Seorang kandidat doktor, dalam rangka penyusunan disertasinya, telah melakukan studi kualitatif mengenai kehidupan tunawisma di Chicago. Untuk itu, selama musin panas, ia menempatkan diri sebagai participant observer, hidup bersama sekelompok tunawisma, melakukan depth-interview dan observasi. Tetapi, salah seorang anggota komisi disertasinya telah menilai bahwa temuan penelitian sang kandidat tidak objektif atau bias. Sebab, oleh sang kandidat, dinilai telah menggunakan sudut pandang subjektif dari kelompok subjek yang diteliti; selain itu, “sampel” atau kasus tunawisma yang diteliti dianggap kurang representatif dalam menggambarkan realitas kehidupan tunawisma di Amerika pada umumnya, bahkan di Chicago sendiri.
Sebaliknya, seorang anggota komisi disertasi lainnya, seorang profesor yang lebih senior, justru menilai temuan yang diperoleh sang kandidat tersebut sebagai suatu temuan yang benar-benar merupakan refleksi otentik dari realitas kehidupan para tunawisma yang diteliti. Menurut sang profesor, masalah apakah temuan penelitian tersebut merupakan kebenaran yang berlaku umum (the truth) yang bisa digeneralisasi ke populasi atau konteks kehidupan tunawisma yang lebih umum bukanlah suatu tolok ukur untuk menilai kualitas dan signifikansi penelitian sang kandidat. Sebab, dalam penelitian semacam itu, yang lebih dipentingkan adalah penemuan suatu kebenaran (a truth) dalam suatu konteks spesifik.
Dalam kasus semacam itu, tentu akan muncul pertanyaan: “Siapakah yang salah? Anggota komisi disertasi yang pertama atau yang kedua?” Jawabnya: yang paling bersalah adalah si kandidat doktor itu sendiri. Sebab, ia tidak secara tegas menjelaskan posisi metodologi penelitian yang ia lakukan. Ketidakmampuan menjelaskan posisi metodologi itu sendiri disebabkan yang bersangkutan tidak tahu perspektif atau paradigma keilmuan yang mendasari konsep-konsep serta kerangka teori yang ditelitinya.
Kasus-kasus serupa banyak sekali ditemui, terlebih lagi di tanah air. Dalam sejumlah kasus, mahasiswa menjadi “korban” penilaian para penguji skripsi yang masing-masing menggunakan quality criteria berbeda. Di samping karena mahasiswa yang bersangkutan tidak mampu sejak awal menentukan posisi metodologinya, para dosen pembimbing dan penguji juga cenderung memberikan penilaian sesuai dengan perspektif mereka sendiri, atau beranggapan bahwa perspektif yang ia gunakan sebagai satu-satunya perspektif, bahkan yang paling superior di antara perspektif lain.
Di banyak perguruan tinggi, baik di dalam negeri ataupun di luar, Metodologi Penelitian yang diajarkan memang hanya versi tertentu, yang berpijak atas perspektif atau paradigma tertentu, dan itu seringkali kemudian diperlakukan seolah-olah sebagai satu-satunya metodologi penelitian.
Ketidakjelasan paradigma serta posisi metodologi jelas akan mempersulit mahasiswa sewaktu melakukan penelitian. Kesulitan yang muncul, antara lain, yang bersangkutan tidak mempunyai pegangan jelas tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak selayaknya dilakukan. Misalnya, apakah ia harus membuat argumentasi bahwa kasus yang diteliti mewakili suatu populasi? Apakah metode pengumpulan data dan metode analisis yang dilakukan memenuhi syarat? Apa kelemahan dan keterbatasan penelitian yang ia lakukan? Pertanyaan semacam itu sulit dijawab bila tidak tahu persis posisi metodologi penelitian yang digunakan.
Selain akan menyulitkan si mahasiswa dalam menetapkan goodness atau quality criteria dalam melakukan penelitian, juga akan menyebabkan hasilnya amat terbuka terhadap kritik dari berbagai perspektif yang berbeda.
Beberapa Pengelompokan Paradigma
Metodologi penelitian bukan hanya sekadar kumpulan metode atau teknik penelitian, melainkan suatu keseluruhan landasan nilai-nilai (khususnya yang menyangkut filsafat keilmuan), asumsi-asumsi, etika, dan norma yang menjadi aturan-aturan standar yang digunakan untuk menafsirkan serta menyimpulkan data penelitian; di dalamnya, termasuk juga kriteria untuk menilai kualitas hasil penelitian.
Pembedaan antara metode dan metodologi tersebut dikemukakan oleh Bailey (1987: 32-33) sebagai berikut: By “method” we simply mean the research technique or tool used to gather data . . . By “methodology” we mean the philosophy of the research process. This include the assumptions and values that serve as a rationale for research and the standards or criteria the researcher uses for interpreting data and reaching conclusions. Metodologi penelitian, dengan demikian, sebenarnya tidak terlepas dari suatu paradigma keilmuan tertentu.
Lebih spesifik lagi, metodologi penelitian merupakan implikasi atau konsekuensi logis dari nilai-nilai, asumsi-asumsi, aturan-aturan serta kriteria yang menjadi bagian integral dari suatu paradigma. Berbeda dengan ilmu-ilmu alam serta fisika yang pada era tertentu hanya memiliki satu paradigma – seperti paradigma Newtonian, yang kemudian digantikan oleh paradigma relativitasnya Einstein – maka ilmu-ilmu sosial merupakan suatu multi-paradigm science, di mana berbagai paradigma bisa tampil bersama-sama dalam suatu era.
Usaha untuk mengelompokkan teori-teori dan pendekatan ke dalam sejumlah paradigma yang dilakukan sejauh ini telah menghasilkan pengelompokan yang amat bervariasi. Kinloch (1977), contohnya, mengidentifikasi sekurangnya enam paradigma atau perspektif teoretikal (Organic Paradigm, Conflict Paradigm, Social Behaviorism, Structure Functionalism, Modern Conflict Theory, dan Social-Psychological Paradigm). Tetapi, Crotty (1994) mengelompokkan teori-teori sosial, antara lain, ke dalam Positivism, Interpretivism, Critical Inquiry, Feminism, dan Postmodernism. Burrel dan Morgan (1979) mengelompokkan teori-teori dan pendekatan dalam ilmu-ilmu sosial kedalam empat paradigma Radical Humanist Paradigm, Radical Structuralist Paradigm, Interpretive Paradigm, dan Functionalist Paradigm. Namun, bahasan mereka tidak secara jelas menunjukkan implikasi metodologi dari masing-masing paradigma.
Sementara itu, Guba dan Lincoln (1994) mengajukan tipologi yang mencakup empat paradigma: Positivism, Postpositivism, Critical Theories et al., dan Constructivism, masing-masing dengan implikasi metodologi tersendiri. Tetapi sejumlah ilmuwan sosial lain melihat positivism dan postpositivism bisa disatukan sebagai classical paradigm karena dalam prakteknya implikasi metodologi keduanya tidak jauh berbeda. Karena itu pula, untuk kepentingan mempermudah bahasan tentang implikasi metodologi dari suatu paradigma, maka teori-teori dan penelitian ilmiah komunikasi cukup dikelompokkan ke dalam tiga paradigma, yakni:
- Classical paradigm (yang mencakup positivism dan postpositivism),
- Critical paradigm, dan
- Constructivism paradigm.
Terlepas dari variasi pemetaan paradigma yang ada, pada intinya setiap paradigma dapat dibedakan dari paradigma lainnya atas dasar sejumlah hal, antara lain konsepsi tentang ilmu-ilmu sosial, ataupun asumsi-asumsi tentang masyarakat, manusia, realitas sosial, keberpihakkan moral, dan juga commitment terhadap nilai-nilai tertentu.
Asumsi-asumsi Epistemologi, Ontologi, dan Metodologi dalam Paradigma
Berhubung metodologi penelitian merupakan implikasi dari suatu paradigma, dan karena dalam bidang ilmu-ilmu sosial terdapat sejumlah paradigma, maka metodologi penelitian dalam ilmu-ilmu sosial bukanlah suatu kesatuan disiplin yang monolitik. Terdapat berbagai varian atau perspektif metodologi ilmu-ilmu sosial. Masing-masing varian metodologi, selain didasarkan atas paradigma atau perspektif teoretik serta epistemologi yang berbeda (dan banyak di antaranya bahkan saling bertolak-belakang), mereka pun memiliki pilihan metode-metode penelitian yang berbeda pula.
Masing-masing paradigma didasarkan atas epistemologi dan perspektif teoretikal tersendiri. Selain itu, masing-masing epistemologi dan perspektif teoretikal juga membawa implikasi berupa penentuan varian metodologi mana yang harus diterapkan. Akhirnya, setiap varian metodologi memiliki preferensi metode-metode tertentu yang dinilai tepat untuk digunakan dalam suatu penelitian, dan juga tolok-ukur tersendiri dalam menilai apakah suatu hasil penelitian menjawab permasalahan yang diajukan, atau apakah suatu penelitian “berkualitas” atau tidak.
Keseluruhan epistemologi, perspektif teoretikal, metodologi, dan metode-metode itu bisa kita sebut sebagai suatu paradigma. Sebagai contoh, perspektif teoretikal symbolic interactionism didasarkan atas epistemologi yang disebut sebagai constructivism. Epistemologi sendiri bisa didefinisikan sebagai . . . the theory of knowledge embedded in the theoretical perspective and thereby in the methodology (Crotty, 1998:3). Perspektif teoretikal symbolic interactionism yang didasarkan atas epistemologi yang disebut constructivism juga tidak terlepas dari penerapan metodologi tertentu sebagai implikasi, antara lain, penerapan metodologi ethnography.
Metodologi ethnography memiliki kecenderungan atau preferensi untuk menerapkan metode-metode tertentu pula yang dinilai tepat, seperti metode pengumpulan data participant observation. Tiap paradigma—sebagai suatu mental window atau world view yang digunakan oleh suatu komunitas ilmuwan tertentu untuk mempelajari objek keilmuan mereka—mungkin bertolakbelakang satu sama lain dan sulit dipertemukan. Sebab, masing-masing paradigma memiliki asumsiasumsi serta penjelasan mengenai realitas sosial tersendiri, yang sulit untuk dibandingkan satu per satu (incommensurable) berdasarkan sistem nilai independen tertentu: “… paradigms are incommensurable. That is the assumptions and explanations of two or more paradigms within a given discipline are so different that they cannot be compared by means of an independent value system. Thus adherence to one paradigm forecloses the possibility of the acceptance of a competing one” (Lindlof, 1995: 29).
Bila Denzin dan Lincoln menilai “A paradigm encompasses three elements: epistemology, ontology, dan methodology (lihat Denzin dan Lincoln, 1994: 99), maka perbedaan antarparadigma bisa meliputi perbedaan yang mendasar dari segi ontologi, epistemologi, dan metodologi. Perbedaan yang paradigmatik antara dua peneliti – atau perbedaan yang mencakup dimensi epistemologi, ontologi, dan metodologi – akan menyebabkan keduanya tidak bisa dipertemukan dan bekerjasama.
Empat paradigma yang dikemukakan Burrel dan Morgan (dalam Rosengreen,1979), sebagai contoh, sebenarnya berangkat dari pengutuban teori-teori sosial dalam sebuah kontinum antara konsepsi yang menekankan subjektivitas di kutub yang satu dengan objektivitas di kutub yang lain. Dalam kontinum objektif-subjektif tersebut, sekurangnya terdapat pengutuban menyangkut empat asumsi mengenai ilmu-ilmu sosial. Pertama, dari segi ontologi, pengutuban antara realisme - nominalisme; dari segi epistemologi, pengkutuban antara positivism-antipositivism; dari segi metodologi, antara nomothetic-ideographic; kemudian dari segi asumsi tentang manusia, kutub objektivis berangkat dari asumsi yang deterministik, sedangkan kutub subjektivis berpijak pada asumsi voluntaristik (Rosengreen, 1979: 186-187).
Di luar dimensi-dimensi epistemologi, ontologi, dan metodologi, sejumlah pakar lain secara implisit ataupun eksplisit menilai sebuah paradigma juga memuat elemen axiology (lihat a.l., Littlejohn, 1992: 30-34), yang berkaitan dengan posisi value judgments, etika, atau pilihan moral peneliti dalam melakukan suatu penelitian dan kegiatan ilmiah.
Oleh karena itu, perbedaan antar paradigma tersebut juga bisa dibahas dari empat dimensi, yakni:
- Epistemologis, yang antara lain menyangkut asumsi mengenai hubungan antara peneliti dan yang diteliti dalam proses untuk memperoleh pengetahuan mengenai objek yang diteliti. Kesemuanya menyangkut teori pengetahuan (theory of knowledge) yang melekat dalam perspektif teori dan metodologi.
- Ontologis, yang berkaitan dengan asumsi mengenai objek atau realitas sosial yang diteliti.
- Metodologis, yang berisi asumsi-asumsi mengenai bagaimana cara memperoleh pengetahuan mengenai suatu objek pengetahuan.
- Aksiologis, yang berkaitan dengan posisi value judgments, etika, dan pilihan moral peneliti dalam suatu penelitian.
Pertama, Peneliti dari kubu paradigma klasik merasa harus menempatkan diri sebagai value free researcher, yang harus senantiasa membuat pemisahan antara nilai-nilai subjektif yang dimilikinya dengan fakta objektif yang diteliti. Sebaliknya, peneliti dari kubu kritis dan konstruktivis melihat hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak mungkin dan tidak perlu dilakukan. Sebab, setiap penelitian selalu melibatkan value judgments dan keberpihakan pada nilai-nilai tertentu. Pemilihan apa yang akan diteliti (misalnya, efektivitas iklan rokok ataukah akibat negatif iklan rokok) didasarkan atas suatu penilaian subjektif. Lebih dari itu, dalam sebuah ilmu yang menjadikan manusia sebagai pokok perhatian, usaha untuk secara “objektif” menempatkan manusia sebagaimana halnya objek-objek ilmu alam jelas telah merupakan suatu value judgment juga.
Kedua, Penelitian paradigma klasik berangkat dari asumsi adanya suatu realitas sosial yang objektif. Karena itu, suatu penelitian juga harus harus objektif, yakni untuk memperoleh pengetahuan tentang suatu objek atau realitas sosial sebagaimana adanya. Untuk itu, seorang peneliti harus menjaga jarak dengan objek yang diteliti, mencegah agar tidak terjadi interaksi antara subjektivitas dirinya dengan objek yang diteliti. Sebaliknya, peneliti paradigma kritis justru melihat bahwa objek atau realitas sosial yang mereka amati merupakan penampakan realitas semu (virtual reality) atau sekedar ekspresi kesadaran palsu (false consciousness) yang dimiliki manusia, bukan merupakan suatu realitas objektif, atau realitas yang sesuai dengan “esensi sebenarnya” – yang diyakini oleh para peneliti dari kubu kritis seharusnya dimiliki manusia dan dunianya. Tujuannya antara lain untuk memperoleh temuan yang memiliki signifikansi sosial. Sementara itu, varian tertentu dalam tradisi penelitian konstruktivis merupakan penelitian refleksif, yang ingin merefleksikan suatu realitas sosial sesuai dengan penghayatan subjek-subjek terkait dalam realitas itu sendiri.
Ketiga, Setiap paradigma memiliki sendiri kriteria penilaian kualitas suatu penelitian (goodness criteria). Oleh karena itu, sulit, atau bahkan tidak selayaknya, kita menggunakan kriteria yang berlaku dalam paradigma klasik untuk menilai kualitas sebuah penelitian yang berpijak atas asumsi-asumsi epistemologis, ontologis dan aksiologis dari paradigma lain, demikian pula sebaliknya.
Paradigma klasik hingga saat ini masih tetap tampil lebih dominan dibanding dua paradigma lainnya. Secara umum, penilaian mengenai dominasi paradigma klasik tersebut, khususnya di Tanah Air, didasarkan atas sejumlah pengamatan, antara lain:
Pertama, jumlah penelitian, jumlah publikasi hasil penelitian, besarnya pendanaan yang diperoleh, jumlah ilmuwan, dan profesional yang terserap pasaran tenaga kerja sektor ekonomi lainnya (lihat a.l., Guba and Lincoln, 1994: 112).
Kedua, besarnya kecenderungan di kalangan ilmuwan sosial sendiri untuk menilai metodologi paradigma klasik sebagai satu-satunya metodologi penelitian. Di banyak perguruan tinggi, metodologi penelitian yang diajarkan hanyalah metodologi penelitian klasik; dan itu kemudian dipersepsikan sebagai satu-satunya metodologi. Dengan demikian kriteria penilaian kualitas penelitian paradigma klasik (seperti objektivitas, reliabilitas, validitas internal dan eksternal) juga dinilai sebagai kriteria untuk menilai kualitas setiap penelitian, termasuk menilai kualitas penelitian-penelitian yang berpijak pada paradigma kritis ataupun paradigma konstruktivis.
Penting untuk dicatat, bahwa meskipun fokus kajian dalam metodologi penelitian ini memang bertumpu pada metodologi penelitian klasik, namun itu sama sekali tidak berarti bahwa paradigma tersebut merupakan yang terbaik, atau lebih superior dibanding paradigma lainnya. Pertimbangan untuk itu hanyalah didasarkan atas asumsi bahwa, pertama, metodologi klasik tersebut hingga kini paling banyak digunakan dan dimengerti; kedua, untuk bisa memahami metodologi dari perspektif lain, dan juga untuk mampu bersikap kritis terhadap metodologi klasik, maka pertama-tama metodologi klasik itu sendiri harus benar-benar dikuasai atau dimengerti.
Peneliti kualitatif dalam kelompok kritis dan konstruktivis yang berkualitas umumnya adalah peneliti yang benar-benar menguasai metodemetode kuantitatif dalam tradisi klasik. Sebaliknya, peneliti kualitatif banyak yang melakukan studi kualitatif semata-mata hanya karena tidak menguasai sama sekali kaidah-kaidah, metode serta teknik dalam perspektif kritis dan konstruktivis
Belum ada tanggapan untuk "Metodologi Penelitian dalam Sebuah “Multi-Paradigm Science”"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung