Sewaktu saya duduk di tepi pantai, menikmati kopi milik seorang ibu paruh baya dengan ditemani pisang goreng, secara jujur kuakui rasanya tidaklah terlalu nikmat mungkin karena olahannya tidak seahli para koki restoran atau hotel, telah merusak kekaguman saya pada ciptaan Tuhan. Namun karena berasal dari olahan tangan seorang ibu yang berjuang ingin memberi nafkah pada anak dan cucunya maka semuanya berubah menjadi nikmat, membawa saya melamun jauh ke kampung halaman, hadirlah bayangan sesosok ibu yang paling kusayangi, tersenyum melalui hamparan awan berlatarkan langit biru, hembusan nafasnya menyatu dengan angin laut sore itu, beliau menyapaku bersama deru ombak yang tiada henti memberiku semangat hidup agar esok kelak saya harus menjadi sukses seperti mimpi yang selalu diceritakan oleh ibuku. Tampaknya sore itu saya sedang rindu dengan kehadiran ibu disisiku.
Pada saat itu, saya tidak sendiri. Didekatku ada seorang gadis, umurnya kira-kira seusia SMA, wajahnya cantik, badannya ideal menurut pandanganku, pakainnya sederhana dan tidak berlebihan. Belumlah selesai kekagumanku padanya, muncul tanda tanya dalam hati setelah melihat matanya tampak basah, seakan sedang menanggung beban yang sangat berat. Mungkinkah dia sedang sakit hati karena ditinggal kekasihnya? Dalam pikiranku menarik untuk membantunya, apakah dia mau saya ajak cerita? Apakah saya mampu menemukan solusinya? Kalau masalahnya adalah karena sakit hati sama kekasihnya, saya bisa jamin solusinya. Pertama beri nasehat, kedua mencalonkan diri sebagai kekasinya.
Dengan penuh percaya diri, saya melangkah mendekatinya. Tetapi sebelumnya saya memastikan pakaian, gaya rambut, dan nada bicara dipersiapkan terlebih dahulu agar tampak menarik didepannya. Maklumlah ada misi rahasia yang harus dituntaskan, memanfaatkan kelengahan yang dihadapinya. Inilah gaya saya pada saat berhadapan dengan gadis, sopan, santun, tersenyum, percaya diri, dan selalu memujinya. Pendakian saya menuju puncak harapan seakan tanpa hambatan, dia sangat respon dengan kehadiran saya, prosesnya berjalan relatif singkat karena kami cepat akrab, saling canda dan bertukar informasi. Dari gaya bicaranya, dia merupakan seorang yang penuh tanggung jawab, luas wawasannya, dan terlebih lagi dia menggambarkan seorang yang bersahaja.
Ketika suasana dan situasi sudah mulai menunjukkan hubungan ibarat seorang sahabat karib, maka saya mencoba menanyakan ada apakah gerangan sehingga sewaktu saya perhatikan dari kejauhan tadi matanya tampak basah seakan sedang menanggung beban berat. Wajahnya mulai berubah, mungkinkah dia marah padaku? Merasa jengkel karena mencoba memasuki wilayah pribadinya? Sementara kami baru saling kenal?. Saya segera menyadari perubahan itu, dan mencoba meminta maaf karena telah lancang padanya. Dalam hati kayaknya pertemuan kali ini gagal memperoleh informasi penting sebagai langkah atau pintu untuk memasuki hatinya.
Akan tetapi tanggapannya tidaklah seperti yang saya kira, dia meminta saya untuk menjamin rahasianya tidak disebarkan kepada teman-temannya. Dengan semangat 45’ saya langsung menjaminnya dan berjanji tidak akan menyebarkannya kepada teman-temannya. Lagipula saya tidak kenal teman-temannya jadi tidak ada beban untuk memberi jaminan padanya. Sambil bercerita, matanya mulai berkaca-kaca, ternyata masalah yang dihadapinya tidak seperti yang saya duga sebelumnya, masalahnya justru membuat saya semakin bersyukur kepada Tuhan karena keluarga saya tidak seperti yang diceritakannya. Niat untuk menjadi kekasihnya berubah menjadi hubungan seorang kakak kepada adiknya. Saya merasa terharu, iba, berdosa dan bersalah karena telah memandangnya sebagai perempuan yang gampang diajak untuk dijadikan kekasihku.
Cerita berikut sengaja tidak menyebut nama dan tempat agar tidak menyakiti hati gadis yang telah mempercayai saya walaupun baru dikenalnya. Uraiannya pun tidak seruntut yang diceritakannya karena saya bukanlah orang yang mudah mengingat sesuatu dan bukan pula seorang pujangga yang mampu merangkai kata demi kata sehingga mampu memancing emosi pembaca, sebelum saya menulisnya disini, saya meminta ijin terlebih dahulu. Dia memberikanku catatan supaya tidak menyebut nama dan tempat serta berikan alamat webnya sehingga dia bisa membacanya, semoga ada solusi dari teman-teman pembaca yang bisa dia jadikan pelajaran buat perbaikan.
Tolong jangan disebarkan sama teman-temanku yah!, karena sebenarnya saya malu menceritakannya, namun karena saya merasa bahwa kakak memiliki kepribadian yang sangat baik walaupun baru saya kenal. Tidak mudah menemukan orang yang berkata jujur, namun kakak telah menjelaskan latar belakang kakak dengan jujur, sebagai bukti ada seorang teman kakak yang sangat saya hormati sebab dia tidak sembarang berteman, justru dia bisa akrab dengan kakak. Artinya kakak juga termasuk orang yang memiliki prilaku tidak jauh beda dengannya. Makanya saya sangat percaya pada kakak, Namun demikian saya juga pasrah kalau sekiranya kakak nanti membuka masalah ini kepada orang-orang yang saya kenal.
Kak, saya lahir dari keluarga yang sederhana. Kedua orang tuaku menjual di pasar, mereka menjual sayur-sayuran. Pendapatannya sangat pas-pasan, untuk menutupi biaya hidup saja, saya harus membantunya dengan jalan mencuci pakaian tetangga. Kami bersaudara empat orang, kakak saya perempuan, dia cacat, dia tidak bisa jalan karena kakinya lumpuh sejak lahir, saya selalu melayaninya. Adik saya juga perempuan, dia juga cacat, namun dia masih bisa jalan sehingga seringkali membantu saya menyelesaikan pekerjaan rumah, akan tetapi kini dia sudah tiada, dia sudah meninggalkan kami untuk selamanya. Adik saya yang paling bungsu laki-laki, dia sering keluar rumah dan pulangnya selalu malam, kini sudah putus sekolah, umurnya masih SD.
Praktis pekerjaan rumah menjadi tanggung jawab saya karena kedua orang tua saya pada waktu siang, dihabiskan dipasar. Dirumah, saya harus melayani kakak saya yang cacat, membersihkan rumah, halaman, dapur dan sebagainya. Saya juga harus memastikan makanan selalu tersedia karena adik saya selalu marah-marah kalau tidak menemukan makanan, kemarahannya selalu ditujukan kepada saya. Pada waktu tidak ada lagi pekerjaan, saya harus belajar agar sekolahku tidak putus dan bisa meraih yang saya cita-citakan.
Kak, dirumah saya juga selalu menjadi sasaran kemarahan ibuku, setiap hari saya selalu dipukul dengan apa saja, badanku terasa sakit-sakitan akibat benturan benda yang mengenai tubuhku, bahkan dia tidak segan-segan mengancam saya dengan parang. Saya tidak pernah tahu apa kesalahan saya sehingga ibu selalu marah padaku. Setahuku, pekerjaan rumah sudah saya selesaikan, makanan selalu tersedia. Ayahku seakan tidak punya daya untuk melindungi saya. Mereka seringkali bertengkar, masalahnya kebanyakan karena ayah membela saya, saya sangat kasihan pada ayah. Sejujurnya, setiap hari saya selalu merasa terancam bukan dari orang lain tetapi dari ibuku sendiri, andaikan saya bukan anaknya niscaya saya sudah lari dari rumah itu.
Penderitaanku, penganiayaan yang selalu saya terima dari ibu telah membuat para tetangga sangat kasihan dengan saya, hal itu pula telah didengar oleh paman dan bibiku. Mereka menyarankan saya untuk tinggal bersamanya namun karena saya selalu berpikir siapa yang akan merawat kakak saya dan menyiapkan makan buat adik saya walaupun dia nakal dan seringkali marah padaku? Dan yang paling istimewa adalah bagaimana makanan ayah setelah saya meninggalkan rumah? Ibu saya tidak mungkin karena siang dipasar dan malamnya entah kemana, adapun sisi kehidupan ibu dimalam hari nanti saya jelaskan juga disini.
Mungkin orang lain termasuk teman-temanku memandang saya sebagai orang ceria, itu sengaja saya lakukan agar apa yang terjadi padaku, apa yang dilakukan oleh ibu padaku tidak sampai tercium oleh mereka. Saya tidak ingin ibu terhakimi oleh prilakunya sendiri, saya tidak ingin keadaanku menimbulkan fitnah sehingga kedua orang tuaku dijauhi oleh orang lain, dibenci bahkan dimusuhi karena rasa iba terhadapku. Tidak pernah saya cerita seperti ini pada orang lain, selama ini saya selalu memendamnya, sehingga kadangkala timbul rasa dendam dari dalam diriku, saya benci ibuku, saya marah pada ibuku, saya ingin jauh dari ibu yang telah melahirkanku, saya iri dengan kalian semua yang memiliki ibu yang sangat sayang dengan kalian, saya ingin merasakan pelukan hangatnya, pelukan sayangnya, pelukan cintanya terhadap anaknya seperti yang kalian rasakan. Akan tetapi inilah jalan hidupku, pukulan ibu yang menggunakan kayu dan benda apa saja itulah pelukan ibu terhadapku. Makian dan cacian yang keluar dari mulut ibu itulah pujian ibu terhadapku.
Kak, saya dendam pada ibu, saya ingin membuang ibu dari hidupku, saya ingin lari dari kehidupan ini. Begitu sakitnya hati ini, sehingga seringkali saya merasa mual, leherku tegang dan kepalaku sakit. Hampir setiap saat lambungku terasa sakit, penyakit ini telah membuat saya jarang ke sekolah, sudah beberapa kali guru BK dan wali kelas datang di rumah ini, ingin bertemu kedua orang tuaku tetapi tidak pernah kesampaian, ke pasar tidak pernah dilayani, syukurlah mereka mau memahami keadaanku. Mereka selalu memberi saya semangat, atas kebijaksanaan merekalah sehingga saya tidak sampai dikeluarkan dari sekolah.
Ayah sangat perhatian padaku, dia selalu ingin mendengar kata hatiku namun saya selalu menyebunyikannya, saya tidak ingin ayah terbebani pikirannya, saya ingin ayah bahagia, saya ingin ayah tidak merasa tertekan karena penderitaanku, saya tidak ingin ayah tahu lebih jauh bagaimana ibu memperlakukan saya ketika ayah tidak ada di rumah.
Suatu ketika, ayah menyuruh saya mencari ibu, ayah ingin tahu ibu sedang mengerjakan apa pada malam itu. Maka sayapun keluar rumah, bertanya pada tetangga. Tiba pada rumah tertentu, saya mengintip ibu dari jauh, saya takut ketahuan ibu, saya takut ibu sangat marah karena saya mengintip aktivitas ibu dimalam hari. Saya tidak percaya dengan pemandangan didepan mataku, ibu sedang bermain judi, jari tangannya menjepit sebatang rokok, didepannya terdapat segelas minuman keras disamping botol minuman dengan merek terkenal bagi para pemabuk.
Kak, saya sangat kaget, beginikah kehidupan ibu selama ini? main judi, mabuk dan merokok. Didepan ayah, saya jadi bingung, tidak bercerita sebenarnya berarti saya telah berbohong pada ayah, berkata jujur membuat saya takut jangan sampai ayah menjadi sedih dan tertekan jiwanya. Kutimang-timang pilihannya, akhirnya saya sampaikan dengan jujur. Saya yakin ayah telah mengetahui semuanya, mungkin ingin menguji kejujuran saya atau sekedar ingin menunjukkan bahwa inilah ibumu yang sebenarnya.
Kak, kalian menganggap ibu sebagai pelindung yang baik, kalian dididik dan dibina dengan kasih sayang, ibu kalian selalu ada disaat suka dan duka, ibu kalian menjadi penghibur saat hati kalian sedang galau, ketika tertekan dari segala beban hidup selalu ada ibu disamping kalian, ibu kalian menjadi tempat pelarian kalau sedang ada masalah, namun bagaimana dengan ibuku? Ibuku bukanlah orang yang baik, menurut para tetangga, ibu seringkali mabuk-mabukan dengan preman-preman lorong di sekitar tempat tinggal kami, ibu sering berjudi dengan ibu-ibu lain yang juga tidak jelas rumah tangganya, kadangkala mereka mempertontonkan perbuatan yang tidak pantas dilakukan oleh orang yang sudah menikah. Mungkin inilah yang membuat ayah mengidap penyakit yang sama dengan saya, penyakit lambung akut. Rasa sakit hatinya telah mempengaruhi kondisi tubuhnya selama ini, ayah bertahan dengan ibu hanya karena demi kami anaknya.
Kak, pernah suatu waktu saya bertengkar dengan ibu, saking emosinya saya sehingga tidak bisa mengendalikan diriku. Saya sempat mengatakan “kalau saya berhasil nanti, jangan pernah datang padaku, kamu bukan ibuku, ibuku orang baik, ibuku orang yang sayang padaku, walaupun kamu sujud dan menangis didepanku saya tidak akan memaafkanmu!”. Kalimat itu yang kusesali sekarang, Ya Tuhan dia adalah ibuku, apapun prilakunya dia tetap ibuku, saya akan terus menunggunya sampai dia memelukku dengan cintanya padaku, Ya Allah ampunilah dosa hambamu ini yang telah menyakiti hati ibunya. Saya ingin meminta maaf padanya, tetapi selalu tidak dapat saya lakukan karena ibu selalu marah padaku, kami tidak pernah bersapa dan bercanda seperti kalian dengan ibu kalian, ibu tidak pernah sekedar tanya kabarku, kalau saya sakit selalu dimarahi karena dianggapnya saya manja.
Kak, bayangkanlah sejak saya SD, sudah mendapatkan perlakuan demikian, badanku seringkali terasa perih karena memar, sakit lambungku seringkali kambuh, sudah beberapa kali kepalaku dibentur di dinding rumah, sudah beberapa kali pula saya dikejar dengan parang atau linggis sementara adikku tidak pernah diperlakukan seperti demikian, adikku menjadi kabanggannya padahal karenanya kini adikku jauh dari prilaku yang baik, dia telah mengenal minuman keras, dia telah mengenal judi, dia juga telah meresahkan para tetangga karena buruknya prilakunya. Syukurlah para tetangga selalu menyelamatkan saya, menyembunyikan saya dirumahnya sampai ibu mulai tenang barulah saya diijinkan pulang kerumah.
Kak, tidak jauh dari rumah ada mesjid, setiap azan berkumandang hatiku terasa ringan kembali, suara azan dan lantunan ayat sucilah yang menjadi pengobatku selama ini, semua beban seakan runtuh setelah mendengar alunan azan dari mesjid, ketika saya menundukkan kepala, bersujud dihadapan Allah SWT, seakan saya tidak ingin kembali ke rumah, saya ingin menghadapkan wajahku ini selamanya kepada sang khalik, Allah SWT. Saya membayangkan betapa bahagianya adikku, setelah bertemu denganNya. Akan tetapi disisi lain saya juga merasa masih ingin berbakti kepada kedua orang tuaku termasuk ibu yang selalu berbuat aniaya terhadapku. Saya ingin kelak bisa membahagiakan keduanya.
Kak, saya selalu ke tempat ini, saya selalu melarikan diri ditempat ini kalau ada teman sekolah ingin ke rumahku, saya merasa belum waktunya mereka ke rumahku. Saya tidak ingin mereka tahu bagaimana keadaan kedua orang tuaku, saya takut jangan sampai ibuku marah didepan teman-temanku, saya takut jangan sampai kedua orang tuaku bertengkar didepan teman-temanku. Maka dengan jalan saya menyediri disinilah, semuanya bisa saya sembunyikan dari pandangan teman-temanku.
Kak, yang paling kutakutkan adalah saya tidak ingin berakhir seperti sinetron, ibu sadar kalau saya sudah sekarat, saya belum siap meninggalkan mereka karena saya belum menunjukkan baktiku padanya, saya juga belum siap karena belum sekalipun sejak saya merasakan sekolah mendapatkan pelukan dari ibu. Saya belum siap berpisah dengan mereka. Saya masih mengharapkan kebahagiaan seperti yang kalian rasakan bersama ibu kalian.
Kak, kalau kakak sudi tolong ceritakan padaku bagaimana rasanya kasih sayang ibumu padamu, agar saya bisa tahu kasih sayang yang sebenarnya dari seorang ibu, bagaimana rasanya pelukan ibumu agar saya juga bisa merasakan pelukan seorang ibu yang sebenarnya, bagaimana rasanya senyum ibu padamu agar saya juga bisa merasakan senyuman seorang ibu. Saya yakin kebaikanmu lahir dari tangan halus ibumu. Kakak sebelum saya mendengar ceritamu, ijinkanlah saya menitip sesuatu untuk kakak ingat selalu dan bagikanlah kepada mereka-mereka yang engkau temani, selagi ibumu ada, selagi ibumu sangat sayang padamu, selagi ibumu sangat perhatian dan cinta padamu, selagi ibumu masih ada disisimu, selagi ibumu belum dipanggil oleh Allah SWT, berikanlah pengabdian dan baktimu sepenuh hatimu, jangan sampai engkau kehilangan dirinya sebelum engkau berbakti padanya.
Kak, maafkan saya kalau saya telah lancang pada kakak, semua ini karena saya sangat menderita dan iri melihat kedamaian orang lain bersama kedua orang tuanya. Sekarang giliranmu untuk menceritakannya. Saya sangat mengharapkannya, jangan kakak menambah atau mengurangi karena saya sangat mengharapkan cerita kasih sayang ibu yang sebenarnya yang lahir dari pengakuan anaknya terhadap ibunya. Saya sangat mengharapkan cerita kakak dengan jujur karena itu dapat mengobati kerinduan saya pada sosok ibu yang sebenarnya.
Belum ada tanggapan untuk "Inilah curhat anak yang selalu dianiaya oleh ibunya"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung