Gaya hidup dan tradisi dalam budaya minum kopi telah melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Meskipun dalam data sejarah ditunjukkan bahwa kopi bukan merupakan tanaman asli Indonesia (Gumulya & Helmi, 2017), ia telah menjadi salah satu penanda budaya bagi masyarakat Indonesia. Hal itu terlihat dari aktivitas keseharian masyarakat Indonesia yang hampir tidak dapat dilepaskan dari minum kopi. Salah satu penanda bahwa tradisi minum kopi telah mengakar kuat dalam budaya masyarakat Indonesia adalah cara penyeduhan kopi yang sangat khas Indonesia, yaitu kopi tubruk.
Wiraseto (2016: 62) menjelaskan bahwa melalui kopi tubruk dapat dilacak bagaimana orang-orang Indonesia sejak lebih dari 300 tahun yang lalu telah minum kopi. Kopi tubruk ini merupakan peninggalan tradisi menyeduh kopi di Indonesia. Pola menyeduh kopi tubruk mungkin merupakan cara penyeduhan yang paling sederhana dan paling tradisional.
Sudah sejak lama minum kopi telah menjadi kebiasaan bagi orang Indonesia, baik di rumah maupun di ruang publik seperti di kedai-kedai kopi dengan menampilkan ciri khas kultur tradisional daerah setempat. Hampir di setiap daerah, budaya minum kopi menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Bagi orang Indonesia, budaya minum kopi menjadi sarana untuk melepas penat atau berinteraksi dengan anggota keluarga atau anggota masyarakat lainnya.
Seiring berjalannya waktu, konsep minum kopi ini berubah. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa perilaku budaya pada masyarakat selalu bergerak dinamis, sejalan dengan faktor-faktor yang memicu perubahan, baik dari dalam maupun dari luar masyarakat itu sendiri (Harsojo, 1988: 120). Kopi tidak lagi dianggap sebagai minuman tradisional yang menjadi teman di waktu santai di teras rumah atau tersedia di kedai-kedai kopi di pinggir jalan.
Fenomena kontemporer menunjukkan bahwa kopi menjadi gaya hidup yang hadir dan menghidupi masyarakat urban di Indonesia. Sebutlah misalnya beberapa kedai kopi terkenal yang bertaraf internasional, Starbuck dan CoffeBean. Dengan citra desain dan kemasan yang khas dan menunjukkan citra kelas tertentu, kedai-kedai kopi yang bertebaran di kotakota besar ini menjadikan kopi sebagai penanda gaya hidup baru, terutama bagi masyarakat urban perkotaan.
Gaya hidup, seperti dinyatakan Chaney, berkaitan dengan pola-pola tindakan yang ditunjukkan orang untuk membedakan antara satu orang dengan orang lainnya. Gaya hidup membantu kita memahami apa yang orang lakukan, mengapa mereka melakukannya, dan apakah yang mereka lakukan bermakna bagi dirinya maupun orang lain (Chaney, 2017: 40). Chaney mengamsusikan bahwa gaya hidup merupakan bagian dari kehidupan sosial sehari-hari dunia modern. Oleh karena itu, Chaney menduga bahwa gaya hidup akan sulit dipahami oleh mereka yang tidak hidup dalam masyarakat modern.
Hal ini seakan menunjukkan adanya keterpisahan cara menjalani hidup antara masyarakat tradisional dengan masyarakat modern meskipun kehadirannya berada dalam waktu yang sama. Gaya hidup lebih banyak dikaitkan dengan masyarakat urban yang lekat dengan istilah gaya hidup konsumeristis yang meleburkan kebutuhan dan keinginan (Adian, 2007: 26).
Citra kopi sebagai penanda gaya hidup dibangun oleh media-media massa populer seperti surat kabar, majalah, dan utamanya televisi. Hal ini diperkuat pernyataan Heryanto (2012: 7) yang mengatakan bahwa tidak ada yang bisa menarik perhatian sekira 100 juta orang Indonesia selama berjam-jam setiap harinya kecuali program televisi. Citra kopi tersebut terepresentasi melalui narasi yang disuguhkan oleh televisi, terutama melalui iklan yang yang secara sporadis menyerbu ruang domestik. Hal ini menunjukkan bahwa media massa populer sangat besar pengaruhnya dalam mengonstruksi ruang kesadaran masyarakat. Surat kabar kerap memberitakan berbagai suguhan kopi dalam berbagai racikan dan bagaimana perilaku konsumen dan barista dalam membangun interaksi dengan pengunjung dalam kedai tersebut.
Dalam tulisan-tulisan yang dimuat di surat kabar tersebut, budaya minum kopi telah menjadi satu tren baru. Bersamaan dengan itu, muncul pula kesadaran akan keunggulan produk-produk kopi lokal. Tampaknya karena itu pula, sejalan dengan berkembang pesatnya kedai-kedai kopi brand internasional, bermunculan pula kedai-kedai kopi dengan brand lokal sebagai fenomena terbaru dari gaya hidup urban ini, sebut saja misalnya Ngopi Doeloe, Bakoel Koffie, Coffee Toffee, dan Warunk Upnormal. Keberadaannya seakan menjadi semacam wacana tanding terhadap kedai-kedai kopi brand internasional.
Selain melalui media massa, kopi juga hadir di dalam karya sastra kontemporer. Salah satu karya sastra yang mengangkat kopi adalah cerpen yang berjudul “Filosofi Kopi” karya Dewi Lestari atau Dee. Cerpen “Filosofi Kopi” merupakan satu cerpen yang mengupas fenomena budaya minum kopi dengan menarik. Cerpen ini dimuat dalam kumpulan cerpen Dee yang juga berjudul sama,” Filosofi Kopi”. Kumpulan cerpen ini ditulis oleh Dee, diterbitkan pada tahun 2006 oleh penerbit Trudee dan Gagasmedia. Cerpen ini merupakan cerpen yang unik karena mengangkat kopi sebagai dasar cerita.
Kopi tidak hanya hadir sebagai latar utama, tetapi ia juga menjadi ruh cerita. Ia menjadi penggerak tokoh dalam menjalani alur cerita. Cerpen ini muncul dalam keadaan yang tepat, sejalan dengan fenomena budaya minum kopi yang bertumbuh dan menjamur di berbagai daerah di Indonesia, terutama di wilayah urban. Dengan alur cerita dan cara bertutur yang menarik, cerpen ini dapat dengan jeli menangkap fenomena minum kopi pada kaum urban di Indonesia. Selain itu, cerpen ini tidak hanya mengetengahkan budaya minum kopi, tetapi kecintaan akan sebuah profesi dan hobi yang dijalankan dengan sungguhsungguh dan penuh cinta.
Hal Ini mengajarkan mencintai sebuah hobi dan profesi. Terkadang milik yang lain terlihat lebih berkilau semata-mata karena tidak dilihat kelebihan dan keunikan milik sendiri. Filosofi hidup yang menarik untuk dikaji dan direnungkan.
Mungkin karena alasan itu pula, selain karena ditulis dengan menarik, cerpen ini pada proses selanjutnya diangkat ke dalam film. Film dengan judul yang sama ini juga sangat diminati oleh penonton Indonesia. Terbukti hanya dalam 12 hari pemutaran film tersebut di bioskop, film Filosofi Kopi telah mencapai jumlah penonton sebanyak 158.517 dan menempati posisi keempat film box office Indonesia (Pangerang, 2015). Capaian ini menunjukkan bahwa budaya minum kopi telah menjadi bagian kehidupan orang Indonesia sehingga film tersebut secara tidak langsung diakui sebagai representasi dari penonton yang mayoritas merupakan masyarakat urban.
Sejauh ini, cerpen “Filosofi Kopi” telah diteliti dalam berbagai pendekatan. Puspita (2017) meneliti psikologi tokoh Ben dengan menggunakan teori psikoanalisis Freud. Sementara itu, Solihati dkk. (2017) memfokuskan pada proses ekranisasi cerpen “Filosofi Kopi” ke dalam cerpen dengan menemukan perubahanperubahan yang terjadi dari proses ekranisasi tersebut. Kedua tulisan tersebut mengkaji cerpen “Filosofi Kopi” dengan pendekatan ilmu sastra.
test
ReplyDelete