|
Huma Betang Suku Dayak |
Huma Betang dalam pandangan masyarakat Dayak selain digunakan sebagai tempat hunian, juga difungsikan sebagai tempat berkumpul keluarga, pertemuan adat, musyawarah, tempat berlindung dari serangan binatang buas dan wujud dari semangat kebersamaan.
Huma Betang secara filsafat menyatukan sesama penghuni yang tinggal di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pola pikir masyarakat Dayak yang memiliki keinginan untuk tinggal bersama-sama dalam satu tempat.
Berdasarkan hasil interview dengan penghuni Huma Betang Tumbang Gagu didapatkan beberapa falsafah baik dari arti hunian bagi warganya maupun falsafah hidup yaitu: “Huma Betang itu rumah dengan kebersamaan dan suka cita di dalamnya (Bapak Labuan U. Antang), Huma Betang adalah rumah kami, tempat kami bergotong royong dan hidup harmoni (Bapak Dulas dan Bapak Lipsin)”. Falsafah kehidupan di Huma Betang Tumbang Gagu yaitu: “Harobuk nak yaitu kerja sama dengan kada beharap timbal balik, hidup damai lawan penuh toleransi (Bapak Labuan U. Antang). Huma Betang adalah tempat penuh kejujuran dan kebersamaan antar individu keluarga (Ibu Lerie Levin). Setau saya hidup penuh toleransi dan beban hidup dipikul bersama adalah inti dari hidup di Huma Betang (Bapak Dulas). Tetap hidup dengan belom bahadat dan junjung tinggi semangat isen mulang (Bapak Lipsin). Hidup di sini tu penuh dengan adat istiadat, anak harus hormat sama yang tua contohnya kaki diangkat amun lewat orang tua tidur, kan kayunya bunyi nanti ganggu tidur orang tua nak ae kaya itu jua sama manggil orang tua kada boleh sembarangan manggil nama. Ada jua bahasa Habatang Garing Habaner Garantung Habasung Runjan itu tu artinya lelakian wajib hukumnya menghormati dan menjaga kehormatan perempuan nak ae (Ibu Sille).” Persatuan dalam kehidupan sehari-hari tidak jauh dari teori multikulturalisme yang secara sadar maupun tidak adalah keadaan sosial dalam bermasyarakat.
Masyarakat Dayak dalam kehidupan sehari-harinya di Huma Betang telah menerapkan nilai tersebut agar menghindari disintegrasi sosial. Kemampuan menahan ego dan amarah demi kebaikan bersama mendukung terciptanya suasana kebhinekaan. Tidak terdapat golongan atas, menengah maupun bawah dalam kehidupan warga di Huma Betang Tumbang Gagu. Keberadaan pemimpin tidak menjadikan sistem kehidupan berdasarkan otoriter. Pemusyawarahan merupakan ujung dari pemecahan setiap gesekan di antara penghuni Huma Betang. “Musyawarah tetap lestari buktinya setiap pengambilan keputusan akan dilaksanakan di Balai Garadu. Kalau ada perselisihan antara warga maka ketua adat akan memimpin pertemuan untuk mengambil keputusan bersama (Bapak Labuan U. Antang)”.
Indonesia sebagai bangsa yang majemuk dengan kondisi masyarakat yang plural terkadang masih bisa mengalami perpecahan baik karena isu politik maupun agama serta sosial, terutama akhir-akhir ini. Kepentingan golongan tertentu berusaha menekan anggota lainnya sehingga menciptakan konflik. Konflik yang berkepanjangan mampu mengancam keutuhan Indonesia sebagai suatu bangsa. Kondisi plural juga terjadi di masyarakat Dayak yang tinggal di Huma Betang Tumbang Gagu, namun keberadaan agama yang berbeda bukanlah menjadi penghalang dalam kerukunan antar penghuni. Seperti yang dapat dilihat bahwa hampir semua warga Huma Betang menyatakan bahwa kerjasama dan toleransi menjadi tiang falsafah yang kokoh dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Keberadaan nilai-nilai persatuan sangat kental di Huma Betang Tumbang Gagu. “Nilai persatuan yang ada yaitu toleransi baik adat terhadap orang tua, maupun toleransi agama. Di Huma Betang ini ada penghuni yang beragama Islam, Kristen, dan Hindu Kaharingan. Kalau ada kegiatan agama misalnya tiwah, kebaktian maupun kegiatan keagamaan lainnya pasti saling membantu supaya kegiatan terlaksana dengan lancar (Bapak Dullas).”
Hal yang sama juga diungkapkan Ibu Sille “agamanya ada Islam, Hindu Kaharingan dan Kristen dan sukunya adalah Dayak Ngaju, mata pencaharian bahuma, berburu, dan menangkap ikan. Bukan hanya dari segi keagamaan saja yang menunjukkan sikap persatuan akan tetapi dari pekerjaan sehari-hari juga mencerminkan sikap tersebut. Gotong royong juga terpatri dalam tindakan masyarakat penghuni Huma Betang Tumbang Gagu sehari-hari. Tanpa disadari sifat tersebut menjadi jiwa dari kegiatan sehari-hari sehingga frekuensi konflik yang terjadi dalam kategori sangat rendah. “Seperti biasa ada kegiatan bahuma, maunjun, menggalau iwak, membuat tikar dari uwei. Uwei tu rotan nak ae, lalu ada jua membuat sipet atau sumpit (Bapak Dulas). Gotong royong? Ya itu pang kaya tadi ada harobuk di bidang bahuma, menggalau iwak, buat rotan, lawan tiwah (Ibu Sille)”. Situasi yang majemuk tidak menyurutkan semangat kebersamaan yang juga tanpa disadari merupakan pilar dari kebhinekaan. Situasi ekonomi di Huma Betang juga memiliki keunikan sendiri yaitu adanya kondisi mandiri dan gotong royong.
Hal ini terlihat dari hasil jawaban kuesioner yang diberikan kepada beberapa responden masyarakat Dayak. Harobuk atau gotong royong yang disampaikan oleh responden memang diwariskan secara turun temurun. Gotong royong dalam masyarakat Dayak dapat dilihat dari proses pembangunan Huma Betang. Proses pembangunan dimulai dari mendirikan bangunan dengan upacara mampendeng, dimana dari jihi bakas hingga jihi bisu.
Menurut kepercayaan suku Dayak bahwa dalam membangun Huma Betang sangat dipengaruhi dengan tata cara maupun waktu mulai pembangunan (Rahman, 2014). Falsafah dari adat tersebut yaitu dengan mengikuti semua aturan dan proses tanpa disadari bahwa masyarakat secara langsung menerapkan sifat taat dan patuh dengan peraturan yang dibuat bersama, sehingga luaran yang dihasilkan adalah kerukunan antar penghuninya. Peletakan Huma Betang di pinggiran sungai mengingat bahwa kondisi geografis pulau Kalimantan didominasi dengan sungai-sungai. Sehingga untuk akses transportasi maupun sarana komunikasi dan ekonomi, masyarakat harus beradaptasi dengan lingkungan (Rahmat, 2014).
Kemampuan penyesuaian diri inilah yang membuat masyarakat Dayak ramah dengan pendatang dan mampu berbaur. Kesatupaduan dapat tercipta dengan sifat penerimaan yang besar dari individu penyusun masyarakat, akan tetapi tidak lupa untuk menjaga nilai kearifan lokal. Falsafah lain yang tidak kalah penting yaitu minimalisasi gesekan sosial antar individu yang bertinggal di Huma Betang dengan musyawarah. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa kepemimpinan terdapat dikonstruksi sosial masyarakat Dayak. Pemimpin dihormati karena merupakan sosok representatif dari masyarakat. Pengambilan keputusan dalam menghadapi suatu masalah dapat dilihat dari pola perilaku yang diambil ketika terjadi konflik tersebut. Pola tersebut tidak lepas dari musyawarah untuk mencapai mufakat. Menghargai pendapat serta mendengarkan sisi lain dari suatu permasalahan dengan dipimpin oleh pemimpin yang bijak, merupakan representasi dari kebhinekaan.
Selain tindakan represif aktif maupun kuratif yang dilaksanakan pada saat terjadi masalah, terdapat pula tindakan preventif yang dilakukan warga Huma Betang Tumbang Gagu. Tindakan preventif yang dilakukan contohnya adalah mengajarkan dari kecil kepada anak mengenai hidup dengan sopan santun dan beradab. Pembelajaran tersebut secara tidak langsung akan menjadi panduan hidup seorang anak menuju proses kedewasaan.
Sifat-sifat luhur yang ditanamkan dari kecil akan menjadi penghias kehidupan penuh rukun dan tentram. Keberadaan falsafah-falsafah di atas sudah seharusnya diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat di zaman modern ini. Penyelesaian konflik baik agama, suku dan ras dapat dengan mudah tercapai jika masyarakat Indonesia mempunyai itikad dalam refleksi kearifan lokal.
Belum ada tanggapan untuk "Nilai Sosial dari Konstruksi Masyarakat Penghuni Huma Betang "
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung