Belumlah tiba waktunya pilkada, sudah banyak baleho, poster dan spanduk terpasang disudut-sudut kota. Bahkan ada juga yang terpasang dihutan atau tempat-tempat sepi lainnya. Dibenak saya mulai bertanya, sebenari inikah mereka menerima amanah sebagai pemimpin? Apakah mereka paham bahwa seorang pemimpin itu tidak hanya berpikir bagaimana membangun daerah, membubuhkan tanda tangan pada lembaran-lembaran kertas atau mendapatkan kata “yang terhormat” dari MC acara.
Pemimpin bertugas untuk membawa yang dipimpinnya ke jalan yang lebih baik, jalan yang lurus, jalan yang menuju kebahagiaan hakiki. Dalam perjalanannya, seorang pemimpin memiliki kewajiban mempertanggung jawabkan setiap langkahnya, menjadi pelindung dan pengayom orang-orang yang dipimpinnya. Saya seringkali membaca literatur dan profil para pemimpin terdahulu. Pada umumnya mereka menangis setelah mengetahui dirinya diberikan amanah oleh negeri yang dipimpinnya. Mereka menangis karena takut tidak dapat berbuat adil, mereka takut mendapatkan fitnah, mereka takut karena tanggung jawabnya bukan hanya kepada rakyat tetapi juga kepada Tuhannya. Mereka takut jangan sampai terjerumus oleh kemewahan dan segala fasilitas yang dipakainya, ketakutan demi ketakutan itulah yang membuat mereka menangis.
Begitu mereka memahami resiko yang dihadapi oleh seorang pemimpin sehingga mereka rela mengorbankan harta dan nyawanya demi mengemban amanah jabatan. Itulah mengapa pada jaman dulu banyak pemimpin besar yang buah tangan dan karyanya sangat mengagumkan.
Pada jaman dulu, pemimpin selalu lahir dari keturunan bangsawan, keturunan para pemimpin sebelumnya. Bukan karena mereka menutup pintu menjadi pemimpin bagi masyarakat umum, namun karena terjebak oleh garis keturunan. Mereka sebenarnya ingin menghindari jabatan atau pemimpin, tetapi rakyat menghendakinya sebab dianggap cakap dan mampu memimpin mereka. Para pemimpin dulu tidak pernah berniat untuk dikenal, tetapi buah karyanya, kedermawanannya, tutur katanya dan sikapnyalah yang membuat mereka di kenal masyarakat.
Bandingkan dengan sekarang, belumlah menjadi pemimpin sudah berbohong kepada masyarakat. Senyum, tutur kata, penampilan dan lain sebagainya hanya sandiwara guna menarik minat masyarakat terhadap dirinya. Kepemimpinannya bukan karena amanah rakyat melainkan karena nafsu serakahnya, jadilah segala cara dilaluinya, mulai dari mengintimidasi, memfitnah, mengadu domba, membeli suara rakyat, manipulasi data, memobilisasi massa, sampai dengan memanfaatkan birokrasi untuk kepentingannya.
Pemimpin sekarang tidak akan pernah berbuat adil, sudah terikat kontrak dengan mereka-mereka yang juga ingin memuaskan nafsu serakahnya. Benarlah kata orang-orang bijak “Manusia tergantung sikap dan pikirannya. Ketika sikap dan pikirannya baik maka dia akan berkumpul dengan orang baik, sebaliknya ketika sikap dan pikirannya buruk maka dia akan bersama orang-orang yang buruk pula sikap dan pikirannya”.
Orang jujur sulit mendapatkan teman, yang mau berteman dengan orang jujur hanyalah orang jujur pula. Kalau ingin mengetahui bahwa calon pemimpin itu jujur atau tidak, maka lihatlah kepada siapa dia berteman, siapa saja yang bekerja untuknya dan apakah mereka termasuk orang-orang jujur?.
Walaupun spanduk, brosur, baleho, poster atau bahkan pernyataan-pernyataan seseorang yang mengagumi calon pemimpin menghiasi sudut-sudut kota, desa dan kampung-kampung, menghiasi surat kabar, majalah, televisi, media sosial, atau portal online, belumlah dikatakan benar apabila kebenarannya belum dibuktikan. Kebenarannya bisa dibuktikan dengan memandang kepada siapa calon pemimpin berteman dan siapa saja pendukungnya. Calon pemimpin juga bisa ditelusuri melalui dua alat ukur yakni perkataannya dan tulisan-tulisannya.
Di era demokrasi ini, semua ingin menjadi pemimpin. Mereka tidak pernah tahu kemampuannya, mereka hanya ingin menjadi pemimpin, tertulis dalam lembaran sejarah, mendapatkan fasilitas mewah, memperkaya dirinya dengan segala macam upeti, mendapatkan kata “yang terhormat, yang mulia”. Mereka tidak mau tahu tentang apa yang akan mereka dapatkan kelak, atau sudah tahu tetapi lebih memperturutkan nafsu serakahnya.
Coba anda bayangkan, ketika salah seorang yang anda pimpin berbuat dosa karena anda tidak mencegahnya maka anda pun mendapatkan dosa. Seribu orang berbuat dosa, seribu dosa juga anda pikul. Bagaimana kalau jutaan? Kayaknya semua kebaikan kita selama hidup ini, habis hanya karena kita menjadi pemimpin selama lima tahun. Atas dasar itulah sehingga orang dulu tidak pernah berniat untuk menjadi pemimpin.
Bagi yang berpikiran liberal atau kelompok-kelompok lainnya tidak akan sepakat dengan pernyataan di atas. Mana mungkin orang lain yang berbuat kita yang tanggung dosanya? Ingatlah bahwa pada saat kita menjadi pemimpin, itu berarti bahwa tanggung jawab tidak hanya pribadi kita sendiri tetapi semua yang kita pimpin. Ketika status masih sebagai pribadi, kita hanya bertanggung jawab kepada semua yang melekat pada diri kita misalnya sikap, perbuatan dan semua panca indra. Kemudian ketika sudah kawin, laki-laki akan mempertanggung jawabkan semua perbuatan istri dan anaknya, itulah mengapa suami wajib memberi nasehat dan teladan kepada istri dan anaknya. Setelah anda menjadi pemimpin suatu negeri maka anda akan bertanggung jawab pada semua kebaikan dan keburukan yang ada dinegeri yang anda pimpin.
Kalau ini sekiranya semua orang sadari, maka tidak akan berani orang mencalonkan dirinya menjadi pemimpin. Mungkin ada baiknya kita merenungi perkataan orang bijak seperti berikut ini;
“Seseorang yang menjadi pemimpin berada diantara neraka dan surga, terpeleset sedikit saja dia akan jatuh ke neraka, maka pahamilah tugas dan tanggung jawab seorang pemimpin. Jika engkau merasa mampu terimalah dan jika engkau merasa tidak mampu maka tolaklah dengan cara yang halus. Janganlah menambah bebanmu dengan menjadi seorang pemimpin karena tidak hanya sikap dan prilakumu yang engkau pertanggung jawabkan melainkan semua yang engkau pimpin”.
Keputusan pada akhirnya ada pada kita semua, kalau ingin selamat dunia dan akhirat, janganlah mencari perkara baru. Kecuali kita sudah merasa siap untuk menerima amanah dengan segala resikonya dunia dan akhirat.
Belum ada tanggapan untuk "Berani menjadi pemimpin, berarti anda siap menanggung dosa orang-orang yang anda pimpin"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung