Pelaksanaan kewenangan tembak di tempat yang dimiliki oleh anggota Polri dalam melaksanakan tugasnya harus sesuai dengan dasar hukum pelaksanaan kewenangan tembak di tempat serta sesuai dengan situasi dan kondisi kapan perintah tembak di tempat itu dapat diberlakukan, dan juga dalam pelaksanaan perintah tembak di tempat harus sesuai dengan asas tujuan, keseimbangan, asas keperluan, dan asas kepentingan.
Pada dasarnya tindakan tembak di tempat menjadi prioritas apabila posisi petugas terdesak dan pelaku mengancam keselamatan anggota Kepolisian Republik Indonesia. Dalam pelaksanaan kewenangan tembak di tempat harus mnenghormati hak hidup dan hak bebas dari penyiksaaan karena kedua hak itu dijamin dengan undang undang. Perlunya pemahaman mengenai kode etik dan prinsip dasar penggunaan senjata api oleh anggota Polri dalam pelaksanaan kewenangan tembak di tempat agar nantinya dalam pelaksanaan kewenangan tembak di tempat itu tidak melanggar hukum.
Hal yang terpenting dalam pelaksanaan perintah tembak di tempat harus sesuai dengan mekanisme pelaksanaan tembak di tempat dan prosedur tetap penggunaan senjata api oleh Polri. Dalam setiap melakukan tindakan tembak di tempat Polisi selalu berpedoman pada suatu kewenangan yaitu kewenangan bertindak menurut penilaiannya sendiri, hal ini yang sering disalahgunakan oleh oknum anggota kepolisian.
Beberapa aturan hukum yang menjadi dasar dari dilakukannya tembak di tempat terhadap teroris adalah Pasal 48 KUHP yang berbunyi :
“barang siapa melakukan perbuatan karena adanya daya paksa (Overmacht) tidak dipidana. Dalam hal melakukan tembak mati di tempat pada proses penangkapan oleh Kepolisian Republik Indonesia terdapat daya paksa yang bersifat darurat karena polisi melakukan tembak mati di tempat untuk menghindarkan jatuhnya korban baik dari pihak polisi maupun masyarakat.”
Dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP mengatur tentang Pembelaan Terpaksa (Noodweer). Penembakan mati dalam proses penangkapan terorisme oleh Kepolisian Republik Indonesia ialah keadaan yang terpaksa karena tidak ada jalan lain dan dalam hal mempertahankan hak yang didahului dengan serangan. Dalam penjelasannya disebutkan, pembelaan terpaksa itu hanya bisa dilakukan berdasarkan prinsip keseimbangan, kalau yang diserang atau diancam masih bisa menghindar atau melarikan diri, janganlah polisi memaksakan diri untuk melakukan penembakan dengan dalih pembelaan terpaksa.
Dalam pasal 50 KUHP yang menyatakan barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang. Pada Pasal 51 KUHP ayat (1) yang menyatakan barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak akan itu, tidak boleh dihukum. Tindakan lain yang dimaksud dalam angka 10 Pasal 7 Kitab Undang undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah termasuk melakukan tembak mati di tempat pada orang yang di duga atau tersangka yang terkait dalam suatu tindak pidana termasuk kejahatan terorisme. Kewenangan diskresi tersebut harus tetap dalam koridor hukum sehingga diskresi tersebut mempunyai manfaat bagi penegakan hukum dan tentunya dengan tidak melanggar hukum. Kewenangan diskresi harus selalu mempunyai rambu-rambu pembatas karena penggunaan diskresi yang tidak salah gunakan harus dapat dikendalikan secara internal melalui kode etik profesi.
Dasar hukum diskresi bagi petugas kepolisian negara Republik Indonesia (Polri) dalam melaksanakan tugasnya dapat dilihat pada Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 15 ayat (2) huruf k, Pasal 16 ayat (1) huruf l : dan Pasal 18 ayat (1) Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak. Pasal 15 Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam Tindakan Kepolisan ada beberapa prinsip dasar yang menjadi dasar pengunaan senjata api.
Dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian pada Pasal 8 ayat (1) yang menyatakan penggunaan kekuatan dengan kendali senjata api dilakukan ketika: 1. Tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat; 2. Anggota Polri tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan atau perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut; 3. Anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat. Mengenai aturan tembak mati juga dapat dilihat dalam tentang Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Republik Indonesia. Penggunaan senjata api dalam Pasal 47 Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Republik Indonesia.
Belum ada tanggapan untuk "Aturan Hukum Tentang Tembak Mati Terhadap Pelaku Terorisme "
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung