Lahirnya generasi gagal paham adalah dampak dari kesalahan yang terstruktur, proses pembelajaran yang diberikan tidak sepenuhnya menjawab pemahaman, pengertian, dan kandungan isi materi yang disajikan oleh tim pengajar mulai dari pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi. Hal ini telah mendorong peserta didik mencoba memahami sesuatu berdasarkan nalar dan pikirannya sendiri. Akibatnya lahirlah berbagai persepsi dan argumentasi yang bertolak belakang dengan harapan yang sebenarnya.
Bukan kesalahan mereka kalau segala macam kaidah hukum, etika, etiket dan norma bahkan agama dipersoalkan. Apa yang mereka lakukan adalah buah dari proses ketidaksempurnaan pembelajaran, pendidikan tinggi sebagai “finishing” seharusnya menyempurnakan semua proses yang telah dilalui oleh peserta didik. Sehingga output yang dihasilkan benar-benar memiliki kualitas, menguasai bidang keilmuannya bahkan mampu menjadi corong demi perbaikan pola pikir masyarakat.
Ilmu pengetahuan sudah memiliki pedoman, aturan dan batasan. Secara umum, ilmu pengetahuan hanya akan membentuk pola pikir manusia secara searah. Rasa penasaran hanya lahir dari akibat sejumlah rahasia yang belum terpecahkan, sejatinya ilmu pengetahuan tidak menciptakan perbedaan tetapi memiliki hubungan saling mendukung dan menguntungkan. Setiap teori dan hipotesa menjadi informasi bagi teori dan hipotesa lainnya sampai ditemukannya solusi atas teori maupun hipotesa tersebut.
Namun pada kenyataannya, masing-masing ilmuwan dan kaum cerdik pandai justru mengalami perbedaan, bahkan pokok utama ilmu pengetahuan pun diperdebatkan. Yang lebih memprihatinkan adalah perdebatan melibatkan orang-orang yang memiliki keahlian yang sama, obyek yang sama serta kaidah yang sama. Karena berbeda cara memahaminya sehingga prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang sudah terbukti kebenarannya masih diragukan, imbasnya terjadilah perubahan dan penyempurnaan yang mengakibatkan ilmu pengetahuan keluar dari fakta ilmiahnya.
Berkurangnya pemahaman tentang Tugas Utama
Setiap individu harus bergerak cepat, dinamis dan selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman. Tuntutan untuk terus berkarir dan berkarya, kreatif dan inovatif merupakan dasar-dasar bertahan hidup ditengah semakin beratnya persaingan dan beban hidup. Kita wajib bergerak maju, sehingga membutuhkan banyak sumber daya yang kita miliki. Dengan demikian, membuat beban hidup semakin berat apalagi kesejahteraan tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Keterbatasan itulah sehingga bagi sebagian tenaga pendidik mencari alternatif lain. Akibatnya, tugas utama tidak berjalan maksimal, tentunya akan berimbas pula pada peserta didik. Disilah yang membuat peserta didik tidak manemukan salah satu seri dari semua episode belajarnya. Peserta didik dalam memahami materi yang diberikan tidak lengkap, terdapat potongan-potongan episode yang hilang dari proses belajarnya, umumnya peserta didik menyambung tiap episode tersebut menurut nalar dan pola pikirnya sendiri walaupun kemungkinan keluar dari batasan-batasan ilmiah.
Jadi, aturan yang membatasi setiap dosen untuk mengajar di tempat lain patut di apresiasi dengan baik, melalui aturan itu diharapkan para dosen memusatkan perhatiannya pada tugas utamanya. Akan tetapi dosen tetaplah manusia, mereka membutuhkan dukungan dari tingkatan sebelumnya, yaitu tingkatan dasar dan menengah maupun tingkatan atas. Masalahnya sekarang adalah banyak guru-guru yang berada pada level dasar, menengah dan atas juga mengalami hal yang sama yakni tingkat kesejahteraan rendah. Program sertifikasi guru dan dosen belum mampu meloloskan guru dari beban hidup. Bahkan program sertifikasi guru cenderung membuat guru terjebak karena pembayarannya tidak terjadwal dan terprogram dengan baik.
Pengaruh Budaya
Sejak usia dini, kita diajarkan tentang kepribadian bangsa. Kepribadian bangsa lahir dari nilai-nilai luhur lokal, kepribadian bangsa kita sangat berbeda jauh dengan kepribadian bangsa lain. Kemudian prilaku masyarakat Indonesia memiliki karakter tersendiri, ini juga berbeda dengan karakter masyarakat negara lainnya. Melalui kepribadian dan karakter bangsa yang bersumber dari nilai-nilai lokal itulah sehingga bangsa kita mengenal asas “bhinneka tunggal ika” berbeda-beda tetapi tetap satu. Beragam nilai luhur telah memberi warna bagi kehidupan bangsa ini, nilai-nilai inilah yang mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berbudaya.
Akan tetapi keberagaman yang merupakan potensi ini menjadi luntur oleh pemikiran-pemikiran yang tidak berlandaskan kepribadian dan karakter bangsa kita. Para pemikir dan pemimpin bangsa ini cenderung terpengaruh oleh budaya luar, budaya lokal yang merupakan budaya leluhur dibuat tidak berdaya menghadapi budaya luar.
Apakah mungkin karena mereka dibesarkan oleh pendidikan barat? Sehingga pemikiran-pemikirannya lebih berorientasi pada budaya barat. Apakah mungkin karena mereka tidak memahami budaya sendiri? Sehingga hanya memandang budaya barat sebagai budaya modern dan patut untuk dianut. Apabila sebabnya adalah karena para pemimpin bangsa ini adalah produk dari pendidikan barat, dimana dalam menuntut ilmu harus bergelut dan bergaul dengan budaya barat sehingga merubah kepribadian dan karakter mereka, maka kita harus mencanangkan program “Back to Basic”. Bangsa ini wajib dikembalikan kepada para pemimpin yang lahir dari pendidikan kita sendiri. Pemimpin yang berpegang teguh pada budayanya kita sendiri.
Pengalaman telah mengajarkan kita bahwa negara yang tidak berdiri dan berpedoman pada budayanya sendiri selalu terbelakang disemua bidang. Namun sebaliknya negara yang menjunjung tinggi budayanya sendiri dapat mengantarkannya menjadi negara maju dan unggul disemua bidang. Masyarakatnya lebih kompetitif karena didorong oleh rasa nasionalisme yang tinggi yang lahir dari nilai-nilai luhur bangsanya.
Jepang, Korea, Rusia, dan sebagian besar negara-negara Eropa sangat berpegang teguh pada budayanya. Mereka adalah kelompok negara maju, Cina dan India kini menjadi negara maju oleh karena budayanya. Dibenua Afrika hanya sebagian kecil yang menjunjung tinggi budayanya, selebihnya adalah kelompok negara yang tidak memiliki budaya sendiri, akibat dari penjajahan yang berkepanjangan.
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia adalah negara yang bisa dikatakan sebagai negara berbudaya ganda, masyarakat kalangan bawah dan menengah berbudaya lokal sementara masyarakat kalangan atas berbudaya percampuran barat-lokal. Dampaknya, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak dapat berjalan maksimal ketika kebijakan tersebut mulai menyentuh level menengah ke bawah. Sebab kebijakan pemerintah pada umumnya bernafaskan budaya barat, hal ini akibat banyaknya para pemimpin bangsa ini lahir dari pendidikan barat.
Situasi di atas, baik karena kurangnya pemahaman tentang tugas utama dari para pendidik maupun karena pengaruh budaya telah melahirkan generasi-generasi yang gagal paham. Dibawah panji demokrasi, pemikiran-pemikiran yang lahir dari generasi gagal paham semakin menguat dan mulai dijadikan sebagai sebuah kebenaran walaupun secara hakiki itu adalah tindakan yang salah dan keliru, misalnya adanya sebagian kelompok yang mendukung eksistensi LGBT, sementara LGBT adalah penyakit sosial yang harus disembuhkan. Dibawah panji demokrasi pula telah lahir generasi pemimpin pembohong dan ingkar janji. Bila tidak segera disadari, kelompok generasi-generasi gagal paham akan menghancurkan negeri ini, dan kita pun tidak akan berdaya oleh penjajahan berlabel modern.
Terakhir, semoga para pemimpin segera menyadari kesalahannya, bahwa negara bisa maju dan sejahtera sebagaimana visi dan misi yang telah mereka janjikan pada saat kampaye hanya melalui bagaimana kita memutus cengkeraman generasi gagal paham. Mengembalikan pengelolaan negara kepada tangan-tangan yang memiliki prilaku berlandaskan pada karakter lokal dan menjunjung tinggi serta berpedoman pada nilai-nilai luhur kepribadian bangsa.
Belum ada tanggapan untuk "Alasan utama lahirnya generasi gagal paham"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung