Unsur utama yang bisa melakukan pencegahan aksi teror adalah intelijen. Penguatan intelijen diperlukan untuk melakukan pencegahan lebih baik. Sistem deteksi dini dan peringatan dini atas aksi teror perlu dilakukan sehingga pencegahan lebih optimal dilakukan. Unsur pembentuk teror ada sembilan.
Intelijen bisa melakukan pencegahan aksi teror dengan memutus salah satu dari sembilan unsur pembentuk teror, walaupun kelompok dan individu pelaku teror terus melakukan inovasi dalam menjalankan aksinya. Penguasaan teknologi untuk memantau transaksi keuangan dan data percakapan orang yang diduga mempunyai ideologi radikal perlu dilakukan untuk membaca dan mengetahui aksi-aksi yang akan dilakukan sebagai bahan pencegahan.
Penguatan intelijen tentu tidak hanya dari sisi teknis tetapi dari sisi politis. UU tentang Intelijen dan UU tentang Tindak Pidana Terorisme perlu disesuaikan supaya terorisme ditangani dengan porsi terbesar pada pencegahan bukan pada penindakan.
Selain itu penguatan BNPT perlu dilakukan agar mempunyai kewenangan dan energi untuk melakukan pemberantasan terorisme seperti BNN yang memberantas narkoba dan KPK yang memberantas korupsi. Terkait dengan penindakan aksi teror, kemampuan Polri terutama Densus 88/AT tidak perlu diragukan lagi. Kasus-kasus terorisme di Indonesia berhasil diungkap dan ditangkap pelakunya. Pencegahanpencegahan berhasil dilakukan dengan barang bukti yang signifikan. Penindakan yang dilakukan oleh Densus 88 walaupun menjadi kontroversi bagi pihak-pihak tertentu perlu didukung.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak yang ingin melemahkan Densus 88 harus dicegah, karena akan menjadi celah bagi terjadinya aksi teror. Tahap pemulihan perlu mendapatkan perhatian yang serius. BNPT sebagai lembaga negara yang bertanggung jawab atas pemberantasan terorisme perlu mengkaji kembali program deradikalisasi yang dilakukan. Narapidana tindak pidana terorisme perlu diperlakukan secara khusus sehingga selama menjalani hukuman sekaligus menjalani program deradikalisasi, bukan malah menerima program penguatan radikalisasi dari narapidana lainnya, atau menggalang napi lain untuk bergabung Prosedur-prosedur yang dilakukan dengan benar dan memperhatikan semua hal dalam proses penangkapan yang menyebabkan penembakan pada terduga atau tersangka teroris oleh anggota Kepolisian Republik Indonesia tidak dapat diminta pertanggungjawabannya karena dilindungi oleh alasan Pembenar yang menyatakan adanya daya paksa atau “overmacht” (Pasal 48 KUHP), pembelaan terpaksa atau “noodweer” (Pasal 49 ayat (1) KUHP), karena sebab menjalankan perintah undangundang (Pasal 50 KUHP), karena melaksanakan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat (1) KUHP).
Tanpa adanya ancaman atau perlawan dari pihak penyerang Polisi maka penggunaan senjata api harus dihindarkan karena dapat terjadi kesengajaan untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan hukumnya agar tetap hidup tanpa memandang kepentingan hidup pelaku kejahatan terorisme.
Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain oleh anggota Kepolisian Republik Indonesia dalam melaksanakan kewajibannya di luar kebutuhan untuk melakukan pembelaan terpaksa dapat diminta pertanggungjawabannya sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian yang menyatakan Setiap individu anggota Polri wajib bertanggung jawab atas pelaksanaan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian yang dilakukannya dan Pasal 49 ayat (1) huruf a yang menyatakan setiap petugas wajib mempertanggung jawabkan tindakan penggunaan senjata api. Dimana, alasan pembenar tidak dapat digunakan karena melakukan penggunaan senjata api tidak sesuai peraturan perundang-undangan yang menghapuskan sifat melawan hukumya karena menjalankan undang-undang.
Menurut penjelasan Memorie van Toelichting (MVT) dapat diketahui anggota Kepolisian mendapat jaminan tidak dipidana karena telah melakukan sesuatu perbuatan untuk melaksanakan peraturan perundangundangan telah diwajibkan untuk melakukan perbuatan tertentu, dan bukan orang yang diberikan hak untuk melakukan perbuatan tertentu. Ini sesuai dengan pendapat Noyon dan Langemeijer yang mengatakan untuk melaksanakan peraturan perundang undangan, orang hanya dapat melakukan suatu perbuatan itu sebagai kewajiban dan bukan seseorang mempunyai hak untuk berbuat demikian.
Dengan tidak sesuai prosedurnya pihak Kepolisian Republik Indonesia melakukan penangkapan yang menyebabkan kematian pada terduga atau tersangka terorisme dimana dalam penangkapan dan penembakan mati dilakukan dengan sewanang-weanang maka pihak kepolisian dapat diminta pertanggungjawabannya karena terdapat kesalahan dalam melaksanakan tugasnya dan melanggar asas praduga tidak bersalah, karena tidak sesuai dengan amanat Pasal 48 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang daya paksa yang disebabkan adanya perlawanan atau ancaman dari pihak pelaku terorisme.
Dimana tidak terdapat daya paksa batin dan psikis yang mengharuskan anggota Kepolisian melepaskan tembakan yang berujung pada kematian. Penggunaan senjata api tetap dilakukan maka anggota kepolisian berbuat kesalahan. Tidak terpenuhiya alasan-alasan pembenar ini menyebabkan anggota kepolisian dalam melakukan proses penangkapan yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain baik terduga maupun tersangka pelaku kejahatan terorisme dapat diminta pertanggungjawaban pidananya karena adanya unsur kesalahan baik kesengajaan maupun kelalaian dan mampunya anggota Kepolisian Republik Indonesia untuk bertanggungjawab.
Adanya kebijakan operasi penumpasan teroris yang dilakukan oleh Densus 88 sebagai bagian dari Kepolisian Republik Indonesia memberikan kesan bahwa pemerintah mengedepankan pendekatan legal, formal, dan represif dalam menumpas terorisme di Indonesia. Pendekatan yang legal dan formal memang wajib untuk dilakukan, lalu bagaimana dengan pendekatan represif? Dalam melakukan kebijakan operasi penumpasan teroris, harus benar-benar diperhatikan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) terhadap para tersangka tindak pidana terorisme.
Oleh karena itu, Densus 88 sebagai pelaku operasi penumpasan terorisme harus memperhatikan asas praduga tak bersalah dengan cara menghindari tindakan yang sewenangwenang dan berada di luar prosedur yang telah ditetapkan, baik dalam undang-undang maupun peraturan lainnya.
Tindak pidana terorisme memang bisa dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa, namun dalam penumpasannya harus tetap memperhatikan asas praduga tak bersalah itu. Adanya keharusan untuk memperhatikan asas praduga tak bersalah ini erat kaitannya dengan pemenuhan hak asasi manusia yang dimiliki oleh para tersangka terorisme, terutama hak hidup.
Pada kasus- kasus di atas, sebagian besar tersangka terorisme yang ditembak adalah Warga Negara Indonesia yang dijamin hak hidupnya oleh UndangUndang Dasar 1945: ”Setiap orang berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Oleh karena itu, prosedur tembak di tempat yang diberlakukan kepada tersangka terorisme yang terdapat pada kasus di atas, tidak mengedepankan asas praduga tak bersalah sehingga kemudian berdampak pada hak hidup para tersangka terorisme. Terlepas dari „perlawanan‟ yang dilakukan oleh para tersangka ketika hendak ditangkap, Densus 88 seharusnya sedapat mungkin menangkap hidup tersangka terorisme.
Densus 88 tidak perlu terus-menerus berdalih bahwa tersangka menyerang atau melawan sehingga harus ditembak mati. Sebagai polisi yang terlatih, Densus 88 seharusnya bisa „melumpuhkan‟ bukan menembak mati tersangka terorisme sehingga tersangka terorisme bisa diproses untuk kemudian dapat memberikan keterangan di hadapan pengadilan. Pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia, Densus 88 bertugas menyelenggarakan fungsi intelijen, pencegahan, investigasi, penindakan, dan bantuan operasional dalam rangka penyelidikan dan penyidikan tindak pidana terorisme.
Dalam tugas yang ditetapkan peraturan presiden tersebut, jelas bahwa tugas Densus 88 adalah untuk membantu penyelidikan dan penyidikan tindak pidana terorisme sehingga konsekuensinya Densus 88 harus sekuat tenaga untuk „menyelamatkan‟ tersangka terorisme agar dapat diselidik dan disidik lebih lanjut. Oleh karena itu, dalam menjalankan tugasnya, Densus 88 juga harus memperhatikan hak asasi tersangka, terutama hak hidup. Selain itu, dalam melaksanakan tugasnya, Densus 88 perlu memperhatikan asas- asas dalam Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia.
Adapun konvensi tersebut telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1998. Dalam konvensi tersebut, yang dimaksud dengan penyiksaan adalah: setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperolah pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik.
Tindakan yang dilakukan oleh Densus 88 dapat dikategorikan sebagai penyiksaan karena dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat. Dalam definisi penyiksaan di atas, juga disebutkan bahwa penyiksaan dilakukan dengan menghukum atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan. Tindakan Densus 88 yang menembak mati para tersangka terorisme, dapat dikategorikan sebagai „hukuman‟ atas perbuatan yang diduga telah dilakukan, yaitu tindak pidana terorisme.
Selain itu, dalam konvensi ini disebutkan bahwa negara yang meratifikasi konvensi ini harus menjamin bahwa pendidikan dan informasi mengenai larangan terhadap penyiksaan seluruhnya dimasukan dalam pelatihan bagi para aparat penegak hukum yang ada kaitannya dengan penahanan, dan interogasi, atau perlakuan terhadap setiap orang yang ditangkap, ditahan, atau dipenjara. Selain itu, negara juga harus senantiasa mengawasi secara sistematik peraturan-peraturan tentang interogasi, instruksi, metode, kebiasaankebiasaan dan peraturan untuk melakukan penahanan serta perlakuan terhadap orangorang yang ditangkap, ditahan atau dipenjara dalam setiap wilayah kewenangan hukumnya, dengan maksud untuk mencegah terjadinya kasus penyiksaan.
Oleh karena itu, untuk melaksanakan ketentuan dalam konvensi ini, negara harus menjamin dan mengawasi agar Densus 88 sebagai salah satu penegak hukum, tidak melakukan penyiksaan terhadap tersangka tindak pidana terorisme. Densus 88 merupakan bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah presiden. Oleh karena itu, presiden berkewajiban juga untuk memastikan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melaksanakan konvensi ini sehingga Densus 88 sebagai bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia bisa lebih manusiawi dalam memperlakukan tersangka tindak pidana terorisme. Densus 88 sebagai unit dalam Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sangat terlatih, seharusnya bisa meniru sepak terjang pasukan Amerika Serikat dan Indonesia yang dapat menangkap dua buronan besar seperti Hambali (tertangkap di Ayutthaya Thailand tahun 2003) dan Umar Al Faruq (tertangkap di Bogor tahun 2002) tanpa harus membunuh mereka.
Sebagai bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, seharusnya Densus 88 hanya berupaya melumpuhkan sasaran dengan berbagai cara yang patut dan tepat, namun tetap bermoral dan humanis, sesuai dengan doktrin kamtibmas. Oleh karena itu, operasi penumpasan teroris yang dilakukan Densus 88 terhadap kelompok orang yang diduga pelaku teroris di beberapa tempat belakangan ini yang kebanyakan sasarannya langsung dieksekusi mati, sebenarnya tidak perlu dilakukan. Densus 88 hendaknya menyadari bahwa tuduhan sebagai anggota jaringan teroris kepada mereka sesungguhnya baru merupakan dugaan sehingga operasi yang dilakukan dan akhirnya menyebabkan kematian para tersangka teroris merupakan pelanggaran asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).
Oleh karena itu, kebijakan operasi penumpasan teroris yang dilakukan oleh Densus 88 harus menjunjung tinggi penghormatan terhadap hak asasi tersangka sebagai orang yang tidak bersalah sebelum diputuskan oleh pengadilan (Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM). Terlepas dari tujuan lain yang menyebabkan Densus 88 harus menembak mati para tersangka terorisme pada kasus di atas, Densus 88 seharusnya menyadari bahwa mereka memiliki peran sebagai penegak hukum dan pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat sehingga dalam menjalankan tugasnya untuk melakukan operasi penumpasan teroris, tetap menghargai hukum dengan menjunjung asas praduga tak bersalah serta menghormati hak asasi manusia, terutama hak hidup. Densus 88 akan lebih dihargai apabila sangat menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia ketika menjalankan tugasnya.
Belum ada tanggapan untuk "Tindakan Tembak Di Tempat Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme oleh Densus 88 "
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung