dapat dipilih dan digunakan sesuai dengan konteks pembicaraan. Pilihan varian tersebut tergantung dari
(1) siapa berbicara dengan siapa,
(2) bagaimana situasi pembicaraan,
(3) apa materi pembicaraan,
(4) media apa yang digunakan,
(5) kapan waktu berbicara, dan
(6) di mana tempat berbicara (Chaer dan Agustina 2010).
Senada dengan hal di atas Hymes mengatakan bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan menjadi akronim “speaking”. Kedelapan komponen itu adalah:
(1) setting and scene, yaitu berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung,
(2) participant, yaitu pihak-pihak yang terlibat dalam pertututran
(3) ends, yaitu maksud dan tujuan pertuturan,
(4) act sequence, yaitu bentuk ujaran dan isi ujaran.
(5) key, yaitu nada, cara dan semangat suatu pesan disampaikan, dan
(6) instrumentalities, yaitu jalur bahasa yang digunakan.
Genre yaitu jenis bentuk penyampaian (Chaer dan Agustina, 2010). Aspek lain yang perlu dipertimbangkan dalam etika berbahasa adalah aspek sosial budaya dalam memilih kata sapaan, yaitu yang berkaitan dengan siapa yang disapa (lebih tua, sederajat, lebih muda, atau kanak-kanak); status sosialnya (lebih tinggi, sama, atau lebih rendah); situasinya (formal atau tidak formal); keakrabannya (akrab atau tidak akrab); jenis kelaminnya (wanita atau pria); hubungannya (sudah dikenal atau belum dikenal); dan sebagainya.
Masnur Muslich (2007) menyebutkan bahwa etika berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa dengan memperhatikan norma-norma budaya, Hal ini perlu dipertimbangkan karena pembicara tidak hanya sekadar menyampaikan ide yang dipikirkan, tetapi juga cara menyampaikan ide atau gagasan juga harus disesuikan dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa.
Apabila etika berbahasa ini tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya. Dengan kata lain etika berbahasa seseorang dipengaruhi oleh normanorma budaya suku bangsa atau kelompok masyarakat tertentu.
Etika berbahasa Inggris berbeda dengan etika berbahasa orang Amerika meskipun mereka samasama berbahasa Inggris. Begitu juga, etika berbahasa orang Jawa bebeda dengan etika berbahasa orang Batak meskipun mereka sama-sama berbahasa Indonsia. Hal ini, menunjukkan bahwa kebudayaan yang sudah mendarah daging pada diri seseorang berpengaruh pada pola berbahasanya.
Itulah sebabnya kita perlu mempelajari atau memahami norma-norma budaya sebelum atau di samping mempelajari bahasa. Sebab, etika berbahasa yang mengikuti norma-norma budaya akan menghasilkan kesantunan berbahasa (Masnur Muslich,2007)
Selain aspek sosial yang harus diperhatikan dalam etika berbahasa adalah ketepatan waktu, artinya dengan mengetahui kapan waktunya kita berbicara dan mendengarkan. Dengan memperhatikan hal seperti ini maka seseorang atau masyarakat akan saling menghargai satu sama lain dalam berinteraksi atau berkomunikasi.
Berkaitan dengan hal ini pembicara yang beretika akan menyesuaikan kapan harus berbicara dan kapan harus berhenti berbicara untuk beralih peran menjadi pendengar. (Chaer dan Agustina 2010) Selanjutnya Chaer dan Agustina (2010), menjelaskan disamping aspek waktu, pembicara yang beretika juga perlu memperhatikan aspek volume suara dan gerak-gerik anggota tubuh saat berbicara. Berkaitan dengan aspek volume suara pembicara harus mengenal terlebih dahulu penuturnya berasal dari mana atau kebiasaan di daerahnya, karena biasanya penutur yang berasal dari Sumatra akan menggunakan volume suara yang lebih tinggi.
Oleh karena itu dalam menerapkan etika berbahasa hendaknya mempelajari dahulu kebudayaan, norma, dan kode bahasa dalam masyarakat tersebut. Gerak gerik anggota tubuh juga perlu dipertimbangkan. Orang Jawa biasa tidak terlalu banyak gerak ketika berbicara, orang Jawa cenderung “ngapurancang” -kedua jari-jari tangan berjabat dan diletakkan di perut di bawah pusat- ketika berbicara). Berbeda dengan orang Arab, umumnya ketika berbicara jari-jari tangan bergerak menunjuk-nunjuk untuk memperjelas maksud pembicaraannya.
Etika berbahasa sangat penting diperhatikan aparat birokrasi dalam melayani publik. Oleh karena itu, para birokrat perlu memahami etika berbahasa, sebab dengan mengetahui etika berbahasa diharapkan orang lebih bisa memahami pesan yang disampaikan kepada publik. Pembicara yang baik harus pandai memilih variasi bahasa yang cocok untuk digunakan dalam melayani tamu (pelanggan). Tentu pilihan variasi tersebut perlu dipertimbangkan berdasarkan etika pelayanan.
Dengan demikian seorang pembicara akan memilih kata-kata yang memiliki nilai kesopanan bagi lawan bicara sehingga lawan bicara akan merasa dihargai, atau dihormati. Variasi bahasa yang digunakan berdasarkan status penutur dan lawan bicara disebut dengan sosiolek. Sosiolek ini salah satunya berbentuk bahasa santun (beretika). Sosiolek atau dialek sosial, yaitu variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan dan kelas sosial para penuturnya.
Dalam sosiolinguistik variasi inilah yang menyangkut semua masalah pribadi penuturnya, seperti usia, pendidikan, keadaan sosial ekonomi, pekerjaan, dan sebagainya. Seorang aparat birokrasi disarankan memahami status sosial tamunya, agar dapat memilih kata-kata yang tepat, sopan, dan dalam melayani tamunya.
Pertimbangan dalam memilih kata (diksi) sangat ditentukan oleh (1) lawan bicara; jika lawan bicara tergolong orang yang usianya lebih tua dari pembicara, lebih tinggi status sosialnya, kata sapaan yang dipilih akan berbeda dengan jika lawan bicara lebih muda, sudah akrab, dan statusnya sama dengan pembicara. Misal kata sapaan untuk orang yang lebih tua. Lebih terhormat, maka kata sapaan “kamu, lu, kau,” tidak tepat dan lebih baik diganti dengan kata “Bapak atau Ibu”, kata Anda bersifat netral, tetapi untuk suku-suku tertentu seperti Jawa, kata sapaan “anda” nilainya sama dengan “kamu”, maka sebaiknya tidak dipakai. Untuk hal yang sama juga perlu dihindari pemanggilan dengan nama tanpa disertai sebutan Bapak/Pak atau Ibu/Bu. Sebaiknya tidak digunakan “Retno, silakan masuk” tetapi lebih baik digantikan dengan “Ibu Retno dipersilakan masuk!” Di samping pemilihan kata sapaan juga perlu dipertimbangkan penggunaan kata-kata atau frase penyantun yang biasanya digunakan untuk mengawali, menyela, atau mengakhiri pembicaraan.
Kata-kata penyantun ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan kesan sopan terhadap lawan bicara. Berikut ini adalah contoh kata-kata santun untuk mengawali pembicaraan:
1. Selamat pagi (siang, sore, malam) Pak / Ibu, selamat datang di kantor kami
2. Apa yang bisa kami bantu Pak / Bu?
3. Boleh saya tahu, akan bertemu dengan siapa Pak / Bu?
4. Maaf Pak / Bu apa sudah ada perjanjian sebelumnya dengan pimpinan?
Kata-kata untuk memotong pembicaraan:
1. Maaf boleh saya menyela pembicaraan Bapak dan Ibu sebentar?
2. Maaf Pak, Bapak sudah ditunggu Bapak pimpinan kantor!
Kata-kata santun untuk mengakhiri pembicaraan:
1. Terima kasih atas kunjungan Bapak / Ibu!
2. Sampai jumpa di lain kesempatan!
3. Maaf jam berkunjung sudah habis, dimohon pengunjung segera meninggalkan ruang perawatan!
Kata-kata santun seperti contoh di atas walaupun tampaknya sangat sederhana tetapi memiliki nilai kesantunan yang tinggi sehingga kalau dilaksanakan dengan baik tidak mustahil pelanggannya akan menjadi pelanggan yang setia.
Prinsip-prinsip dalam pelayanan prima (Customer Care), seperti prinsip
(1) kemampuan (ability),
(2) sikap (attitude),
(3) penampilan (appearance),
(4) perhatian (attention ),
(5) tindakan (action), dan
(6) tanggung jawab (accounttability),
Disamping itu di dalam pelayanan prima juga perlu diperhatikan prinsip “Human Relation”, yang meliputi prinsip reliability (benar dan tepat), responsiveness (cepat), dan assurance (beretika). Prinsip-prinsip tersebut dikomunikasikan dengan bahasa dan disampaikan kepada publik secara santun atau secara beretika. Dengan kata lain, tutur kata yang digunakan para pejabat birokrat haruslah dapat meninggalkan kesan “excellent service”
Belum ada tanggapan untuk "Bahasa Beretika dalam kajian para ilmuwan"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung