Pertemuan antara Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva dengan komisioner Komisi Yudisial pada Selasa (12/11) sore telah membuka mata kita bahwa ternyata selama ini MK belum memiliki kode etik. Padahal Kode Etik sangat diperlukan agar setiap pegawai atau yang dibebankan tugas dapat melaksanakan tanggung jawabnya sesuai dengan butir-butir yang dijabarkan dalam kode etik tersebut.
Dalam pertemuan tersebut, MK dan KY membahas mengenai pelaksanaan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi, khususnya terkait pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstusi. Dalam jumpa pers yang dihelat usai pertemuan, Wakil Ketua MK Arief Hidayat menjelaskan MK mengakui Perpu Nomor 1 Tahun 2013 sebagai sumber hukum positif. “Perpu Nomor 1 Tahun 2013 diakui sebagai hukum positif yang harus ditindaklanjuti antara MK dan KY,” jelasnya.
Diketahuinya bahwa MK tidak memiliki kode etik adalah bersumber dari pemaparan Arief dalam jumpa pers “Nantinya MK dan KY akan menyusun kode etik dan berupaya agar kode etik tersebut dijaga,” urainya.
Untunglah KPK mampu mengungkap kasus suap yang melibatkan mantan Ketua MK Akil Muchtar, jika tidak ada kasus tersebut kemungkinan besar MK akan terus berjalan dengan kewenangannya yang sangat besar. Keistimewaan MK yang bertugas menguji Undang-Undang dan peraturan lainnya membuat lembaga ini tidak tersentuh oleh kekuatan manapun. Begitu berkuasanya MK sehingga setiap aturan yang membatasi gerak MK dianulir dengan berbagai alasan.
Kasus suap mantan ketua MK membuat MK belajar dari kesalahan. Kelemahan yang selama ini seperti tidak adanya kode etik hakim konstitusi mulai dibenahi. Pertemuan antara KY dan MK melahirkan kesepakatan yakni pembentukan Dewan Etik oleh MK di luar Perpu Nomor 1 Tahun 2013, Dewan Etik dibentuk karena ada kekosongan pengawasan hakim konstitusi selama pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi belum terbentuk. “Dalam perpu dikatakan pembentukan Majelis Kehormatan dibatasi sampai 3 bulan. Dalam kurun waktu tersebut, MK berinisiatif membentuk Dewan Etik untuk mengawasi hakim konstitusi dari dalam,” kata Arif.
Arief memaparkan pembentukan dewan etik tersebut didasarkan oleh PMK Nomor 2/2013 dengan dasar pemikiran untuk mengisi kekosongan pengawas selama Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi sesuai perpu belum terbentuk. “Jika Majelis Kehormatan sudah terbentuk, nantinya atas kesepakatan bersama Dewan Etik ini bisa dihilangkan atau tetap dipertahankan untuk ‘mendampingi’ kinerja Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi,” paparnya.
Hal ini dibenarkan oleh Komisioner KY Taufiqqurahman Syahuri turut dalam jumpa pers. Menurut Taufiq, MK dan KY setuju untuk membentuk tim kecil guna menindaklanjuti pembentukan bersama Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi. “MK dan KY akan membentuk tim yang membahas peraturan bersama sampai selesai. Tidak ada masalah lagi. Bahan-bahan dari MK dan KY sudah ada dan tinggal dikolaborasikan,” tandasnya.
Semoga pelajaran yang berharga atas kasus yang menimpa mantan ketua MK menjadi awal berbenahnya semua lambaga negara sehingga tidak ada lagi kasus-kasus yang menimpa para ketua lembaga negara yang mengakibatkan hancurnya legalitas dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara.
Belum ada tanggapan untuk "Inilah Masalah Utama Mahkamah Konstitusi"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung