Banyaknya teror dan tindak kekerasan atas nama Islam yang terjadi dalam kurang lebih satu dasawarsa terakhir telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu wilayah penting dalam studi-studi terorisme dan radikalisme keagamaan. Merujuk kepada Global Terorisme Database (2007), dari total 421 tindak terorisme di Indonesia yang tercatat sejak 1970 hingga 2007, lebih 90% tindak terorisme terjadi pada kurun tahun-tahun mendekati Suharto lengser hingga memasuki era demokrasi. Selain itu, jenis terorisme yang bersifat fatal attacks juga mengalami kenaikan serius pada kurun waktu tersebut. Termasuk penggunaan metode baru dalam melakukan teror, yakni aksi bom bunuh diri (suicide attacks) yang sebelumnya hampir tidak pernah terjadi. Sejak peristiwa teror Bom Bali I yang menewaskan 202 orang hingga 2013, sekurangnya telah berlangsung 12 aksi bom bunuh diri. Kelompok Islam berhaluan radikal yang dikenal sebagai Jamaah Islamiyah (JI) dan jaringannya dianggap sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas sebagian besar gelombang teror di Indonesia pasca reformasi. Merespons berbagai aksi teror tersebut, hingga juni 2013 pemerintah telah menahan lebih kurang 900 orang yang didakwah terlibat tindak pidana teroris dan sekitar 70 terduga teroris ditembak mati.
Keterlibatan kelompok Islam radikal dalam aksi teror sama sekali bukan merupakan fenomena baru dalam sejarah politik di tanah air. Menengok sejarah dapat dicatat antaranya: pengeboman di Cikini 30 November 1957, lalu kekerasan oleh gerakan Darul Islam (DI) pimpinan Kartosuwirjo (1950-an hingga awal 1960-an). Lalu, masa orde baru muncul juga serangkaian kekerasan dan pengeboman yang dikaitan dengan gerakan komando Jihad, pembajakan pesawat terbang Woyla oleh sekelompok fundamentalis jamaah Imron bin Muhammad Zein tahun 1981, peledakan Candi Borobudur oleh kelompok Syiah yang dipimpin Hussein al-Habsy tahun 1985, dan sebagainya. Aksi teror sporadis dan berkala massif, juga dengan berlatar keagamaan, kembali hadir seiring dengan transisi demokrasi hingga saat ini.
Banyak studi yang mencoba memahami akar-akar terorisme dan radikalisme dalam berbagai perspektif, baik itu segi ekonomi, budaya, politik, psikologi, dan keagamaan (A.P. Schmidt, 2011 dan John Horgan, 2012). Para ahli sepakat bahwa akar terorisme bersifat komplek. Ada beberapa segi terorisme keagamaan di Indonesia yang membedakan dengan fenomena serupa di negara-negara Barat maupun negara muslim lainnya seperti Malaysia, yakni unsur kesejarahan. Akar terorisme di Indonesia saat ini yang melibatkan banyak kelompok Islam berpandangan radikal akan dapat diketahui dengan baik dengan melihat keterhubungannya dengan gerakan-gerakan Islam saat ini merupakan ‚turunan‛ dari radikalisme Islam yang diawali sebelumnya oleh Kartosuwirjo dengan Darul Islamnya sejak 1950-an dan gerakan Komando Jihad atau Komji yang muncul akhir 1970-an (Lihat: Zaki Mubarak, 2008). Hubungan ini nyata terlihat tidak hanya pada segi kesamaan ideologi, tapi bahkan juga segi biologis. Beberapa nama terduga teroris, baik yang ditangkap hidup-hidup atau tertembak mati, tercatat telah memiliki sejarah panjang tersangkut paut dengan gerakan teror keagamaan sebelumnya.
Dengan membagi aksi teror dan radikalisme agama pasca kemerdekaan ke dalam beberapa fase, menurut penulis, fenomena terorisme di era reformasi merupakan fase ketiga yang merupakan evolusi dua fase sebelumnya. Fase pertama, telah disebut sebelumnya, ditandai dengan munculnya DI/TII Kartosoewirjo yang kemudian diikuti oleh Kahar Muzakkar dan Daud Beureuh. Fase kedua, munculnya gerakan komando Jihad 1970-an hingga 1980-an yang beberapa aktor utamanya adalah mantan anggota DI/TII era Kartowoewijo. Nama Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’ashir, yang kemudian dikenal luas sebagai amir Jamaah Islamiyah (JI), telah muncul pada fase itu. Fase ketiga, berbagai gerakan teror dan kekerasan yang terjadi saat dan pasca reformasi, akhir 1990-an hingga saat ini.
Selain akar kesejarahan, geneologi pemikiran/ ideologi yang menginspirasi berkembangnya radikalisme keagamaan juga penting untuk ditelusuri. Perkembangan gagasan Islam radikal di tanah air, yang beberapa ekspresi politiknya dilakukan melalui aksi teror, banyak dipengaruhi oleh pandangan keislaman ulama klasik Ibnu Taimiyah dan juga Sayid QutbPemikir Islam radikal Ikhwanul Muslimin (IM) Mesir yang akhirnya dihukum gantung-. Pemikiran Quthb-melalui mu’alim fi at-tharieq- banyak menginspirasi radikalisme keagamaan di kalangan muda pada 1980-an. Terutama, pandangannya soal jahiliyah modern dan definisi kafir yang meluas. Lalu, gagasan ini diperkukuh oleh Syaikh Abdullah Azzam, dengan konsep jihadnya, yang kemudian berhasil mempengaruhi para aktifis muslim Indonesia pergi berjihad ke Afganistan. Alu Osama bin Laden, menjadi tokoh terpenting dalam mempengaruhi arah dan perkembangan gerakan neo-fundamentalisme kontemporer (Oliver Roy, 2005). Justrifikasi jihad dan dalil keagamaan yang banyak keluar dari aktivis radikal saat ini kenyataannya tidak lebih sebagai “copy paste” ungkapan-ungkapan yang sering dilontarkan Bin Laden sebelumnya. Kuatnya pengaruh para tokoh di atas juga dapat dibaca dengan jelas dalam berbagai buku, majalah, tabloid, atau media lain yang diproduksi oleh kelompok-kelompok radikal di tanah air.
Selain faktor kesejarahan dan idiologi, faktor kebijakan negara yang sangat represif terhadap kelompok Islam juga dianggap berperan penting yang mendorong kelompok Islam melancarkan aksi teror. Mihammed Hafez (2004) menegaskan hal ini dengan menyimpulkan, dalam kasus terorisme kelompok Islam di Al-Azhar, bahwa represi yang brutal oleh rezim menjadi faktor terpenting yang melahirkan aksi-aksi teror dari kelompok Islam yang ditindas dengan kejam. Dalam sebuah momen di mana seluruh ruang untuk berpartisipasi tertutup rapat dan terjadi penindasan terus menerus, malahan yang mungkin terjadi adalah perlawanan dalam bentuknya yang paling ekstrim: terorisme.
Belum ada tanggapan untuk "Radikalisme dan Deradikalisasi Berbagai Perpsektif"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung