Dikemukakan oleh Shapiro (1999:5) bahwa istilah "kecerdasan emosional" pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Peter Salovey (1990) dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire. Mereka menjelaskan kualitas emosional yang penting bagi keberhasilan. Kualitas‑kualitas tersebut antara lain: empati, disukai orang lain, mengungkapkan dan memahami perasaan, kemampuan memecahkan masalah pribadi, mengendalikan amarah, ketekunan, kemandirian, kesetiakawanan, kemampuan menyesuaikan diri, keramahan, dan sikap hormat.
Kecerdasan emosional bukan didasarkan pada kepintaran seorang anak melainkan pada suatu yang dahulu disebut "karakter" atau "karakteristik pribadi". Penelitian‑penelitian muktahir menemukan bahwa keterampilan sosial dan emosional lebih penting bagi keberhasilan hidup ketimbang kemampuan intelektual.
Seorang profesor di Brown University, Willian Damon (Shapiro, 1997) dengan tegas menerangkan bahwa penelitian ilmiah mempunyai potensi besar untuk membantu seseorang memperbaiki nilai‑nilai moral anak. Sedang Goleman (dalam Hermaya, 1996) menyatakan bahwa kecerdasan emosional menyumbangkan lebih besar pada kesuksesan dalam kehidupan dari pada kecerdasan intelektual/rasional. Secara analitis, Goleman (2000) mengemukakan aspek-aspek kecerdasan emosional atau Emotional Intelligence (EI) sebagai berikut:
Emotional Self-Awareness: improvement in recognizing and naming own emotions., better able to understand the causes of feelings, recognizing the difference between feelings and actions.
Managing Emotions: better frustration tolerance and anger management, fewer verbal put-downs, fights and classroom disruptions, better able to express anger appropriately, without fighting, fewer suspensions and expulsions, less aggressive or self-destructive behavior, more positive feelings about self, school, and family, better at handling stress, less loneliness and social anxiety.
Harnessing Emotions Productively: more responssible, better able to focus on the task at hand and pay attention, less impulsive; more self-control, improved scores on achievement tests.
Empathy: Reading Emotions: better able to take another person’s perspective. improved empathy and sensitivity too thers’ feelings, better at listening to others,
Handling Relationships: increased ability to analyze and understand relationships, better at resolving conflicts and negotiating disagreements, better at solving problems in relationships, more assertive and skilled at communicating, more popular and outgoing; friendly and involved with peers, more sought out by peers, more concerned and considerate, more “pro-social” and harmonious in groups, more sharing, cooperation, and helpfulness, more democratic in dealing with others.
Aspek-aspek Kecerdasan Emosional di atas dapat dimaknai sebagai berikut:
Kesadaran diri emosional meliputi: perbaikan dalam mengenali dan merasakan emosinya sendiri, lebih mampu memahami penyebab perasaan yang timbul, mengenali perbedaan perasaan dan tindakan. Mengelola emosi meliputi: toleransi yang lebih tinggi terhadap frustasi dan pengelolaan amarah, berkurangnya ejekan verbal, perkelahian dan gangguan di ruang kelas, lebih mampu mengungkapkan amarah dengan tepat, tanpa berkelahi, berkurangnya larangan masuk sementara dari skorsing, berkurangnya perilaku agresif atau merusak diri sendiri, perasaan yang lebih positif tentang diri sendiri, sekolah dan keluarga, lebih baik dalam menangani ketegangan jiwa, berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam pergaulan.
Memanfaatkan emosi secara produktif meliputi: lebih bertanggung jawab, lebih mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan, kurang impulsif, lebih menguasai diri. Empati, membaca emosi meliputi: lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, memperbaiki empati dan kepekaan terhadap perasaan orang lain, lebih baik dalam mendengarkan orang lain. Membina hubungan meliputi: meningkatkan kemampuan menganalisis dan memahami hubungan, lebih baik dalam menyelesaikan perfikaian dan merundingkan persengketaan, lebih baik dalam menyelesaikan persoalan yang timbul dalam hubungan, lebih tegas dan terampil dalam berkomunikasi, lebih populer dan mudah bergaul, bersahabat dan terlibat dengan teman sebaya, lebih dibutuhkan oleh teman sebaya, lebih menaruh perhatian dan tenggang rasa terhadap orang lain, lebih mementingkan kepentingan sosial dan selaras dalam kelompok, lebih suka berbagi rasa, bekerja sama, dan suka menolong, lebih demokratis dalam bergaul.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Kecerdasan Emosional adalah kemampuan untuk mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan hubungannya dengan orang lain. Kecerdasan emosional mencakup kemampuan‑kemampuan yang berbeda dan saling melengkapi dengan kemampuan kognitif murni yang telah lebih dahulu dikenal, yaitu kecerdasan akademik/intelektual/rasional (IQ). Meskipun IQ tinggi, tetapi EI rendah, biasanya tidak banyak membantu dalam hampir semua aspek kehidupan. IQ dan EI mengungkapkan aktivitas‑aktivitas yang berbeda dalam otak. IQ didasarkan pada kerja neokorteks, yakni suatu lapisan yang dalam evolusi berkembang paling akhir di bagian atas otak. Adapun pusat‑pusat emosi berada di bagian otak lebih dalam yang secara evolusi berkembang lebih dulu. Kerja‑kerja otak pada bagian inilah yang mempengaruhi EI. Namun demikian aktivitas pusat‑pusat emosi tersebut tetap selaras dengan aktivitas kerja pusat‑pusat intelektual.
Segal (1999) menyatakan bahwa banyak bukti berupa hasil‑hasil penelitian muktahir yang memperkuat bahwa emosi itu sangat penting. Ia adalah garis‑garis kehidupan untuk kesadaran diri dan keselamatan diri yang menghubungkan seseorang tentang hal‑hal terpenting untuk dirinya dan masyarakat. Juga tentang nilai‑nilai, kegiatan, dan kebutuhan yang berfungsi sebagai sumber motivasi, kemauan, kegigihan, keuletan, keseriusan, kepercayaan diri, kepatuhan, ketenangan, dan pengendalian diri. Cooper (2001) mengemukakan bahwa sebagian di antara manusia beruntung karena dikarunia baik IQ maupun EI yang memadai. EI dan IQ saling melengkapi, EI menyulut kreativitas, kolaborasi, inisiatif, dan transformasi, sedangkan IQ berfungsi mengatasi dorongan‑dorongan yang keliru. IQ menyelaraskan antara tujuan dengan proses, antara teknologi dengan sentuhan manusiawi. EI juga merupakan kekuatan penggerak, sebab nilai‑niiai dan watak dasar seseorang dalam hidup ini tidak berakar pada IQ tetapi pada EI.
Peffer (dalam Cooper, 2001) mengemukakan bahwa dalam abad informasi ini, urutan sifat individu yang menandai kekuasaan dan kewibawaan dimulai dari karakteristik semacam energi, kekuatan, daya tahan dan stamina, semua ini termasuk aspek EI. Jadi bukan dimulai dari aspek IQ berupa kejeniusan atau kecerdasan intelektual.
Orang‑orang yang memiliki EI tinggi sangat berpotensi untuk mencapai kecerdasan mental yang lebih tinggi, yaitu kecerdasan ruhaniah atau kecerdasan spritual atau Spiritual Quotient (Zohra dan Marshall, (2000) atau trancendental intelligence (Tasmara, 2001). Goleman (1999) menyatakan bahwa pada tingkatan ini seseorang memiliki kemampuan:
-
Sadar akan kekuatan‑kekuatan dan kelemahan‑kelemahannya.
-
Menyempatkan diri untuk merenung dan belajar dari pengalaman.
-
Terbuka terhadap umpan balik yang tulus, bersedia menerima perspektif baru, selalu berhasrat belajar untuk mengembangkan diri.
-
Mampu menunjukkan rasa humor dan bersedia menatap diri sendiri dengan perspektif yang lebih luas.
Kecerdasan‑kecerdasan seperti IQ, EI, dan SQ pada individu‑individu tertentu akan menjadi kecerdasan yang lebih kompleks, yaitu kecerdasan ganda (Multiple Intelligence), suatu istilah yang diperkenalkan oleh Gardner (1993).
Setelah memadukan pendapat‑pendapat ahli dari berbagai kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa EI merupakan karakteristik pribadi seseorang sebagai suatu jenis kecerdasan yang amat perlu ditingkatkan. EI berinteraksi secara dinamis dengan IQ, EI merupakan penggerak yang dapat menimbulkan aspek‑aspek energi, kekuatan, daya tahan, dan stamina. Aspek‑aspek ini nampak lebih jelas pada pengertian EI yang dikemukan oleh Goleman (2000), sehingga pengertian EI dalam penelitian ini cenderung pada pengertian tersebut. Namun demikian penjabaran indikator‑indikatornya didasarkan atas pendapat Cooper (2001) dan Stain & Book (2002). Hal ini disebabkan, selain sifatnya lebih rinci, juga perangkat instrumennya telah tersedia (EQ Map).
Belum ada tanggapan untuk "Kecerdasan Emosional"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung