Menurut teori van Hiele, seseorang akan melalui lima tingkatan hierarkis pemahaman dalam belajar geometri (van Hiele, 1999:311; van de Walle, 1994: 325-326; D’Augustine dan Smith, 1992:276; Clements dan Battista, 1992:426-428; Fuys, dkk. 1988:5; Crowley, 1987:2-3; Burger & Shaughnessy, 1986b:1). Lima tingkatan tersebut adalah visualisasi, analisis, deduksi informal, deduksi, dan rigor. Setiap tingkat menunjukkan proses berpikir yang digunakan seseorang dalam belajar konsep geometri. Tingkatan-tingkatan itu menunjukkan bagaimana seseorang berpikir dan tipe ide-ide geometri apa yang dipikirkan; jadi bukan me-nunjukkan seberapa banyak pengetahuan yang dimiliki siswa.
Tingkat 0: Visualisasi
Tingkat ini sering disebut tingkat pengenalan. Pada tingkat ini siswa sudah mengenal bangun-bangun geometri, misalnya persegi, persegipanjang, segitiga, jajargenjang. Namun bentuk-bentuk geometri yang dikenal anak semata-mata didasarkan pada karakteristik visual atau penampakan bentuknya secara keselu-ruhan, bukan perbagian. Dalam mengidentifikasi bangun, mereka seringkali menggunakan prototipe visual. Sebagai contoh, mereka mengatakan bahwa ba-ngun yang diketahui adalah persegipanjang, karena seperti daun pintu. Anak belum menyadari adanya sifat-sifat dari bangun geometri.
Pada tingkat ini anak-anak sudah mengenal persegipanjang. Hal ini ditun-jukkan dengan cara dia dapat memilih persegipanjang dari kumpulan bangun geometri lainnya. Namun demikian, anak-anak tidak bisa menyebutkan sifat-sifat persegipanjang. Pada tingkat ini anak-anak belum dapat menerima sifat geometri atau memberikan karakteristik terhadap bangun-bangun yang ditunjukkan. Meski-pun suatu bangun telah ditentukan berdasarkan karakteristiknya, tetapi anak-anak pada tingkat ini belum menyadari karakteristik itu. Pada tingkat ini pemikiran anak-anak didominasi oleh persepsi belaka.
Tingkat 1: Analisis
Tingkat ini juga disebut tingkat deskripsi. Pada tingkat ini anak-anak sudah mengenal sifat-sifat bangun geometri yang didasarkan pada analisis infor-mal tentang bagian-bagian bangun dan atribut-atribut komponennya. Pada tingkat ini mulai banyak adanya analisis terhadap konsep-konsep geometri. Anak-anak dapat mengenali dan menentukan karakteristik bangun berdasarkan sifat-sifatnya. Melalui pengamatan, eksperimen, mengukur, menggambar, dan memodel, siswa dapat mengenali dan membedakan karakteristik suatu bangun. Anak-anak melihat bahwa suatu bangun mempunyai bagian-bagian tertentu yang dapat dikenali. Namun demikian anak-anak belum sepenuhnya dapat menjelaskan hubungan antara sifat yang satu dengan sifat yang lain, anak-anak sama sekali belum bisa melihat hubungan antara beberapa bangun, dan definisi abstrak belum atau tidak dapat dimengerti. Suatu contoh, anak belum bisa menyatakan bahwa persegipan-jang juga merupakan jajargenjang.
Tingkat 2: Deduksi Informal
Tingkat ini sering disebut tingkat abstraksi atau tingkat pengurutan. Pada tingkat ini anak-anak dapat melihat hubungan antar sifat-sifat dalam satu bangun. Misal, dalam belahketupat, sisi yang berhadapan sejajar mengharuskan sudut-sudut yang berhadapan sama besar. Siswa juga dapat melihat hubungan sifat diantara beberapa bangun. Suatu contoh, belahketupat adalah jajargenjang karena sifat-sifat jajargenjang juga dimiliki oleh belahketupat. Siswa dapat mengurutkan secara logis sifat-sifat bangun. Misalnya, siswa menyatakan bahwa persegi juga merupakan belah ketupat dan belah ketupat juga merupakan jajargenjang. Siswa dapat menyusun definisi dan menemukan sifat-sifat bangun melalui induktif atau deduksi informal. Definisi yang dibangun tidak hanya berbentuk deskripsi tetapi merupakan hasil dari pengaturan secara logis dari sifat-sifat konsep yang didefini-sikan. Sebagai contoh, siswa dapat menunjukkan bahwa jumlah ukuran sudut-sudut segiempat adalah 360o sebab setiap segiempat dapat didekomposisi menjadi dua segitiga yang masing-masing sudutnya 180o, tetapi mereka tidak dapat menje-laskan secara deduktif.
Tingkat 3: Deduksi
Pada tingkat ini berpikir deduksi siswa sudah mulai berkembang dan penalaran deduksi sebagai cara untuk membangun struktur geometri dalam sistem aksiomatik telah dipahami. Hal ini telah ditunjukkan siswa dengan membuktikan suatu pernyataan tentang geometri dengan menggunakan alasan yang logis dan deduktif. Suatu contoh, siswa telah mampu menyusun bukti jika sisi-sisi berha-dapan suatu segiempat saling sejajar maka sudut-sudut yang berhadapan sama besar. Struktur deduktif aksiomatik yang lengkap dengan pengertian pangkal, postulat/aksioma, definisi, teorema, dan akibat yang secara implisit ada pada tingkat deduksi informal, menjadi objek yang eksplisit dalam pemikiran anak pada tingkat ini. Siswa telah mampu mengembangkan bukti lebih dari satu cara. Timbal balik antara syarat perlu dan syarat cukup dipahami. Perbedaan antara pernyataan dan konversnya dapat dimengerti siswa.
Tingkat 4: Rigor
Pada tingkat ini siswa dapat bekerja dalam berbagai struktur deduksi aksiomatik. Siswa dapat menemukan perbedaan antara dua struktur. Siswa mema-hami perbedaan antara geometri Euclides dan geometri non-Euclides. Siswa me-mahami aksioma-aksioma yang mendasari terbentuknya geometri non-Euclides.
Karakteristik Teori van Hiele
Teori van Hiele memiliki beberapa karakteristik (van de Walle, 1994:326-327; Clements dan Battista, 1992:426-427; Crowley, 1987:4) sebagai berikut.
1) Belajar adalah proses yang tidak kontinu. Ini berarti terdapat loncatan dalam kurva belajar yang memperlihatkan adanya celah yang secara kualitatif mem-bedakan tingkatan berpikir. Siswa yang telah mencapai suatu tingkat akan tetap pada tingkat tersebut untuk suatu waktu dan seolah-olah menjadi matang. Dengan demikian tidak akan banyak berarti apabila memberikan sajian kegi-atan yang lebih tinggi dari tingkat yang dimiliki anak (Fuys, dkk.,1988:5).
2) Tingkatan van Hiele bersifat hierarkis dan sekuensial. Bagi siswa, untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi dia harus menguasai sebagian besar tingkat sebelumnya. Kecepatan untuk berpindah dari suatu tingkat ke tingkat yang lebih tinggi lebih banyak bergantung pada isi dan metode pembelajaran diban-dingkan umur atau kematangan biologisnya (van Hiele, 1999:311). Hal ini agak berbeda dengan pendapat Piaget (1983), bahwa kematangan biologis merupakan faktor penting dalam peningkatan tingkat berpikir. Pendapat van Hiele tersebut didukung oleh temuan Clements, dkk. (1999:207), yaitu penga-laman geometri merupakan faktor utama yang mempengaruhi peningkatan tingkat berpikir. Aktivitas-aktivitas yang memungkinkan anak mengeksplo-rasi, berbicara dan berinteraksi dengan materi pada tingkat berikutnya meru-pakan kesempatan terbaik untuk meningkatkan tingkatan berpikir anak.
3) Konsep yang secara implisit dipahami pada suatu tingkat menjadi eksplisit pada tingkat berikutnya. Misalnya pada tingkat visualisasi siswa mengenal bangun berdasarkan sifat bangun utuh, tetapi pada tingkat analisis bangun tersebut dianalisis sehingga sifat-sifat serta komponennya ditemukan.
4) Setiap tingkatan mempunyai simbol bahasa sendiri-sendiri dan sistem yang mengaitkan simbol-simbol itu. Siswa tidak mudah mengerti penjelasan guru-nya apabila guru berbicara pada tingkat yang lebih tinggi dari tingkat siswa (Fuys, dkk., 1988:6). Misalnya, pada level visualisasi objek yang dipikirkan siswa adalah bangun individual. Pada level analisis objek yang dipikirkan siswa adalah kelas bangun. Pada level deduksi informal objek yang dipikirkan siswa adalah definisi kelas bangun. Struktur yang dipikirkan siswa pada level visualisasi adalah pengenalan, penamaan, dan pemilihan bangun secara visual. Struktur yang dipikirkan siswa pada level analisis adalah pengenalan sifat-sifat bangun sebagai karakteristik kelas bangun. Struktur yang dipikirkan siswa pada level deduksi informal adalah perumusan hubungan antar sifat yang logis. Hal ini mungkin akan memunculkan suatu masalah apabila tingkat sajian kegiatan bahan pembelajaran tidak sesuai dengan tingkat berpikir siswa yang menggunakan.
Deskriptor Tingkatan van Hiele
Fuys, dkk. (1988:56-77) mengembangkan deskriptor tingkatan van Hiele dan contoh respons siswa untuk tingkat 0 (visualisasi) sampai dengan tingkat 4 (rigor). Untuk kepentingan penelitian ini, peneliti mengadopsi deskriptor tingkat-an van Hiele.
Tingkat 0: Visualisasi
Siswa mengidentifikasi dan mengoperasikan bangun (misalnya persegi, segitiga) dan konfigurasi geometri lainnya (misalnya garis, sudut, kisi-kisi) sesuai dengan penampakannya.
1) Siswa mengidentifikasi bangun berdasarkan penampakannya secara utuh dalam: a. gambar sederhana, diagram, atau seperangkat guntingan; b. posisi yang berbeda; c. bentuk dan konfigurasi lain yang lebih kompleks.
2) Siswa melukis, menggambar, atau menjiplak bangun.
3) Siswa memberi nama atau memberi label bangun dan konfigurasi geometri lainnya dan menggunakan nama dan label yang sesuai secara baku atau tidak baku yang sesuai.
4) Siswa membandingkan dan mensortir bangun berdasarkan penampakan ben-tuknya yang utuh.
5) Secara verbal siswa mendeskripsikan bangun dengan penampakannya secara utuh.
6) Siswa menyelesaikan soal rutin dengan mengoperasikan (menerapkan) pada bangun dengan tidak menggunakan sifat-sifat yang diterapkan secara umum.
7) Siswa mengidentifikasi bagian-bagian bangun, tetapi: a. tidak menganalisis bangun dalam istilah bagian-bagiannya; b. tidak berpikir tentang sifat-sifat sebagai karakteristik kelas bangun; c. tidak membuat generalisasi tentang bangun atau menggunakan bahasa yang relevan .
Tingkat 1: Analisis
Siswa menganalisis bangun-bangun berdasarkan komponen-komponen-nya dan hubungan antar komponen, menentukan sifat-sifat dari kelas bangun secara empiris, dan menggunakan sifat-sifat untuk menyelesaikan masalah.
1) Siswa mengidentifikasi dan menguji hubungan-hubungan antara komponen-komponen suatu bangun (misalnya, kongruensi sisi-sisi berhadapan maka jajar genjang; kongruensi sudut dalam pola pengukuran).
2) Siswa mengingat dan menggunakan perbendaharaan yang sesuai untuk kom-ponen dari hubungan-hubungan (misalnya sisi berhadapan, sudut yang berse-suaian adalah kongruen, diagonal saling berpotongan ditengah).
3) a. Siswa membandingkan dua bangun sesuai dengan hubungan antara kompo-nen-komponennya. b. Siswa menyortir bangun dalam cara-cara berbeda sesuai dengan sifat-sifat tertentu, termasuk mensortir semua contoh kelas dan bukan contoh.
4) a. Siswa menginterpretasikan dan menggunakan deskripsi verbal tentang bangun dalam istilah sifat-sifatnya dan menggunakan deskripsi itu untuk menggambarkan atau melukis bangun. b. Siswa menginterpretasikan pernyataan verbal atau simbolik tentang aturan-aturan dan menerapkannya.
5) Siswa menemukan sifat-sifat bangun tertentu secara empiris dan menggene-ralisasikan sifat kelas bangun tersebut.
6) a. Siswa mendeskripsikan kelas bangun (misalnya jajargenjang) dalam istilah sifatnya. b. Siswa mengatakan apakah nama bentuk sebuah bangun, jika diberikan sifat-sifat tertentu.
7) Siswa mengidentifikasi sifat-sifat bangun dan digunakan untuk mengarakteri-sasi suatu kelas bangun. Karakterisasi kelas bangun tersebut digunakan untuk membandingkan kelas-kelas bangun yang lain.
8) Siswa menemukan sifat-sifat kelas bangun yang tidak biasa dikenal.
9) Siswa menyelesaikan soal geometri dengan menggunakan sifat-sifat bangun yang sudah diketahui atau dengan pendekatan penuh pemahaman.
10) Siswa memformulasikan dan menggunakan generalisasi tentang sifat-sifat bangun (dipandu oleh guru atau material atau secara spontan) dan mengguna-kan bahasa yang sesuai (misalnya semua, setiap, tidak satupun), tetapi: a. tidak menjelaskan bagaimana sifat-sifat tertentu sebuah bangun adalah berkaitan; b. tidak memformulasikan dan menggunakan definisi formal; c. tidak menjelaskan hubungan subkelas tanpa mengecek contoh-contoh khu-sus yang bertentangan dengan daftar sifat-sifat yang ditentukan; d. tidak melihat perlunya bukti atau penjelasan logis dari generalisasi yang ditemukan secara empiris dan tidak menggunakan bahasa yang sesuai (mi-salnya: jika-maka, sebab) secara benar.
Tingkat 2: Deduksi Informal
Siswa memformulasikan dan menggunakan definisi, memberikan argumen informal dan menyusun urut sifat yang diberikan sebelumnya, serta mengikuti argumen deduktif.
1) a. Siswa mengidentifikasi himpunan sifat-sifat bangun yang berbeda-beda dan digunakan untuk mengarakterisasi kelas bangun dan menguji bahwa karakteristik kelas bangun tersebut adalah sudah cukup. b. Siswa mengidentifikasi himpunan sifat-sifat yang minimum dan dapat digunakan untuk mengarakterisasi bangun.c. Siswa merumuskan dan menggunakan definisi untuk kelas bangun.
2) Siswa memberikan argumen informal (menggunakan diagram, bangun po-tongan yang dapat dilipat atau meterial lainnya). a. Menggambarkan suatu kesimpulan dari informasi yang diberikan, penarik-an kesimpulan menggunakan logika hubungan bangun. b. Mengurutkan kelas suatu bangun.
c. Mengurutkan dua sifat. d. Menemukan sifat baru dengan deduksi. e. Mengaitkan beberapa sifat dalam pohon keluarga.
3) Siswa memberikan lebih dari satu penjelasan untuk membuktikan sesuatu dan membatasi penjelasan tersebut dengan menggunakan pohon keluarga.
4) Secara informal siswa menegaskan perbedaan antara pernyataan dan konvers-nya.
5) Siswa mengidentifikasi dan menggunakan strategi atau penalaran bermakna untuk menyelesaikan masalah.
6) Siswa menegaskan peran dari argumen deduktif dan pendekatan masalah dalam arti deduktif, tetapi: a. tidak mendasarkan arti deduksi aksiomatik sebenarnya (misalnya, tidak melihat perlunya definisi dan asumsi dasar); b. tidak membedakan secara formal antara pernyataan dan konversnya; c. belum bisa membangun antar hubungan antara jaringan teorema.
Tingkat 3: Deduksi
Siswa menetukan suatu sistem aksioma, teorema dan hubungan antara jaringan teorema.
1) Siswa mengakui perlunya unsur-unsur pangkal (undefined terms), postulat, dan definisi.
2) Siswa mengenal karakteristik suatu definisi formal (misalnya, syarat perlu dan cukup) dan ekivalensi definisi.
3) Siswa membuktikan dalam struktur aksiomatik secara formal hubungan yang telah dijelaskan pada tingkat 2.
4) Siswa membuktikan hubungan diantara teorema dan pernyataan yang terkait (misalnya, konvers, invers, kontrapositif).
5) Siswa membangun keterhubungan antara jaringan teorema.
6) Siswa membandingkan dan mengkontraskan perbedaan bukti teorema.
7) Siswa menguji efek perubahan definisi awal atau postulat dalam urutan logis.
8) Siswa membangun suatu prinsip umum yang mencakup beberapa teorema yang berbeda.
9) Siswa mengkreasikan bukti dari kumpulan aksioma sederhana yang sering menggunakan model untuk mendukung argumen.
10) Siswa memberikan argumen deduktif formal tetapi tidak menginvestigasi aksioma itu sendiri atau membandingkan sistem aksiomatik.
Tingkat 4: Rigor
Siswa secara ketat membangun teorema dalam sistem aksioma yang berbeda dan menganalisis atau membandingkan antara sistem tersebut.
1) Siswa secara ketat membangun teorema dalam sistem aksiomatik yang berbeda.
2) Siswa membandingkan sistem aksiomatik (misal, geometri Euclides dan non-Euclides); secara spontan menggali bagaimana mengubah aksioma dalam mempengaruhi hasil geometri.
3) Siswa membangun secara konsisten kumpulan aksioma, kebebasan suatu aksioma, dan ekivalensi perbedaan kumpulan aksioma; mengreasikan suatu sistem aksiomatik untuk suatu geometri.
4) Siswa menemukan metode umum untuk menyelesaikan kelas-kelas masa-lah.
5) Siswa mencari konteks yang lebih luas untuk teorema/prinsip matematika akan diaplikasikan.
6) Siswa melakukan studi yang lebih dalam dari logika untuk mengembang-kan pengertian baru dan pendekatan untuk inferensi logis.
Belum ada tanggapan untuk "Teori Van Hiele"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung