Dalam berbagai literatur yang mengkaji tentang aspek ideologis di balik operasionalitas media massa tergolong masih langkah. Apa yang sering mengemuka lebih bersifat teoritik akademik dengan lebih menonjolkan aspek sosiologis dibandingkan aspek filosofis dan ideologis yang mendalam. Beberapa penulis kontemporer sebut saja misalnya; James Lull, Roland Barthes, Baudrillard dan beberapa penulis lainnya. Khusus di Indonesia muncul penulis berbakat seperti Yasraf Amir Piliang yang dengan cerdas dan piawai dalam menyoroti persoalan fenomena media massa menurut perspektif filsafat Postmodernisme. Dalam tulisan ini tampaknya banyak merujuk pada pemikiran Yasraf dari berbagai tulisan-tulisannya, baik melalui jurnal ilmiah maupun melalui buku-bukunya yang secara serius dan mendalam mengkaji persoalan ini.
Menurut Yasraf Amir Piliang, pengkajian tentang media massa tidak dapat dipisahkan dari kepentingan yang ada di balik media tersebut, khususnya kepentingan terhadap informasi yang disampaikannya. Di dalam perkembangan media mutakhir, setidak-tidaknya ada dua kepentingan utama (eksternal media) yaitu kepentingan ekonomi (economic interest) dan kepentingan kekuasaan (power interest) yang membentuk isi media (media content) berupa informasi yang disajikan dan makna yang ditawarkannya. Di antara dua kepentingan utama tersebut, ada kepentingan yang lebih mendasar yang justru terabaikan, yaitu kepentingan publik. Media yang seharusnya berperan sebagai ruang publik (publik sphere) sering diabaikan oleh kuatnya dua kepentingan tersebut.
Kuatnya kepentingan ekonomi dan kekuasaan politik inilah sesungguhnya menjadikan media tidak dapat bersikap netral, jujur, adil, obyektif dan terbuka. Akibatnya, informasi yang disuguhkan oleh media telah menimbulkan persoalan obyektivitas pengetahuan yang serius pada media itu sendiri. Kepentingan-kepentingan ekonomi dan kekuasaan politik akan menentukan apakah informasi yang disampaikan oleh sebuah media mengandung kebenaran (truth) atau kebenaran palsu (pseudo-truth), menyampaikan obyektivitas atau subyektivitas, bersifat netral atau memihak, merepresentasikan fakta atau memelintir fakta, menggambarkan realitas (reality) atau mensimulasi realitas (simulacrum).
Publik pada umumnya berada diantara dua kepentingan utama media, yang menjadikan mereka sebagai mayoritas yang diam, yang tidak mempunyai kekuasaan dalam membangun dan menentukan informasi di ranah publik (public sphere) milik mereka sendiri. Di satu pihak ketika ranah publik dikuasai oleh politik informasi atau politisasi informasi yang menajdikan informasi sebagai alat kekuasaan politik, media pun menjadi perpanjangan tangan penguasa dengan menguasai ruang publik. Di pihak lain ketika media dikuasai oleh kekuatan para pemilik modal (ekonomi politik informasi), informasi pun menjadi alat kepentingan untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, dengan cara mengeksploitasi publik, sebagai salah satu prinsip dasar kapitalisme.
Perdebatan mengenai media massa sebagai sebuah wacana (discourse), tidak dapat dipisahkan dari relasi saling keterkaitan antara bahasa yang digunakan di dalamnya, pengetahuan (knowledge) yang melandasinya, serta bentuk-bentuk kepentingan dan kekuasaan (power) yang beroperasi di balik bahasa dan pengetahuan tersebut. Perbincangan mengenai media tidak dapat dipisahkan dari ideologi yang membentuknya yang pada akhirnya mempengaruhi bahasa (gaya, ungkapan, kosa kata dan tanda) yang digunakan dan pengetahuan (keadilan, kebenaran, realitas) yang dihasilkannya.
Selain itu, perbincangan mengenai media dalam konteks kepentingan-kepentingan di baliknya, pada kenyataanya tidak dapat dilepaskan dari berbagai paradoks pengetahuan yang juga dihasilkannya. Berbagai paradoks pengetahuan yang muncul ketika media menjadi bagian dari sebuah sistem ideologi (ekonomi atau politik) dan sistem kekuasaan yang sangat menentukan arah perkembangannya dengan mengabaikan kepentingan publik yang lebih luas.
Apa yang disebut sebagai hiperealitas media sesungguhnya berkembang ketika media dikendalikan oleh dua kepentingan utama di atas yang di dalamnya obyektivitas, kebenaran dan keadilan sebagai kepentinga publik kalah oleh subyektivitas permainan bahasa (language game). Sangatlah mungkin jika media berusaha untuk selalu merepresentasikan peristiwa secara obyektif, benar dan adil, namun oleh berbagai tekanan dan kepentingan ideologis tersebut di atas, telah menyebabkan media terperangkap ke dalam politisasi media yang implikasinya merugikan publik.
Lanjut Yasraf Amir Piliang negaskan bahwa persoalan ideologi pada media muncul ketika apa yang disampaikan media (dunia representasi), tatkala dikaitkan dengan kenyataan sosial memunculkan berbagai problematika ideologis di dalam kehidupan sosial dan budaya. Pertanyaan-pertanyaan ideologis yang sering muncul mengenai politik media adalah, misalnya apakah media merupakan cermin atau refleksi dari realitas? Atau apakah sebaliknya menjadi cermin dari separuh realitas, dan menjadi topeng
separuh realitas lainnya? Apakah media melukiskan realitas atau sebaliknya mendistorsi realitas.
Ketika media dikendalikan oleh berbagai kepentingan ideologis di baliknya maka, ketika menjadi cermin realitas (mirror of reality). Media sering dituduh sebagai perumus realitas (definer of reality) sesuai dengan ideologi yang melandasinya. Beroperasinya ideology di balik media, tidak dapat dipisahkan dari mekanisme ketersembunyian (invisibility) dan ketidaksadaran yang merupakan kondisi dari keberhasilan sebuah ideologi. Artinya, sebuah ideologi menyusup dan menanamkan pengaruhnya lewat media secara
tersembunyi (tidak terlihat dan halus), dan ia merubah pandangan setiap orang secara tidak sadar.
Ada berbagai mekanisme beroperasinya ideologi di dalam media, yang diantaranya adalah sebagai berikut; Pertama, mekanisme oposisi biner (binary opposition), yaitu mekanisme penciptaan disitribusi makna simbolik berdasarkan sistem kategori pasangan (binary) yang bersifat polaristik dan kaku. Setiap hall digeneralisir diredusir sedemikian rupa, sehingga ia hanya mendapat berada pada satu kutub (makna
simbolik) yang ekstrim, kalau tidak pada kutub ekstrim di seberangnya. Tidak ada pilihan-pilihan tanda, kode, makna, dan bahasa yang beraneka ragam (polysemi). Yang ada hanya pilihan hitam-putih. Mesin-mesin biner (binery mecine) ini, menurut Deleuze dan Parnet di dalam dialogue, biasanya digunakan oleh sistem kekuasaan yang represif dan totaliter. Mesin biner ini hanya memproduksi berbagai oposisi biner di dalam masyarakat; oposisi biner kelas sosial (penguasa/rakyat); opsisi biner seks (pria-wanita); oposisi biner idelogi (Pancasilais/antiPancasila); oposisi biner ras (kulit putih/kulit hitam), dsb. Mesin-mesin biner ini juga diterapkan di dalam sistem politik media dan politik informasi orde baru.
Kedua, akibat logis yang ditumbulkan oleh mesin-mesin oposisi biner, adalah berupa mekanisme paralogisme dan kekerasan simbolik di dalam media. Dalam hall ini, disebabkan otoritas kekuasaan yang dimilikinya, kelas dominan selalu mengidentifikasi diri mereka sebagai mulia, baik, benar. Sementara orang-orang dikuasai dimusuhi sebagai buruk, jahat, bersalah, subversif, kriminal. Kecenderungan pembenaran diri sendiri semacam ini pada penguasa ketika diartikulasikan dalam media, menciptakan sebuah media yang di dalamnya beroprasi apa yang ada di dalam teori politik informasi disebut Pierre Bourdeu sebagai kekerasan simbolik (symbolic violency), yaitu sebuah bentuk kekerasan yang halus dan tak tampak, yang menyembunyikan di baliknya pemaksaan dominasi. Dalam hal ini, kekerasan simbolik tidak saja dilihat sebagai bentuk dominasi politik melalui media. Tetapi bentuk dominasi yang diakui secara salah (misrecognized) oleh publik, meskipun secara fakta diakui sebagai legitimate. Di dalam mekanisme kekerasa simbol, relasi komunikasi (communicative realtion) saling bertautan dengan relasi kekuasaan (power relation), yang didalamnya hegemoni sebuah sistem kekuasaan dipertahankan dengan mendominasi (mendistorsi) produksi dan interpretasi terhadap media, bahasa, dan makna yang beroperasi di dalamnya, yang menciptakan pertandaan dan pemaknaan yang serba tunggal; mono-signification dan mono-semy.
Ketiga, adalah apa yang disebut oleh Paul L. Jalbert, di dalam language, image media, sebagai mekanisme dered/e dicto. Dere berarti sesuatu hal, sedangkan de dicto berarti tentang apa yang dikatakan (mengenai sesuai hal). Dere mengandung transparansi serta kejelasan fakta dan referensi, sedangkan de dicto mengandung kekaburan dan ambiguitas fakta dan referensi media, misalnya, menciptakan de dicto, ketika ia menulis sebagai judul headilline-nya, presiden mengeluarkan dekrit. Padahal, yang sesungguhnya terjadi adalah presiden akan mengeluarkan dekrit bila situasi dianggap darurat. Tindakan yang akan dilakukan, diredusir oleh media, seolaholah tindakan tersebut telah dilakukan, semata untuk menciptakan daya tarik dan provokasi terhadap pembaca. Distorsi dan pengaburan makna semacam itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari media dewasa ini, yang terperangkap di dalam paradigma provokasi (kapitalistik), semata untuk mempertahankan rating atau oplah.
Pemaksaan kekerasan, dan rekayasa di dalam media seringkali berlangsung halus dan tidak tampak, sehingga tidak disadari sebagai suatu pemaksaan, kekerasan, atau rekayasa. Artinya, semua satu bentuk rekayasa media yang meskipun demikian bukan sebuah bentuk kekerasan adalah apa yang disebut dengan hiperealitas media, yaitu penciptaan realitas-realitas artifisial di dalam media, yang menciptakan realitas (kebenaran, fakta, kebenaran) tandingan.
Belum ada tanggapan untuk "Ideologi Terselubung Namun Menentukan Arah Kebijakan Media"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung