Secara historis tarekat Qadiriyah wan Naqsabandiyah adalah sebuah tarekat yang merupakan hasil penggabungan dari dua tarekat besar, yaitu Tarekat Qadiriyah yang didirikan Syekh Abd al-Qadir al-Jailani (w. 561 H/1166 M di Baghdad) dan Tarekat Naqsabandiyah yang didirikan Syekh Baha al-Din al-Naqsabandi dari Turkistan (w. 1399 M di Bukhara). Penggabungan kedua tarekat tersebut kemudian dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga terbentuk sebuah tarekat yang mandiri dan memiliki perbedaan dengan kedua tarekat induknya. Perbedaan itu terutama terdapat dalam bentuk-bentuk riyadhah dan ritualnya. Penggabungan dan modifikasi yang seperti ini memang suatu hal yang sering terjadi di dalam Tarekat Qadiriyah, seperti tradisi manaqiban dan diba’an dalam tarekat Qodiriyah dilakukan pula dalam Tarekat Qodiriyah wan Naqsabandiyah.
Tarekat ini didirikan oleh seorang ulama besar, yaitu Syekh al-Makarramah Ahmad Khathib ibn Abdul Ghaffar alSambasi, imam besar Masjid al-Haram di Makkah. Ia berasal dari Sambas Nusantara, yang tinggal sampai akhir hayatnya di Makkah tahun 1878. Syekh Ahmad Khatib adalah seorang mursyid Tarekat Qadiriyah, di samping juga mursyid Tarekat Naqsabandiyah. Akan tetapi ia hanya menyebutkan silsilah tarekatnya dari sanad Tarekat Qadiriyah. Sampai sekarang belum ditemukan informasi secara pasti dari sanad mana Syekh Ahmad Khatib menerima bai’at Tarekat Naqsabandiyah, tetapi yang jelas pada saat itu telah ada pusat penyebaran Tarekat Naqsabandiyah di Makkah dan Madinah. Sehingga sangat dimungkinkan ia mendapat bai’at Tarekat Naqsabandiyah dari kemursyidan tarekat tersebut.
Kemudian ia menggabungkan inti ajaran kedua tarekat tersebut, yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsabandiyah dan mengajarkan pada murid-muridnya khususnya yang berasal dari Nusantara. Penggabungan inti ajaran kedua tarekat itu, dimungkinkan atas dasar pertimbangan logis dan strategis bahwa kedua ajaran itu bersifat saling melengkapi, terutama dalam hal jenis dzikir dan metodenya. Tarekat Qadiriyah menekankan ajarannya pada dzikir jahr (bersuara), sedangkan Tarekat Naqsyabandiyah menekankan model dzikir sirr (diam), atau dzikir lathaif.
Dengan penggabungan itu diharapkan para muridnya dapat mencapai derajat kesufian yan lebih tinggi, dengan cara yang lebih efektif dan efisien. Masuknya Tarekat Qadiriyah wan Naqsabandiyah ke Mekah diterangkan oleh beberapa ilmuwan, seperti Snouck Hurgronje memberitakan ketika ia belajar di Mekah, ia melihat terdapat markas besar (ribath) Tarekat Naqsabandiyah di kaki gunung Jabal Qais.
Demikian pula menurut Trimingham ada seorang Syekh dari Minangkabau dibai’at di Mekah pada tahun 1845.31 Menurut van Bruinessen baik Tarekat Qadiriyah maupun Naqsabandiyah dibawa ke Mekkah melalui para pengikutnya dari India. Van Bruinessen nampaknya merujuk pada satu fakta bahwa kebanyakan pengikut Tarekat Naqsabandiyah Mujaddidiyah menelusuri keturunan awal mereka melalui Ghulam Ali atau Syekh Abdullah al-Dihlavi (1824), karena pada awal abad ke 19 India menjadi pusat organisasi dan intelektual utama dari tarekat ini. Khanaqah (pondok) Ghulam Ali di Delhi tidak hanya didatangi para pengikut asal dari India, tetapi juga dari Timur Tengah, Asia Tengah, dan Asia Tenggara.
Walaupun pada tahun 1857 khanaqah ini sempat fakum akibat Delhi dirampas Inggris, namun sampai sekarang khanaqah ini masih tetap eksis sebagai pusat pengembangan tarekat ini. Sebagai seorang mursyid, Syekh Ahmad Khathib memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya. Karena dalam Tarekat Qadiriyah memang ada kebebasan untuk itu, bagi yang telah mencapai derajat mursyid. Namun seperti yang diterangkan dalam kitabnya Fath al-Arifin, sebenarnya tarekat ini tidak hanya merupakan modivikasi dari dua tarekat tersebut, tetapi merupakan penggabungan dari lima ajaran tarekat, yaitu Tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Anfasiah, Junaidiyah, dan Muwafaqah.
Hanya karena yang paling dominan ajaran Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, maka dinamai Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah. Penamaan tarekat ini tidak terlepas dari sikap rendah diri (tawadlu) dan mengagungkan guru (ta’zhim) Syekh Ahmad Khathib kepada pendiri kedua tarekat tersebut. Sehingga ia tidak menitsbatkan nama tarekatnya itu pada dirinya. Padahal melihat modifikasi ajaran, dan tata cara ritual tarekatnya, sebenarnya lebih tepat kalau dinamakan dengan Tarekat Khatibiyah atau Tarekat Sambasiah. Karena memang tarekat ini merupakan hasil ijtihadnya. Syekh Ahmad Khatib telah memadukan beberapa ajaran tarekat menjadi suatu tarekat yang mandiri. Syekh Ahmad Khatib memiliki banyak murid dan khalifah dari beberapa daerah di Nusantara. Di antara khalifah-khalifahnya yang terkenal dan kemudian menurunkan murid-murid yang banyak sampai sekarang, yaitu Syekh Abdul Karim al-Bantani, Syekh Ahmad Thalhah al-Cireboni, dan Syekh Ahmad Hasbullah al-Maduri.
Sedangkan khalifah-Khalifah yang lain, seperti : Muhammad Isma’il ibn Abdul Rachim dari Bali, Syekh Yasin dari Kedah Malaysia, Syekh Haji Ahmad Lampung dari Lampung Sumatera Selatan, dan Muhammad Ma’ruf ibn Abdullah al-Khatib dari Palembang, kurang begitu tersebar luas sejarah perkembangan dalam tarekat ini.
Syekh Muhammad Isma’il dari Bali menetap dan mengajar di Makkah. Sedangkan Syekh Yasin dari Kedah Malaysia menyebarkan tarekat di Mempawah Kalimantan Barat. Syekh Haji Ahmad mengajar tarekat di Lampung dan Syekh Muhammad Ma’ruf mengajar tarekat di Palembang. Penyebaran ajaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di daerah Sambas dilakukan oleh kedua khalifahnya, yaitu Syekh Nuruddin dari Philipina dan Syekh Muhammad Sa’ad al-Sambasi.
Mungkin karena sistem penyebarannya yang tidak didukung oleh sebuah lembaga yang permanen, seperti pesantren-pesantren di Jawa, maka penyebaran tarekat ini di luar pulau Jawa kurang begitu berhasil. Sehingga sampai sekarang ini, keberadaannya tidak begitu dominan. Setelah wafatnya Syekh Ahmad Khatib, kepemimpinan Tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah di Makkah dipegang oleh Syekh Abdul Karim al-Bantani, dan semua khalifah Syekh Ahmad Khatib menerima kemursyidannya. Tetapi setelah Syekh Abdul Karim meninggal, para khalifah tersebut kemudian melepaskan diri dan masing-masing bertindak sebagai mursyid yang tidak terikat kepada mursyid yang lain.
Dengan demikian berdirilah kemursyidan-kemursyidan baru yang independen, seperti kemursyidan Banten, Suryalaya, Cirebon, Rejoso Jombang, Pagentongan Bogor, Mranggen, dan Piji Kabupaten Kudus.
Belum ada tanggapan untuk "Sejarah Berdiri Tarekat Qodiriyah wan Naqsabandiyah"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung