Birokrasi dalam literatur ilmu administrasi dipergunakan dalam beberapa pengertian yang berbeda dan bahkan bertentangan. Matrin Albrow mengemukakan tujuh konsep moder tentang birokrasi yaitu : (1) birokrasi sebagai organisasi rasional; (2) birokrasi sebagai inefisiensi organisasi; (3) birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat; (4) birokrasi sebagai administrasi negara (publik); (5) birokrasi sebagai admnistrasi yang dijalankan oleh pejabat; (6) birokrasi sebagai sebuah organisasi; dan (7) birokrasi sebagai masyarakat modern.
Dalam penelitian ini birokrasi dipakai dalam pengertian yang terbatas yaitu sebagai organisasi pemerintahan atau administrasi negara (publik) yang berfungsi menyelenggarakan fungsi pemerintahan dan fungsi pembangunan.
Seperti yang diakui oleh Abdullah (1984) pembahasan birokrasi dalam kalangan ilmu sosial sering menimbulkan berbagai perbedaan pendapat karena berbagai pengertian yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Sorotan tajam penggunaan istilah birokrasi pada pengertian yang kurang baik, yaitu birokrasi sebagai inefisiensi organisasi (administrative inefficiency). Biasanya pengertian yang kurang baik ini mencerminkan cara kerja aparatur pelayanan pemerintah yang memiliki kinerja rendah.
Rumusan birokrasi berdasarkan hasil seminar Persadi (1984) adalah birokrasi atau disebut pula sebagai organisasi dari aparatur negara adalah susunan yang terorganisir secara hirarkis dengan struktur hubungan kewenangan yang jelas untuk mencapai tujuan tertentu dengan cara mengkoordinasi secara sistematis pekerjaan dari banyak orang.
Pengertian ini menandaskan bahwa birokrasi itu terdapat pada semua organisasi kerjasama manusia, termasuk organisasi birokrasi pemerintah yang berfungsi sebagai instrumen pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan; peningkatan kesejahteraan masyarakat, kualitas pendidikan, menciptakan ketertiban keamanan dan pelayanan serta pengayoman masyarakat atau dengan kata lain mencakup seluruh tugas dan fungsi pemerintah umum.
Sementara itu, Max Weber (Martani) sendiri tidak memberikan defenisi yang jelas tentang birokrasi. Weber hanya mengajukan ciri-ciri ideal birokrasi, yaitu (1) adanya pengaturan ataupun pengorganisasian fungsi-fungsi resmi untuk suatu kesatuan yang utuh; (2) adanya pembagian kerja yang jelas di dalam organisasi; (3) adanya pengorganisasian yang mengikuti prinsip-prinsip hirarki, yaitu tingkatan yang lebih rendah diawasi dan diatur oleh tingkatan yang lebih tinggi; (4) adanya sistem penerimaan dan penempatan karyawan yang didasarkan atas kemampuan teknis, tanpa memperhatikan koneksi, hubungan keluarga maupun favoritisme; (5) adanya pemisahan antara pemilikan alat produksi maupun administrasi dari kepemimpinan organisasi; (6) adanya obyektivitas dalam melaksanakan tugas yang berkaitan dengan suatu jabatan dalam organisasi; dan (7) kegiatan administratif, keputusan-keputusan dan peraturan-peraturan dalam organisasi selalu dituangkan dalam bentuk tertulis.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud birokrasi disini adalah keseluruhan organisasi pemerintah yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat dalam berbagai unit organisasi pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Ruang lingkup birokrasi dapat diketahui berdasarkan perbedaan tugas pokok dan misi yang mendasari organisasi birokrasi adalah :
1. Birokrasi pemerintahan umum, yaitu rangkaian organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum dari tingkat pusat sampai daerah (Propinsi, Kabupaten, Kecamatan dan Desa/Kelurahan).
2. Birokrasi fungsional, yaitu organisasi pemerintahan yang menjalankan salah satu bidang atau sektor yang khusus guna mencapai tujuan umum pemerintahann
3. Birokrasi pelayanan (Service-Bureaucracy), yaitu unit organisasi yang pada hakekatnya melaksanakan pelayanan langsung dengan masyarakat. Termasuk dalam konsep ini apa yang disebut oleh Michael Lipsky sebagai ”Street-level Bureaucracy”, yaitu mereka yang menjalankan tugas dan berhubungan langsung dengan warga masyarakat.
Perkembangan pengukuran kinerja organisasi sangat berhubungan erat dengan pendekatan dalam mempelajari organisasi. Pendekatan klasik misalnya memandang kinerja organisasi sama dengan efisiensi organisasi. Menurut teori ini kinerja organisasi. Jadi, kinerja organisasi sama dengan efisiensi.
Demikian pula pendekatan neo-klasik kinerja organisasi diukur dari terciptanya suasana yang harmonis antara pegawai sebagai anggota organisasi. Menurut teori ini suatu organisasi dikatakan memiliki kinerja tinggi apabila anggotanya merasa puas terhadap apa yang diberikan oleh organisasi. Pandangan ini merupakan kelanjutan dari pandangan penganut paham hubungan antar manusia, yang menempatkan kepuasaan anggota sebagai inti persoalan organisasi dan manajemen. Sementara pendekatan modern sebagai suatu pendekatan sistem memandang bahwa kinerja organisasi tidak saja ukur dari variabel input, variabel proses dan variabel output, tetapi juga ketiga variabel tersebut padu dalam interaksi dengan variabel lingkungan yang mempengaruhi organisasi.
Menurut Indrawijaya (1986), teori yang komprehensif mengukur kinerja organisasi berdasarkan banyak macam ukuran. Pandangan ini berpendapat bahwa susunan organisasi memang merupakan suatu hal yang penting. Tetapi dalam kebebasan bertindak sangat penting untuk memungkinkan adanya kebebasan bertindak para anggota organisasi secara keseluruhan dapat lebih menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan. Jadi ukuran kinerja organisasi selain berhubungan dengan aspek internal organisasi juga berhubungan dengan aspek eksternal organisasi, yaitu berkaitan dengan kemampuan beradaptasi dan fleksibelitas terhadap pengaruh lingkungan luar.
Emitasi Etzioni (dalam Indrawijaya: 1986) megemukakan pengukuran kinerja organisasi menggunakan System Model, mencakup empat kriteria yaitu adaptasi, integrasi, motivasi dan produksi. Kriteria adaptasi dipersoalkan adalah kemampuan organisasi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Indikator ini antara lain adalah tolok ukur proses pengadaan dan pengisian tenaga kerja, ruang lingkup kegiatan organisasi. Hal terakhir mempertanyakan seberapa jauh kemanfaatan organisasi tersebut bagi lingkungan. Kriteria integrasi, yaitu pengukuran terhadap tingkat kemampuan organisasi untuk mengadakan sosialisasi, pengembangan konsensus dan komunikasi dengan berbagai macam organisasi lain. Kriteria motivasi anggota diukur keterikatan dan hubungan antara pelaku organisasi dengan organisasinya dan kelengakapan sarana bagi pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi. Sementara kriteria produksi, yaitu usaha untuk pengukuran efektivitas organisasi dihubungkan dengan jumlah dan mutu keluaran organisasi serta intensitas kegiatan suatu organisasi.
Menurut Ducan (1981) kinerja organisasi dapat diukur dengan indikator: (1) efisiensi, yaitu jumlah dan mutu dari hasil organisasi dibanding dengan masukan sumber; (2) keseimbangan antara subsistem sosial dan antar personil; (3) antisipasi dan persiapan untuk menghadapi perubahan.
Kajian yang dilakukan oleh Osborne dan Patrick (1998) yang mengatakan bahwa kinerja organisasi publik dapat dilihat dari aspek tujuan (purpose), insentif, akuntabilitas, kekuasaan (power), budaya (culture) organisasi. Aspek tujuan berkaitan dengan rendahnya pemahaman birokrat terhadap visi dan misi organisasi sehingga antara perilaku, orientasi kerja tidak sejalan dengan visi dan misi organisasi. Sedangkan aspek yang berkaitan dengan insentif adalah kurangnya perhatian khusus terhadap birokrat yang memiliki prestasi yang baik sehingga berdampak rendahnya kemampuan birokrat dalam mengemban tugasnya. Sedangkan aspek akuntabilitas adalah kemampuan organisasi itu mempertanggung jawabkan atas semua kewenangan, sumber daya organisasi, kebijakan yang dihasilkan atas penilaian yang obyektif dari orang/badan dan masyarakat yang memberi tugas.
Martani Husein, menggunakan tiga pendekatan untuk mengukur tingkat pengukuran efektivitas organisasi yaitu; (1) pendekatan sasaran (goal approach ), (2) pendekatan sumber (system resource approach), (3) pendekatan proses (internal process approach).
Efektivitas menurut Martini (tanpa tahun: 55) adalah merupakan gambaran tingkat keberhasilan dalam mencapai sasarannya. Dengan demikian, efektivitas disini sama dengan hasil kerja yang dicapai oleh organisasi guna mencapai sasaran atau tujuannya. Hal ini berarti afaktivitas mengandung makna kinerja yang dicapai oleh organisasi guna mencapai tujuannya.
Pendekatan sasaran dan dalam pengukurannya dimulai dengan mengindentifikasi sasaran mengukur tingkat keberhasilan organisasi. Ukuran keberhasilan organisasi dapat dilihat dari fakktor efisiensi, produktivitas, tingkat keuangan, pertumbuhan organisasi, kepemimpinan organisasi pada lingkungannya, dan stabilitas organisasi. Sedangkan pendekatan sumber adalah mengukur tingkat keberhasilan organisasi mendapatkan berbagai sumber yang dibutuhkan terutama untuk memelihara sistem organisasi. Ukuran pada pendekatan ini meliputi; kemampuan organisasi untuk memanfaatkan lingkungan untuk memperoleh berbagai jenis sumber yang bersifat langka dan nilainya tinggi, kemampuan para pengambil keputusan dalam organisasi untuk menginterpretasikan sifat-sifat lingkungan secara cepat, kemampuan organisasi untuk menghasilkan output tertentu dengan menggunakan sumber-sumber yang berhasil diperoleh, kemampuan organisasi dalam memelihara kegiatan opersionalnya sehari-hari, dan kemampuan organisasi untuk bereaksi dan menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan.
Pendekatan Proses menganggap efektivitas sebagai efisiensi dan kondisi (kesehatan) dari organisasi internal. Indikator untuk mengukur pendekatan ini diantaranya, adalah; efisiensi, perhatian atasan terhadap karyawan, semangat, kerjasama dan loyalitas kelompok kerja, saling percaya dan komunikasi antara karyawan dengan pimpinan, desentralisasi dalam pengambilan keputusan, adanya komunikasi vertikal dan horisontal yang lancar dalam organisasi, adanya usaha dari setiap individu maupun keseluruhan organisasi untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan, adanya sistem imbalan yang merangsang pimpinan untuk mengusahakan terciptanya kelompok-kelompok kerja yang efektif dalam organisasi dan bagian-bagian bekerjasama secara baik, dan konflik yang terjadi selalu diselesaikan dengan mengacu pada kepentingan bersama.
Sementara Gibson (1996), menggunakan pendekatan untuk mengukur kinerja organisasi melalui pendekatan dimensi periode waktu, yaitu tahap jangka pendek, tahap jangka menengah, dan tahap jangka panjang. Keseluruhan proses tahap tersebut adalah suatu sistem yang tak berpisah, bahkan periode waktu jangka pendek merupakan prasyarat untuk dapat memasuki periode waktu jangka menengah, demikian selanjutnya periode waktu jangka menengah merupakan prasyarat untuk memasuki tahap jangka panjang. Pada akhirnya organisasi yang tidak memiliki kinerja bagus pada periode waktu jangka pendek tak dapat survive untuk masa depan. Indikator untuk mengukur periode jangka pendek adalah produksi, mutu, efisiensi, fleksibelitas dan kepuasan masyarakat yang dilayani. Sedangkan Indikator untuk mengukur periode jangka menengah adalah persaingan, yaitu menggambarkan posisi organisasi dalam lingkungan termasuk nilai bargaining position, dan pengembangan, yaitu kemampuan organisasi menginventarisasi sumber daya untuk memenuhi permintaan lingkungan. Indikator periode jangka panjang adalah kelangsungan hidup organisasi, yaitu kemampuan organisasi untuk tetap bertahan dan hidup seiring dengan perubahan lingkungan yang berubah.
Analisis kinerja organisasi tak dapat dilepaskan dari kinerja individu. Terhadap hubungan yang sangat kuat antara kinerja individu dengan kinerja organisasi. Organisasi yang memiliki kinerja individunya tinggi akan memberi konstribusi besar terhadap kinerja organisasi. Studi ini lakukan oleh Thoha (1991) yang mengatakan bahwa kinerja individu sangat ditentukan oleh karakteristik-karakteristik individu seperti kemampuan, kebutuhan, kepercayaan, pengalaman, dan pengharapan. Sedangkan karakteristik organisasi birokrasi adalah hirarki, tugas-tugas, wewenang, tanggung jawab, sistem reward dan sistem kontrol. Interaksi antara karakteristik individu dan karakteristik organisasi akan melahirkan perilaku organisasi sekaligus kinerja organisasi.
Daftar Pustaka
Albrow, Martin, Birokrasi, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1989.
Abdullah, Syukur, M., Aspek Kepemimpinan Dalam Birokrasi (Pengembangan Kemampuan Administrasi Dalam Menunjang Pembangunan Nasional, Persadi, Ujung Pandang, 1984.
PERSADI, Pembangunan Administrasi di Indonesia, Jakarta, 1985.
Lubis, Hari, S.B, Martini Huseini, Teori Organisasi )suatu Pendekatan Makro), PusatAntar Universitas Ilmu-ilmu Sosial – UI.
Osborne, David and Plastrik, Peter, Banishing Bureaucracy (The Five Strategic For Reinventing Government) Eddision Wesley Publishing Company, Inc., 1998.
Gibson, dkk., Organisasi: Perilaku, Struktu dan Proses,Binarupa Aksara, Jilid I & II, Jakarta, 1996.
Thoha, Miftah, Perspektif Perilaku Birokrasi (Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara), jilid II, Rajawali Press, Jakarta, 1987.
Belum ada tanggapan untuk "Mendalami Kinerja Organisasi Birokrasi"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung