Seorang guru setiap tahun ajaran baru selalu menghadapi peserta didik yang berbeda satu sama lain. Peserta didik yang berada di dalam sebuah kelas, tidak terdapat seorangpun yang sama. Mungkin sekali dua orang dilihatnya hampir sama atau mirip, akan tetapi pada kenyataannya jika diamati benar-benar antara keduanya tentu terdapat perbedaan. Perbedaan yang segera dapat dikenal oleh seorang guru terhadap peserta didiknya adalah perbedaan fisiknya, seperti tinggi badan, bentuk badan, warna kulit, bentuk muka, dan semacamnya. Ciri lain yang segera dapat dikenal adalah tingkah laku masing-masing peserta didik, begitu pula suara mereka. Ada peserta didik yang lincah, banyak gerak, pendiam, dan sebagainya. Ada peserta didik yang nada suaranya kecil dan ada yang besar atau rendah, ada yang berbicara cepat dan ada pula yang pelan-pelan. Apabila ditelusuri secara cermat peserta didik yang satu dengan yang lain memiliki sifat psikis yang berbeda-beda.
Upaya pertama yang dilakukan untuk mengetahui perbedaan peserta didik adalah menghitung umur kronologis, sebagai faktor yang mewakili tingkat kematangan peserta didik dan karena itu memungkinkan dia dapat dididik hedaknya dilihat sebagai komponen perbedaan. Tidak peduli betapa tingginya kemampuan mental dan fisik seorang anak seusia 3 tahun ia tidak dapat diharapkan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan anak usia 14 tahun karena perbedaan tingkat kematangan. Kesiapan untuk melibatkan diri dalam situasi belajar tertentu berbeda antara anak satu dengan lainnya dalam setiap tingkatan umur.
Jumlah dan macam pengalaman sebelumnya dan pengetahuan yang dibawa anak ke situasi tertentu mempengaruhi kapasitasnya untuk belajar pada tingkat selanjutnya atau sikapnya terhadap mata pelajaran tersebut. Jika peserta didik merasa (benar atau salah ) bahwa ia telah mengetahui banyak tentang isi dari suatu mata pelajaran tertentu mungkin ia telah kehilangan minat untuk mempelajari mata pelajaran tersebut dan akibatnya mereka dapat mengalami kegagalan dalam mata pelajaran selanjutnya.
Gary (Oxendine, 1984) mengategorikan perbedaan anak(individu ) kedalam bidang-bidang sebagai berikut.
1. | Perbedaan fisik: usia, tinggi dan berat badan, jenis kelamin, pendengaran, penglihatan, dan kemampuan bertindak; |
2. | Perbedaan sosial : status ekonomi, agama, suku, dan hubungan keluarga; |
3. | Perbedaan kepribadian : watak, motif, minat, dan sikap; |
4. | Perbedaan intelegensi dan kemampuan dasar; |
5. | Perbedaan kecakapan atau kepandaian di sekolah. |
Perbedaan–perbedaan tersebut berpengaruh terhadap perilaku mereka di rumah maupun di sekolah. Gejala yang dapat diamati adalah bahwa mereka menjadi lebih atau kurang dalam bidang tertentu dibanding dengan orang lain. Sebagian dari mereka lebih mampu dalam bidang seni atau bidang ekspresi lain, seperti olah raga dan keterampilan, sebagian lagi lebih mampu dalam bidang kognitif atau yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan.
Kemampuan kognitif menggambarkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi tiap-tiap anak. Pada dasarnya kemampuan kognitif merupakan hasil belajar. Dengan demikian kemampuan kognitif tergambar pada hasil belajar yang diukur dengan tes hasil belajar yang valid dan reliabel. Tes hasil belajar menghasilkan nilai kemampuan kognitif yang bervariasi. Variasi nilai tersebut menggambarkan perbedaan kemampuan kognitif tiap-tiap anak.
Intelegensi ( kecerdasan ) sangat mempengaruhi kemampuan kognitif seseorang. Menurut Sunarto ( 2002 ) bahwa antara kecerdasan dan nilai kemampuan kognitif berkorelasi tinggi dan positif, semakin tinggi nilai kecerdasan seseorang semakin tinggi kemampuan kognitifnya.
Intelegensi merupakan salah satu aspek yang selalu aktual untuk dibicarakan dalam dunia pendidikan. Keaktualan itu dikarenakan intelegensi adalah unsur yang ikut mempengaruhi keberhasilan belajar anak didik.
Menurut Stern (Suharsimi, 1990 ), intelegensi merupakan daya untuk menyesuaikan diri secara mudah dengan keadaan baru dengan menggunakan bahan-bahan pikiran yang ada menurut tujuannya. Wechler (1958) merumuskan intelegensi sebagai keseluruhan “kemampuan individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah serta kemampuan mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif”.
Menurut Binet (Sunarto, 2002) bahwa intelegensi merupakan kemampuan yang diperoleh melalui keturunan, kemampuan yang dimiliki dan diwarisi sejak lahir dan tidak terlalu banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Dalam batas-batas tertentu lingkungan turut berperan dalam pembentukan kemampuan intelegensi.
Jadi, dapat dipahami bahwa intelegensi adalah kemampuan untuk memahami dan beradaptasi dengan situasi yang baru dengan cepat dan efektif, kemampuan untuk menggunakan konsep yang abstrak secara efektif, dan kemampuan untuk memahami hubungan dan mempelajarinya dengan cepat.
Tingkat kecerdasan, tinggi redahnya intelegensi peserta didik dapat diketahui melalui sebuah instrumen yang dikenal dengan ”tes intelegensi” dan gambaran mengenai hasil pengetesan kemudian dikenal dengan intelligence qoutient, disingkat dengan IQ.
Rumus perhitungan IQ, sebagai perbandingan kecerdasan yang diajukan oleh William Stern (1871-1938) ( Sunarto, 2002) adalah sebagai berikut.
Apabila tes tersebut diberikan kepada anak umur tertentu dan ia dapat menjawab dengan betul seluruhnya, berarti umur kecerdasannya (MA) sama dengan umur kalender (CA), maka nilai IQ yang didapat anak itu sama dengan 100, nilai menggambarkan kemampuan seorang anak yang normal. Anak yang berumur 6 tahun hanya dapat menjawab tes untuk anak umur 5 tahun, akan didapati nilai IQ di bawah 100 dan ia dinyatakan sebagai anak berkemampuan di bawah normal; sebaliknya bagi anak umur 5 tahun tetapi telah dapat menjawab dengan benar tes yang diperuntukkan bagi anak umur 6 tahun, maka nilai IQ anak itu di atas 100, dan ia dikatakan sebagai anak yang cerdas.
Pada usia remaja, IQ dihitung dengan cara memberikan seperangkat pertanyaan yang terdiri dari berbagai soal ( hitungan, kata-kata, gambar-gambar, dan semacamnya) dan menghitung berapa banyak pertanyaan yang dapat dijawab dengan benar kemudian mengkonsultasikan dengan daftar ( yang dibuat berdasarkan penelitian yang dipercaya),. dengan cara itu didapat nilai IQ orang yang bersangkutan.
Berdasarkan hasil tes intelegensi ( tes IQ), maka hasil bagi yang diperoleh dari pembagian umur kecerdasan dengan umur sebenarnya, menunjukkan kesanggupan rata-rata kecerdasan seseorang. Berikut adalah pembagian tingkat kecerdasan.
a. | Luar biasa (genius) | IQ > 140 |
b. | Pintar (bagaaf) | 110 < IQ ≤140 |
c. | Normal (biasa) | 90 < IQ ≤ 110 |
d. | Kurang pintar | 70 < IQ ≤ 90 |
e. | Bebal (debil) | 50 < IQ ≤ 70 |
f. | Dungu (imbicil) | 30 < IQ ≤ 50 |
g. | Pusung (idiot) | IQ ≤ 30 |
Menurut hasil penyelidikan, presentase orang yang genius dan idiot sangat sedikit sekali, dan yang terbanyak adalah orang yang normal (biasa). Genius adalah sifat pembawaan luar biasa yang dimiliki seseorang hingga ia mampu mengatasi kecerdasan orang-orang biasa dalam bentuk pemikiran dan hasil karya. Sedang idiot (pandir) adalah penderita lemah otak, yang hanya memiliki kemampuan berpikir setingkat dengan kecerdasan anak yang berumur tiga tahun. ( Mursal, 1981 )
Craig( 1976 ) menyebutkan ciri-ciri anak yang genius sebagai berikut:
a. | belajar dengan cepat dan mudah; |
b. | mempertahankan (menyimpan ) apa yang dipelajari; |
c. | menunjukkan rasa ingin tahu; |
d. | memiliki pembedaharaan kata yang baik, mampu membaca dengan baik, dan menyenangi kegiatan tersebut; |
e. | memiliki kemampuan berfikir logis, membuat generalisasi, dan melihat hubungan-hubungan; |
f. | lebih sehat dan lebih mampu menyesuaikan diri dari pada anak-anak yang tergolong normal; |
g. | mencari teman lebih tua. |
Setiap anak memiliki intelegensi yang berlainan, dalam perbedaan itu dirasakan ada kesulitan untuk mengetahui dengan ukuran yang tepat mengenai tinggi rendahnya intelegensi seorang anak. Sebab semuanya dipengaruhi oleh faktor lingkungan dalam bentuk pengalaman yang diperoleh selama hidupnya. Intelegensi hanya bersifat pembawaan. Pertumbuhan dan perkembangan anak dipengaruhi oleh lingkungan, sebagai dua kekuatan yang tidak bisa dipisahkan.
Perbedaan individual ( peserta didik ) dalam bidang intelektual ini perlu guru ketahui dan pahami, terutama dalam pengelompokkan anak didik di kelas. Anak yang kurang cerdas jangan dikelompokkan dengan anak yang kecerdasannya setingkat dengannya, tetapi perlu dimasukkan kedalam kelompok anak-anak yang cerdas. Dengan harapan agar anak yang kurang cerdas itu terpacu untuk lebih kreatif, ikut terlibat langsung dengan motivasi yang tinggi dalam bekerja sama dengan kawan-kawan sekelompok dengannya. Kepentingan lainnya lagi agar guru dapat dengan mudah mengadakan pendekatan dengan anak didik untuk memberikan bimbingan bagai mana cara belajar yang baik.
Usaha-usaha dalam membantu mengembangkan intelek peserta didik dalam proses pembelajaran, menurut Piaget sebagian besar peserta didik dalam awal usia remaja ( usia memasuki kelas VII ) mampu memahami konsep-konsep abstrak dalam batas-batas tertentu. Menurut Bruner, siswa pada usia ini belajar menggunakan bentuk-bentuk simbol dengan cara makin canggih. Guru dapat membantu mereka melakukan hal ini dengan selalu menggunakan pendekatan keterampilan proses ( discovery approach ) dan memberi penekanan pada penguasaan konsep-konsep dan abstraksi-abstraksi.
Karena peserta didik usia remaja ini masih dalam proses penyempurnaan penalaran, guru hendaknya tidak mempunyai anggapan bahwa mereka berpikir dengan cara yang sama dengan gurunya. Guru hendaknya tetap waspada terhadap bagaimana mereka menginterpretasi ide-ide mereka dalam kelas, memberikan kesempatan untuk mengadakan diskusi secara baik dan dengan memberikan tugas-tugas penulisan makalah.
Peserta didik pada usia remaja ini mendekati efisiensi intelektual yang maksimal, tetapi kurangnya pengalaman membatasi pengetahuan mereka dan kecakapannya untuk memanfaatkan apa yang diketahui Karena banyak hal yang dapat dipelajari melalui pengalaman, peserta didik mungkin mengalami kesulitan dalam menangkap dan memahami konsep-konsep yang abstrak dan mungkin tidak mampu memahami sepenuhnya. Karena itu diperlukan metode diskusi dan informasi untuk menetukan kedalaman pengertian siswa. Apabila guru dihadapkan pada perbedaan-perbedaan interpretasi tentang konsep-konsep yang abstrak, guru hendaknya menjelaskan konsep-konsep tersebut dengan sabar, simpatik, dan dengan hati terbuka; bukan dengan marah-marah atau tidak bisa menerima kesalahan-kesalahan peserta didik.
Peserta didik pada usia remaja ini kecenderungan berfantasi dan ”memimpikan hal-hal yang agung /serba bagus” dapat saja terjadi karena mereka kurang mempunyai pengalaman dalam hal-hal yang nyata/ kenyataan hidup. Dalam hal ini guru hendaknya, memberikan tugas-tugas yang menantang imajinasi dengan bermacam-macam cara. Guru dapat menyajikan teka-teki yang menarik dan menantang rasa ingin tahu atau problema-problema daripada latihan-latihan yang membosankan. Untuk itu juga sebaiknya guru mengusahakan bahan pelajaran mempunyai intrinsik, yang mengandung nilai atau makna bagi peserta didik pada usia remaja ini. Guru berusaha agar dalam proses belajar mengajar peserta didik turut terlibat secara aktif. Untuk itu dikembangkan suatu kegiatan-kegiatan (pengalaman belajar) yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menentukan sendiri atau menemukan sendiri pemecahan terhadap masalah /soal-soal yang diberikan.
Disamping perbedaan individual setiap peserta didik yang telah diuraikan di atas, setiap peserta didik memiliki ciri dan sifat atau karakteristik bawaan ( heredity ) dan karakteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan. Karakteristik bawaan merupakan karakteristik keturunan yang dimiliki sejak lahir, baik yang menyangkut faktor biologis maupun faktor sosial psikologis. Karakteristik yang berkaitan dengan faktor biologis cenderung lebih bersifat tetap, sedang karakteristik yang berkaitan dengan sosial psikologis lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Kepribadian seorang anak, merupakan hasil dari perpaduan antara apa yang ada di antara faktor-faktor biologis yang diturunkan dan pengaruh lingkungan. Sejauh mana seorang anak dilahirkan menjadi seorang individu seperti “dia” atau sejauh mana individu dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang merangsang.
Seorang bayi yang baru lahir merupakan hasil dari dua garis keluarga, yaitu garis keluarga ayah dan garis keluarga ibu. Sejak saat terjadinya pembuahan atau konsepsi kehidupan yang baru itu secara berkesinambungan dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor lingkungan yang merangsang. Masing-masing perangsang tersebut, baik secara terpisah atau terpadu dengan rangsangan yang lain, semuanya membantu perkembangan potensi-potensi biologis demi terbentuknya tingkah laku manusia yang dibawa sejak lahir. Hal itu akhirnya membentuk suatu pola karakteristik tingkah laku yang dapat mewujudkan seseorang sebagai individu yang berkarakteristik berbeda dengan individu-individu lain.
Menurut Sunarto( 2002), jangankan anak didik dari keluarga yang berbeda, anak didik yang seibu sebapak pun masih terdapat perbedaan karakteristik selain persamaannya. Guru hendaknya jangan berkesimpulan bahwa setiap anak didik pasti mempunyai kepribadian yang sama. Anak yang satu manja, anak yang lain suka bicara, anak yang lainnya lagi pemalu dan tertutup. Itulah variasi kepribadian anak didik yang dihadapi oleh guru di kelas.
Selain perbedaan antar individu, tedapat pula perbedaan kemampuan dalam individu sendiri, disebut dengan perbedaan dalam individu. Contoh dari hal ini adalah seorang anak yang sangat pandai dalam mata pelajaran matematika tidak memiliki kepandaian yang setingkat pada mata pelajaran bahasa dan hal demikian adalah wajar, walaupun masih mungkin juga ada seorang anak yang pandai dalam semua mata pelajaran
Seperti apa yang dilaporkan oleh Spearman (Sarlito, 1991) bahwa disamping faktor umum ada juga faktor khusus di dalam intelegensi tersebut, hal mana faktor khusus inilah yang menyebabkan orang-orang yang ber-IQ sama, yang seorang lebih terampil dalam bidang angka-angka sehingga ia menjadi ahli matematika, sedangkan seorang yang lebih fasih dalam kemampuan lisan sehingga ia menjadi ahli bahasa.
Perbedaan pada peserta didik juga terjadi dalam hal lain, misalnya kreativitas. Jika pendidikan berhasil dengan baik sejumlah orang kreatif akan lahir karena tugas utama pendidikan adalah menciptakan orang-orang yang mampu melakukan sesuatu yang baru, tidak hanya mengulang apa yang telah dikerjakan oleh generasi lain. Seperti apa yang diungkapkan oleh Piaget (Mulyasa, 2003) sebagai berikut :
”The principal goal of education is to create men who are capable of doing new things, not simply of repeating what other generations have done- men who are creative, inventive, and discoverers .”
Tujuan yang terpenting dari pendidikan adalah menghasilkan orang-orang kreatif, berdayacipta, penemu; yaitu mereka yang menemukan/ melakukan sesuatu yang baru yang belum pernah ditemukan /dilakukan oleh orang lain.
Kreativitas bisa dikembangkan dengan penciptaan proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik dapat mengembangkan kreativitasnya. Laporan penelitian Taylor (1964) antara lain menunjukkan bahwa adanya korelasi yang rendah antara faktor-faktor yang berhubungan dengan kreativitas dan skor intelegensi berarti bakat kreativitas tidak hanya bervariasi melainkan juga berbeda dengan intelegensi.
Dengan demikian ada saran yang diseleksi dari beberapa saran yang diringkaskan oleh Taylor (Mulyasa, 2003) untuk mengembangkan kreativitas yang dapat diciptakan melalui kegiatan-kegiatan sebagai pengalaman belajar dalam suatu pembelajaran. Saran-saran tersebut adalah sebagai berikut.
1. | Menilai, menghargai berpikir kreatif; |
2. | Membantu anak menjadi lebih peka terhadap rangsangan lingkungan; |
3. | Memberanikan anak untuk memanipulasi benda-benda (obyek) dan ide-ide; |
4. | Mengajar bagaimana menguji setiap gagasan secara sistematis; |
5. | Mengembangkan rasa toleransi terhadap gagasan baru; |
6. | Berhati-hati dalam ”memaksakan” suatu pola atau contoh tertentu; |
7. | Mengembangkan suatu iklim kelas yang kreatif; |
8. | Mengajar anak untuk menilai berpikir kreatifnya; |
9. | Mengajar keterampilan anak untuk menghindari atau menguasai sangsi-sangsi teman sebaya tanpa mengorbankan kretivitas mereka; |
10. | Memberikan informasi tentang proses kreativitas; |
11. | Menghalau perasaan kagum terhadap karya-karya besar; |
12. | Memberanikan dan menilai kegiatan belajar berdasarkan inisiatif sendiri; |
13. | Menciptakan ”duri dalam daging ” ( thorns in the flesh ), membuat anak-anak menyadari adanya masalah dan kekurangan; |
14. | Menciptakan kondisi yang diperlukan untuk berpikir kreatif; |
15. | Menyediakan waktu untuk suatu keaktivan dan ketenangan; |
16. | Menyedikan sumber untuk menyusun gagasan-gagasan; |
17. | Mendorong kebiasaan untuk menyusun implikasi ide-ide; |
18. | Mengembangkan keterampilan untuk memberikan kritik yang membangun; |
19. | Mendorong kemahiran pengetahuan berbagai bidang; |
20. | Menjadi guru yang hangat, bersemangat. |
Kebutuhan yang paling pokok adalah kebutuhan psikologis yang meliputi oksigen, makanan, air, dan seks. Selanjutnya adalah kebutuhan keamanan, kebutuhan untuk diakui, kebutuhan untuk dihargai, kebutuhan untuk aktualisasi diri.
Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Dapat diperkirakan, masa remaja adalah pada saat anak mulai memasuki usia sekolah kelas VII (bahkan usia sekolah kelas VI ). Menurut Sarlito (Sunarto, 2002 ) sebagai pedoman umum untuk remaja Indonesia dapat digunakan batasan usia 11 – 24 tahun dan belum menikah. Pertimbangan-pertimbangannya adalah sebagai berikut.
1. | Usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai tampak ( kriteria fisik ). |
2. | Di banyak masyarakat Indonesia, usia 11 tahun sudah dianggap akil balik, baik menurut adat maupun agama, sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-anak (kriteria sosial ). |
3. | Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa seperti tercapainya identitas diri (ego identity) (Erik Erikson), tercapainya fase genital dari perkembangan kognitif ( Piaget ) maupun moral ( Khohlberg ). |
4. | Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal, yaitu untuk memberi peluang bagi mereka yang sampai batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada orang lain, belum mempunyai hak-hak penuh sebagai orang dewasa (secara tradisi). |
5. | Status perkawinan sangat menentukan, karena arti perkawinan masih sangat penting di masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Seorang yang sudah menikah pada usia berapapun dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa penuh, baik secara hukum maupun dalam kehidupan masyarakat dan keluarga. |
Selama masa remaja banyak masalah yang dihadapi karena remaja itu berupaya menemukan jati dirinya (identitasnya). Menurut Sunarto (2002), beberapa jenis kebutuhan remaja dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok kebutuhan, yaitu :
a. | Kebutuhan organik, misalnya makan , minum, dan bernapas; |
b. | Kebutuhan emosional, yaitu kebutuhan untuk mendapatkan simpati dan pengakuan dari pihak lain ( need of affiliation ); |
c. | Kebutuhan berprestasi ( need of achievment ), yang berkembang karena didorong untuk mengembangkan potensi yang dimiliki dan sekaligus menunjukkan kemampuan psikofisis; dan |
d. | Kebutuhan mempertahankan diri dan mengembangkan jenis. |
Uraian kebutuhan dengan berbagai sumber di atas diharapkan disikapi oleh para pengembang kurikulum dan guru, sehingga lahir layanan yang bijak. Bentuk layanan yang bijak antara lain sebagai berikut.
1. | Menyadari akan adanya kebutuhan oksigen, guru memperhatikan sirkulasi udara di ruangan kelasnya. Menyadari kebutuhan makan dan minum guru mengijinkan peserta didik makan atau minum jika memang dipandang mendesak atau tidak mengganggu proses belajar. |
2. | Menyadari adanya kebutuhan rasa aman, guru berupaya agar setiap peserta didik merasa aman baik dari gangguan temannya, dari gangguan lingkungan sekolah dan bahkan dari perilaku guru sendiri( antara lain ancaman, cemohan dan pukulan ). |
3. | Menyadari akan kebutuhan untuk diakui, guru memperhatikan jawaban setiap peserta didik, memberikan giliran secara adil, memperhatikan kritik dan saran atau usul-usul peserta didik; menjaga iklim sosial dan emosional kelas. |
4. | Menyadari akan kebutuhan penghargaan, guru tidak segan memberikan pujian secara wajar dan proposional, demikian pula dengan pemberian penguatan, balikan, hadiah, dan berterima kasih kepada peserta didik. |
5. | Menyadari akan kebutuhan aktualisasi diri, guru memberikan kesempatan untuk menyatakan diri, menunjukkan keberadaan diri peserta didik dalam berbagai penampilan. |
Belum ada tanggapan untuk "Mengidentifikasi Perbedaan dan Karakteristik Peserta Didik"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung