Belum ada kesepakatan di antara para ahli untuk menggambarkan gerakan radikal sehingga memunculkan banyak terminologi, antara lain Neo-Khawarij, Khawarij abad ke-20, Islam radikal (Emmanuel Sivan), dan fundamentalisme. Fazlur Rahman menyebutnya sebagai gerakan neo-revivalisme atau neofundamentalisme untuk membedakan gerakan modern klasik dengan gerakan fundamentalisme post-modernisme sebagai sebuah gerakan anti Barat. Adapun Esposito dan Dekmejian menggunakan istilah Islamic revivalism ketimbang istilah fundamentalisme yang dinilainya merupakan istilah yang khas Protestan. Al-Jabiri dan Gilles Kepel menyebut gerakan tersebut sebagai ekstremisme Islam, sedangkan el-Fadl menyebutnya gerakan Islam puritan.
Namun, dari berbagai istilah tersebut, istilah radikalisme dipandang lebih tepat ketimbang fundamentalisme dan istilahistilah lain, karena fundamentalisme sendiri memiliki makna yang multitafsir. Fundamentalisme dalam perspektif Barat berarti paham orang-orang kaku dan ekstrem serta tidak segan-segan melakukan kekerasan dalam mempertahankan ideologinya. Sementara, dalam pemikiran teologi keagamaan, istilah fundamentalisme lebih mengarah pada gerakan untuk mengembalikan seluruh perilaku muslim untuk merujuk pada alQur’an dan hadis. Fundamentalis juga terkadang ditujukan kepada kelompok yang berupaya mengembalikan Islam (revivalis). Menurut Kuntowijoyo, fundamentalisme juga diartikan sebagai radikalisme dan terorisme dikarenakan gerakan ini memiliki implikasi politik yang membahayakan negara-negara industri di Barat. Adapun menurut Fazlur Rahman, fundamentalisme berarti anti-pembaratan (westernisme).
Secara bahasa, radikalisme berasal dari bahasa Latin, radix, yang berarti “akar”. Ia adalah paham yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar untuk mencapai kemajuan. Dalam perspektif ilmu sosial, radikalisme erat kaitannya dengan sikap atau posisi yang mendambakan perubahan terhadap status quo dengan cara menggantinya dengan sesuatu yang sama sekali baru dan berbeda. Radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung yang muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan terhadap ide, asumsi, kelembagaan, atau nilai.
Secara sederhana, radikalisme adalah pemikiran atau sikap yang ditandai oleh empat hal yang sekaligus menjadi karakteristiknya, yaitu: Pertama, sikap tidak toleran dan tidak mau menghargai pendapat atau keyakinan orang lain. Kedua, sikap fanatik, yakni sikap yang membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain. Ketiga, sikap eksklusif, yakni sikap tertutup dan berusaha berbeda dengan kebiasaan orang banyak. Keempat, sikap revolusioner, yakni kecenderungan untuk menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuan.
Menurut Azyumardi Azra, radikalisme merupakan bentuk ekstrem dari revivalisme. Revivalisme merupakan intensifikasi keislaman yang lebih berorientasi ke dalam (inward oriented), dengan artian pengaplikasian dari sebuah kepercayaan hanya diterapkan untuk diri pribadi. Adapun bentuk radikalisme yang cenderung berorientasi keluar (outward oriented), atau kadang dalam penerapannya cenderung menggunakan aksi kekerasan lazim disebut fundamentalisme.
Dalam bahasa Arab, kekerasan dan radikalisme disebut dengan beberapa istilah, antara lain al-‘unf, at-tatarruf, al-guluww, dan al-irhab. Al-‘unf adalah antonim dari ar-rifq yang berarti lemah lembut dan kasih sayang. Abdullah an-Najjar mendefiniskan al-‘unf dengan penggunaan kekuatan secara ilegal (main hakim sendiri) untuk memaksanakan kehendak dan pendapat. Sekalipun kata ini tidak digunakan dalam al-Qur’an, tetapi beberapa hadis Nabi saw. menyebutnya, baik kata al-‘unf maupun lawannya (arrifq). Dari penggunaan kata tersebut dalam hadis-hadis, tampak jelas bahwa Islam adalah agama yang tidak menyukai kekerasan terhadap siapa pun, termasuk penganut agama yang berbeda. Sebaliknya Islam adalah agama yang penuh dengan kelembutan.
Kata at-tatarruf secara bahasa berasal dari kata at-tarf yang mengandung arti “ujung atau pinggir”. Maksudnya berada di ujung atau pinggir, baik di ujung kiri maupun kanan. Karenanya, dalam bahasa Arab modern kata at-tatarruf berkonotasi makna radikal, ekstrem, dan berlebihan. Dengan demikian, at-tatarruf ad-dini berarti segala perbuatan yang berlebihan dalam beragama, yang merupakan lawan kata dari al-wasat (tengah/moderat) yang memiliki makna baik dan terpuji.
Adapum kata al-guluww yang secara bahasa berarti berlebihan atau melampaui batas sering digunakan untuk menyebut praktik pengamalan agama yang ekstrem sehingga melebihi batas kewajaran. Al-Qur’an mengecam keras sikap Ahli Kitab yang terlalu berlebihan dalam beragama sebagaimana firman Allah dalam Q.S. an-Nisa’ [4]: 171 dan Q.S. al-Maidah [5]: 77.
Sikap berlebihan itu pula yang membuat tatanan kehidupan umat terdahulu menjadi rusak sebagaimana disabdakan Nabi saw., “Wahai manusia, jauhilah sikap berlebihan (al-guluww) dalam beragama. Sesungguhnya sikap berlebihan dalam beragama telah membinasakan umat sebelum kalian.” (H.R. Ibnu Majah dan an-Nasa’i). Sabda Nabi ini muncul dalam peristiwa Haji Wada. Ketika itu, Nabi saw. meminta kepada Ibnu ‘Abbas di pagi hari jumrah ‘aqabah agar mengambilkan kerikil untuk melempar jumrah di Mina. Ketika Ibnu ‘Abbas mengambilkan kerikil sebesar kerikil ketapel, beliau berkata, “Dengan kerikil-kerikil semacam inilah hendaknya kalian melempar.” Kemudian beliau bersabda sebagaimana hadis di atas. Dalam hadis lain, dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah saw. Bersabda, “Celakalah orang-orang yang melampaui batas (al-mutanatti‘un ).” (H.R. Muslim). Perkataan tersebut diulang tiga kali untuk mengindikasikan bahwa Nabi saw. sangat tidak menyukai umatnya yang mempraktikkan agama secara berlebihan, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Sebaliknya beliau ingin mengajarkan sikap beragama yang moderat dan menghindari sikap guluww (radikal) dalam beragama.
Adapun istilah terorisme sendiri baru populer pada tahun 1793 sebagai akibat Revolusi Perancis, tepatnya ketika Robespierre mengumumkan era baru yang disebut Reign of Terror di Perancis (10 Maret 1793-27 Juli 1794). Dari nama era inilah kemudian istilah terorisme dipakai dalam bahasa Inggris (terrorism) dan Perancis (terrorisme). Selama berlangsung Revolusi Perancis, Robespierre dan yang sejalan dengannya, seperti St. Just dan Couthon, melancarkan kekerasan politik secara masif di seluruh wilayah Perancis. Di Paris saja, diperkirakan 1.366 penduduk Perancis, laki-laki dan perempuan, terbunuh hanya dalam waktu 6 minggu terakhir dari masa teror. Mereka juga memenggal kepala 40 ribu penduduk asli Perancis dengan alat pemancung kepala dan menangkap serta memenjarakan 300 ribu orang.
Dalam Kamus Oxford, terrorist dimaknai dengan orang yang melakukan kekerasan terorganisir untuk mencapai tujuan politik tertentu. Aksinya dinamakan terorisme, yakni penggunaan kekerasan dan kengerian atau ancaman, terutama untuk tujuan-tujuan politis. Sedangkan dalam bahasa Arab, istilah yang umum dipakai untuk menyebut terorisme adalah al-irhab dan pelakunya disebut irhabiy . Kamus al-Mu‘jam al-Wasit memberikan definisi al-irhab dengan “sifat yang dimiliki oleh mereka yang menempuh kekerasan dan menebar kecemasan untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik.” Al-irhab dalam pengertian di atas tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan kamus-kamus Arab klasik, karena istilah itu belum dikenal di masa klasik. Bahkan, 8 kali penyebutan kata al-irhab dan berbagai derivasinya (5 kali dalam surah-surah Makiyyah dan 4 kali dalam surah-surah Madaniyyah) selalu bermakna positif. Salah satunya adalah perintah Allah kepada mukmin untuk mempersiapkan berbagai kekuatan dan senjata yang dapat menggentarkan musuh Allah dan musuh mereka, sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-Anfal [8]:80.
Secara bahasa, kata turhibun terambil dari ra-hi-ba yang berarti “takut/gentar”. Ini bukan berarti melakukan teror. Memang dalam perkembangan bahasa Arab kontemporer, teror disebut irhab, tetapi perlu dicatat bahwa al-Qur’an tidak menggunakan istilah irhab dalam pengertian sebagaimana dimaksud dewasa ini. Makna-makna penggunaan irhab dan derivasinya dalam al-Qur’an tidak keluar dari makna kebahasaan; sebagiannya menunjuk arti takut dan gentar, dan yang lainnya bermakna sikap kependetaan (rahbaniyyah) (Q.S. al-Hadid [57]: 27). Perlu juga dicatat bahwa yang digentarkan bukan masyarakat yang tidak bersalah, bahkan bukan semua yang bersalah, tetapi musuh agama Allah dan musuh masyarakat.
Kalimat “menggentarkan musuh-musuh kalian” menunjukkan bahwa kekuatan yang dipersiapkan itu tujuannya bukan untuk menindas atau menjajah, tetapi dalam rangka mencegah pihak lain yang ingin melakukan agresi. Tujuan dari persiapan kekuatan dimaksud sama dengan apa yang diistilahkan oleh para pakar militer modern dengan nama deterrent effect. Hal ini karena mereka yang bermaksud jahat, jika menyadari besarnya kekuatan yang akan dihadapinya, tentu ia akan mempertimbangkan untuk melakukan penyerangan. Selain itu, al-Qur’an menggunakan kata quwwah (kekuatan) dengan berbagai derivasinya dalam arti kekuatan untuk menghadapi pembangkang, bukan untuk menganiaya dan memusnahkan, bahkan tidak menggunakannya, tetapi sekadar “memamerkan” sehingga musuh merasa gentar. Karena itu, penggunaan kekuatan dalam sedapat mungkin harus dihindari, dan jika terpaksa digunakan ia digunakan untuk menghadapi “musuh Allah dan masyarakat”, yakni mereka yang berusaha menimpakan bahaya orang lain. Sementara, yang tidak melakukan itu, maka ia tidak perlu digentarkan. Juga perlu ditambahkan bahwa penggunaan senjata dalam rangka membela diri dan agama sama sekali tidak dapat dipersamakan dengan teror.
Dari penggunaan berbagai kata yang menunjuk radikalisme dan kekerasan dalam teks keagamaan (al-Qur’an dan hadis), terlihat dengan jelas bahwa pada prinsipnya Islam sangat menentang kekerasan dan radikalisme dalam berbagai bentuknya. Sebaliknya, sejak awal kemunculannya Islam telah memproklamirkan dirinya sebagai agama yang sarat dengan ajaran moderat (wasatiyah) yang senantiasa mengajarkan perdamaian, kedamaian, dan ko- eksistensi.
Pustaka
M.A. Shaban, Islamic History (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), hlm. 56.
Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 125.
Akhmad Elang Muttaqin, “Mengakrabi Radikalisme”, dalam https:// elangmutaqin.wordpress.com/2012/05/26/mengakrabi-radikalisme/, diakses pada 5 Januari 2016.
Akbar S. Ahmed, Posmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam, terj. M. Sirozi (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 171; William Montgmery Watt, Islamic Fundamentalism and Modernity (London: T.J. Press, 1998), hlm. 2; H.A.R. Gibb, Aliran-aliran Modern dalam Islam, terj. Machnun Husein (Jakarta: Rajawali Press, 1990), hlm. 52.
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 49.
Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), hlm. 136.
Edi Susanto, “Kemungkinan Munculnya Paham Islam Radikal di Pesantren”, dalam Jurnal Tadris (Pamekasan: Sekolah Tinggi Agama Islam Pamekasan, 2007), Vol. 2, No. 1, hlm. 3.
Agil Asshofie, “Radikalisme Gerakan Islam”, http://agil-asshofie.blogspot. com/2011/10/radikalisme-gerakan-politik.html, diakses pada 25 Januari 2016.
Azyumardi Azra, Islam Reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 46-47.
Dikutip dari Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an Kementerian Agama, Tafsir al-Qur’an Tematik, jilid 1 (Jakarta: Kamil Pustaka, 2014), hlm. 97.
Muchlis M. Hanafi, “Konsep al-Wasathiyyah dalam Islam”, dalam Harmoni: Jurnal Multikultural dan Multireligius (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), Volume VIII, Nomor 32, Oktober-Desember 2009, hlm. 39.
Muhammad al-Hawari, “Al-Irhab: al-Mafhum wa al-Asbab wa Subul al-Ilaj”, dalam http://www.assakina.com/book/6007.html, diakses pada 7 Januari 2016.
Joyce M. Hawkins, Oxford Universal Dictionary (Oxford: Oxford University Press, 1981), hlm. 89.
Ibrahim Anis, dkk., al-Mu‘jam al-Wasit, jilid 1 (Kairo: Majma‘ al-Lugah al- ‘Arabiyyah, 1972), hlm. 376.
M. Quraish Shihab, Ayat-ayat Fitna: Sekelumit Keadaban Islam di Tengah Purbasangka, cet. I (Jakarta: Lentera Hati, 2008), hlm. 9-10.
Belum ada tanggapan untuk "Pengertian Radikalisme dan Maknanya"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung