Apa sebenarnya yang dimaksud dengan postmodernisme? Untuk menjawab pertanyaan ini bukanlah perkara yang mudah, bahkan merupakan sesuatu hal yang sangat rumit. Postmodernisme sulit untuk didefinisikan karena ia merupakan sebuah tema yang terkait dan dipergunakan dalam banyak bidang, seperti seni, arsitektur, musik, film, susastra, sosiologi, komunikasi, mode, teknologi, geografi dan filsafat. Bahkan karena keterkaitan dan penggunaan dalam banyak bidang ini pula ( Bertens, 1996:3) menyebut postmodernisme sebagai sebuah tema yang menjengkelkan.
Selain kesulitan dalam mendudukkan definisi postmodernisme secara tepat, kesulitan lain yang juga dijumpai adalah kesulitan dalam usaha untuk memposisikannya dalam periode waktu tertentu karena ketidakjelasan kapan postmodernisme dimulai. Menurut (Sugiarto, 1996:24) terma postmodernisme muncul untuk pertama kalinya dalam bidang seni. Terma ini dipakai oleh Federico de Onis tahun 1930-an dalam karyanya Antologia de la Poesia Espanola a Hispanoamericana. Terma ini dipergunakan untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari dalam modernisme. Lalu pada tahun 1947, Toynbee juga menggunakan terma postmodernisme dalam bukunya A Study of History.
Sementara Stanley J. Grenz dengan penjelasan yang agak berbeda menyebutkan bahwa postmodernisme baru lahir 15 juli 1972 yang ditandai dengan peledakan rumah berarsitektur modern di Pruitt-Igoe, St. Louis, Missouri. Peristiwa peledakan ini menandai kematian modernisme dan kelahiran postmodernisme. (Grenz, 1996:25).
Dalam bidang filsafat, istilah postmodernisme diperkenalkan oleh Jean Francois Lyotard dalam bukunya The Postmodern Condition: A Report on Knowledge yang dalam edisi Inggris terbit pada tahun 1984 dan sejak itu menjadi rujukan utama dalam diskusi-diskusi tentang postmodernisme di bidang filsafat saat ini.(Sugiarto, 1996:26-27) Penting untuk diketahui bahwa postmodernisme filosofis awalnya muncul sebagai bentuk respon terhadap modernisme yang dianggap telah melahirkan berbagai konsekuensi buruk bagi kehidupan manusia dan alam pada umumnya. Meski demikian, dalam perkembangannya, postmodernisme filosofis tidak merepresentasikan suatu pandangan yang seragam.
Sugiharto memaparkan bahwa keragaman bentuk postmodernisme dapat dimasukkan ke dalam tiga kategori. Meski demikian, kategori ini tidak dapat dilihat secara ketat karena hanya merupakan alat bantu untuk melihat aneka gerakan secara lebih jernih dan global.
Pertama, pemikiran-pemikiran yang berusaha merefisi kemodernan untuk kembali ke pola berpikir pramodern. Beberapa tokohnya: F. Capra,J. Lovelock, Garry Zukav, dan Prigonio.
Kedua,Pemikiran-pemikiran yang terkait erat dengan dunia sastra dan banyak berurusan dengan persoalan linguistik. Kata kunci yang populer untuk kelompok ini adalah dekonstruksi. Beberapa tokohnya misalnya Derrida, Foulcault, Vattimo, Lyotard.
Ketiga, semua pemikiran yang hendak merefisi postmodernisme, tidak dengan menolak modernisme secara total, namun dengan memperbaharui premis-premisnya saja. Kelompok ini ditokohi oleh David Ray Griffin, J. Cobb Jr., David Bohm, dan Frederick Ferre. Kelompok lain yang juga dapat dimasukkan ke dalam kategori ketiga ini adalah pemikiran-pemikiran yang disatu sisi masih melihat pentingnya gambaran dunia, bahkan metafisikanya juga, disisi lain sadar pula akan relatifitasnya akibat karakter linguistik dan historiknya. Tokoh-tokohnya antara lain adalah Heidegger, Gadamer, Ricoeur, Mary Hesse, Rorty dan Apel (Sugiarto, 1996:30-31). Satu filsuf terkenal lainnya yakni Jurgen Habermas tampaknya juga dapat dimasukkan ke dalam kategori ketiga. Meskipun secara eksplisit ia menolak postmodernisme dan hanya meneruskan proyek modernitas dan tidak, namun pandangan-pandangannya memiliki elemen-elemen postmodern yang jelas.
Menurut Habermas dalam (Hardiman, 2003:162) modernitas yang berlangsung di zamannya adalah suatu modernitas yang terdistorsi. Ada sebuah konsep normatif mengenai modernitas yang kemudian secara factual disimpangkan oleh tendensi-tendensi historis tertentu, yakni kapitalisme sehingga modernitas saat ini adalah modernitas kapitalis. Habermas ingin mempertahankan isi normative modernitas, yaitu rasionalisasi kebudayaan, masyarakat, dan kepribadian dengan rasio komunikatif. Kalau rasionalisasi berjalan sesuai dengan isi normatifnya, modernisasi akan menjamin integrasi kebudayaan, masyarakat, dan sosialisasi.
Belum ada tanggapan untuk "Apa yang dimaksud dengan Postmodernisme"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung