Ada enam cara terbaik dan praktis membantu setiap manusia yang sedang menjalani masalah. Keenam cara tersebut adalah
1. Masalah Tidak untuk Disimpan, Tetapi Dibagikan
Menyimpan masalah adalah kecenderungan manusia pada umumnya. Menghindar agar masalah kita tidak diketahui oleh siapa pun sudah menjadi naluri kebanyakan manusia setelah jatuh dalam dosa. Pada umumnya orang memandang kesulitannya dengan cara sempit. Paradigma yang paling umum dalam memandang kesulitan dan penderitaan adalah pertama kali, menghubungkan masalahnya langsung dengan dosa terutama dengan dengan dosa orangtua atau nenek moyangnya. Tidak bisa disangkal memang akar masalah dan penderitaan manusia adalah dosa. Semua manusia sudah berdosa. Namun jangan dosa selalu dikambing‐ hitamkan sebagai penyebab segala kesulitan hidup. Ada banyak faktor lain yang bisa menyebabkan penderitaan manusia. Sebut saja karena faktor alam, karena kesalahan atau kelalaian manusia lainnya, faktor setan, dan sebagainya.
Paradigma kedua adalah roh jahat (iblis) dikambinghitamkan sebagai satu‐satunya penyebab masalah atau penderitaan. Setan disudutkan sebagai penyebab kebiasaan buruk seperti berzinah. Jika paradigma setan sebagai penyebab tunggal dan utama, maka pendekatannya biasanya adalah dengan melakukan pengusiran setan (eksorsis). Ini tentu keliru. Jika kita menganggap setan sebagai penyebab, maka kita tidak akan merasa perlu ikut bertanggung jawab.
Paradigma ketiga adalah kebanyakan klien yang berasal dari budaya timur, menganggap kesulitan hidup tertentu seperti anak menggunakan narkoba dan atau sudah terinfeksi virus HIV sebagai aib yang memalukan. Akibatnya anggota keluarganya akan sulit berbagi dan mencari bantuan. Masalah akan disimpan selama mungkin.
2. Masalah Tidak Untuk Disesalkan Tapi Dirayakan.
Pada umumnya manusia mengeluh sambil menyesali peristiwa‐ peristiwa sulit yang ia alami. Tak jarang mereka mengkambinghitamkan seseorang alias menyalahkan orang lain atas masalah yang ia alami. Saat anak kecanduan narkoba, si Ayah menuding ibu, "Ngapain saja kau di rumah? Aku kan sibuk kerja, mencari nafkah? Masa kau tidak tahu anak kita pakai putaw?" Sang ibu, tidak mau disalahkan begitu saja balas berteriak,
“Jangan sembarang menyalahkan orang lain ya! Kamu yang enak‐enakan di kantor dengan sekretarismu yang genit itu, pulang malam terus. Kapan kamu punya waktu untuk anakmu? Mana tanggung jawabmu sebagai kepala keluarga?”
Begitulah godaannya saat masalah datang, menyesalkan masalah dan mengkambinghitamkan orang lain. Kala kesulitan datang, biasanya kita protes, mencari kambing hitam siapa yang salah dan bisa kita salahkan. Kita akan berrtanya, "Mengapa hal ini menimpa saya?"; ”Kenapa harus saya?”, atau “Mengapa nasib saya begini sial?” Pertanyaan seperti itu tidak ada ujungnya. Buahnya adalah sungut‐ sungut dan kekecewaan.
Merayakan disini adalah mengganti penyesalan dengan kalimat bersyukur. Suatu sikap yang bersedia menerima kesulitan tanpa bersungut‐sungut. Sebaliknya mengembangkan sikap hati bersyukur. Bersyukur dalam segala hal. Agar kita dapat merayakan masalah, cobalah ajukan pertanyaan sebagai berikut: “Apa ya maksud Tuhan mengizinkan hal yang buruk menimpa saya?”
Bersyukur saat sulit memang sesuatu ketrampilan hidup dan perlu dilatih, dibiasakan agar menjadi bagian hidup. Bagaimana aplikasi praktisnya? Bersyukur dapat dilakukan di mana dan kapan saja, tidak perlu waktu dan tempat yang khusus. Hanya beberapa detik, saat berada di mobil, di dalam bis, saat memasak atau membersihkan rumah, saat mengerjakan tugas di kantor atau sedang di sekolah. Kita tidak harus menutup mata atau melipat tangan. Hati menjadi kunci utama doa bersyukur.
3. Masalah Bukan Tanda Kelemahan, melainkan Kekuatan.
Saat melihat seorang sahabat menderita sakit berat dan berkepanjangan, mudah bagi kita berkata “kasihan”. Untuk apa kasihan? Tidak perlu kasihan. Justru orang tersebut harus dikagumi, diijinkan mengalami hal yang sulit. Orang yang diijinkan oleh Allah menanggung masalah adalah orang kuat, bukan manusia lemah.
Contohnya adalah coba perhatikan atlet angkat besi. Semakin tinggi kelasnya, makin berat barbel yang harus diangkat. Hidup manusia seperti atlet angkat besi. Tuhan seperti Pelatih yang tak pernah menitipkan beban hidup melampaui kemampuan manusia. Jika seseorang hanya sanggup memikul beban masalah 50 kg, Dia tidak akan mengijinkan orang itu ditimpa masalah 70 kg. Sesungguhnya pencobaan ‐ pencobaan yang Anda dan saya alami adalah pencobaan‐pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Ia tidak akan membiarkan kita dicobai melampaui kekuatan kita. Bahkan pada waktu kita dicobai, Ia menyediakan kekuatan agar kita cakap menanggungnya. Dalam dunia angkat besi, atlet senior yang sukses, kelak menjadi pelatih yuniornya. Demikianlah kita yang sudah lebih dulu diizinkan Tuhan ditimpa pelbagai beban berat, disiapkan menjadi pelatih atau konselor bagi “yunior” kita.
4. Masalah Tidak Menjauhkan, Tetapi Mendekatkan Dengan Tuhan.
Entah kenapa sifat manusia pada umumnya mencari Tuhan saat hidupnya terasa sulit dan sesak. Tetapi jika sudah aman dan lancar, wusss lupa deh.
5. Masalah Tidak untuk Dihindari, Tetapi Dijalani.
Biasanya saat masalah berat datang, kita cenderung menyangkal. Misal saat mendengar anak tertabrak dan meninggal; atau menderita penyakit, atau saat mendengar kabar suami Anda punya WIL (wanita idaman lain). Manusia berharap masalah itu tidak benar‐benar terjadi. Lalu kita menjadi marah dan depresi.
Menjalani masalah berarti belajar berserah dan berpengharapan. Caranya, ya jalanilah masalah itu. Lakukanlah apa yang bisa dan harus kita lakukan. Lakukan dengan jiwa yang bersabar. Itulah bagian kita. Sementara, nantikan Allah mengerjakan bagian‐Nya. Perasaan kita pasti bergumul. Tapi paling tidak, sambil berenang dalam sungai masalah itu, kita mengikuti arus. Dalam perjalanan itu kita mencari ranting yang dapat menjadi pegangan kita untuk menahan arus. Memang, ini tetap tidak mudah, nyaris hanya suatu teori! Namun bukan berarti mustahil. Toh kita tidak sendiri, banyak orang dunia punya masalah yang sama.
6. Masalah Bukan Kutuk, Melainkan Berkat.
Pada umumnya manusia memiliki berlatar belakang suku. Ada suku Jawa, Batak, Ambon, dan suku lainnya. Konsep kesukuan ikut mempengaruhi cara seseorang memandang penderitaan dan kesulitan. Sebutlah beberapa kasus penyakit yang relatif sulit sembuh seperti skizofrenia, autis , HIV/AIDS, dsbnya sering dipandang sebagai aib. Masalah disorientasi seksual dan gender dikaitkan kutuk, dosa, dan dengan setan. Mereka yang langsung menghubungkan kesulitan dengan dosa, atau kebiasaan buruk dengan ikatan roh jahat. Setan sering dikambinghitamkan sebagai penyebab dosa dan kebiasaan buruk. Tentu ini tidak benar dan tidak bertanggung jawab.
Belum ada tanggapan untuk "6 Cara Menolong dan Menyembuhkan Diri Sendiri dari Masalah"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung