Hanya untuk membahas UU Pilkada, DPR RI harus menghabiskan waktu hampir 20 jam lamanya itupun yang diperdebatkan hanya satu pasal dari sekian pasal yang terdapat di dalam UU Pilkada. Dua kekuatan politik besar saling berhadapan yakni PDIP yang didukung oleh partai koalisinya seperti Hanura dan PKB berhadapan dengan koalisi Merah Putih yang didukung oleh partai-partai seperti Golkar, Gerindra, PAN, PKS dan PPP. Kedua kelompok ini masing-masing mengatasnamakan rakyat Indonesia, lantas siapakah yang benar-benar berjuang untu rakyat?
Yang diperdebatkan pada sidang UU Pilkada adalah apakah pemimpin daerah seperti gubernur dan bupati/walikota dipilih melalui DPRD atau secara langsung. Keduanya sebenarnya sama-sama demi rakyat, tetapi melihat respon para anggota dewan yang terlibat membahas UU Pilkada memunculkan pertanyaan yakni apakah mereka benar-benar untuk rakyat atau hanya sandiwara atau untuk tujuan kelompoknya.
Akhir drama pembahasan UU Pilkada adalah Pilkada dilaksanakan melalui DPRD, artinya gubernur, bupati dan walikota dipilih melalui DPRD. Akan tetapi oleh sebagian orang justru memperdebatkan kelanjutan UU Pilkada, menurut mereka UU Pilkada memasung hak konstitusi dan kedaulatan rakyat, apakah dengan pemilihan kepala daerah melalui DPRD telah memasung hak konstitusi dan kedaulatan rakyat? kalau memang demikian, apakah yang mempermasalahkan UU Pilkada juga sudah menghargai demokrasi?
Kita tahu bahwa semua partai politik merupakan tulang punggung demokrasi terlibat dalam pembahasan UU Pilkada, sila ke empat dari Pancasila menitik beratkan pada musyawarah mufakat. Ketika tidak terdapat kata mufakat maka biasanya dilakukan dengan voting, apapun hasilnya akan menjadi keputusan bersama yang harus di taati oleh semua orang yang terlibat didalamnya, itulah demokrasi Pancasila. Seandainya semua orang mengaku berasaskan Pancasila, maka marilah kita hargai keputusan DPR RI tentang UU Pilkada dan UU lainnya yang mungkin tidak sesuai dengan hati nurani kita, karena Indonesia tidak dibangun oleh orang per orang tetapi dibangun dengan kebersamaan.
Adanya beberapa elemen yang sampai dengan saat ini tidak setuju dengan UU Pilkada harus pula kita hargai karena itu bagian dari demokrasi Pancasila, namun kalau perdebatan tentang UU Pilkada atau bahkan pengajuan judical review dilakukan oleh partai politik maka perlu dipertanyakan benarkah mereka berjuang dan bekerja untuk rakyat? Apakah mereka tidak tahu tentang demokrasi? Kemanakah mereka ketika pembahasan UU Pilkada?
Saat ini SBY sebagai ketua partai demokrat menjadi manusia yang terhakimi atas tindakan fraksi demokrat yang memutuskan untuk keluar dari sidang, PDIP beserta koalisinya masih belum mau menerima keputusan DPR RI yang menyetujui opsi pilkada melalui DPRD, pertanyaannya apakah mereka berjuang demi rakyat atau kelompoknya? atau karena ada kepentingan politik? ataukah karena ada konspirasi yang seperti di tuduhkan oleh sebagian orang? hanya mereka yang tahu, dan sudah pasti lagi-lagi mengatasnamakan rakyat Indonesia.
Sandiwara UU Pilkada menjadi contoh pembodohan masyarakat, disatu sisi para politikus berdebat mengenai demokrasi tetapi disisi lain mereka tidak pernah memberikan pembelajaran politik yang baik kepada masyarakat, ironisnya, perdebatan selalu mengatasnamakan rakyat. Pertanyaannya rakyat yang manakah yang mereka perjuangkan? Kedua koalisi mengklaim didukung oleh seluruh rakyat Indonesia, kalau berdasarkan hitungan perolehan suara pilcaleg, maka koalisi merah putih lebih unggul dibandingkan dengan PDIP berserta koalisinya, artinya suara masyarakat lebih banyak yang menginginkan pilkada melalui DPRD, jadi kalau PDIP merasa kedaulatan rakyat ada pada mereka karena menjadi pemenang pemilu maka tidak dapat diterima karena rakyat Indonesia bukan hanya memilih PDIP tetapi dari partai lainnya yang kalau dihitung jumlahnya lebih besar dari perolehan suara PDIP beserta koalisinya.
Waspadai gerakan membenturkan pemimpin dengan rakyat
Setelah melihat perjalanan pesta demokrasi yang berlangsung mulai dari pilpres, drama MK, UU MD3, sampai dengan UU Pilkada, semakin menunjukkan ada design yang sengaja dibangun untuk merebut kekuasaan dengan cara membenturkan rakyat dengan pemimpinnya, ini dilakukan karena kalau dengan jalan prosedural mereka tidak akan mampu meraihnya. Puncaknya, SBY menjadi orang yang disalahkan secara besar-besaran oleh orang-orang yang selalu mengatasnamakan rakyat sementara rakyat sendiri menunggu janji-janji politik dari mereka.
Memuluskan jalan menuju kekuasaan memang harus mendapatkan legitimasi dari rakyat, olehnya itu cara yang terbaik adalah dengan berusaha mengambil hati rakyat namun kalau dilakukan dengan sangat berlebihan justru menimbulkan pertanyaan, apakah mereka benar-benar berjuang untuk rakyat? Banyaknya orang yang berjuang untuk menggalang kekuatan melalui gerakan menolak UU Pilkada juga patut dipertanyakan, apakah mereka berjuang bukan karena kepentingan pribadi? jangan sampai hanya sebagai jalan pencitraan semata.
Ada keraguan dan pesimis dari hati saya, kenapa begitu banyaknya masyarakat miskin tetapi sampai dengan saat ini tidak ada gerakan dari para elit politik untuk membantu kaum miskin? sementara ketika berbicara tentang kekuasaan dan jabatan, para elit politik berlomba menggalang kekuatan dan gerakan dengan mengatasnamakan rakyat termasuk rakyat miskin. Kalau mereka memiliki adab dan etika serta hati nurani, pilkada langsung atau melalui DPRD tidak menjadi masalah, yang perlu perhatian adalah bagaimana menyelamatkan rakyat miskin agar bisa hidup layak seperti lainnya.
Hapus saja DPRD I dan DPRD II
Menolak UU Pilkada melalui DPRD menimbulkan pertanyaan, Apakah anggota DPRD tidak berkualitas? perlu diketahui bahwa DPRD tidak bisa dipisahkan dengan DPR RI dan juga tidak bisa dipisahkan dengan partai politik, kalau elit politik tidak percaya dengan DPRD maka anggota DPR RI dan elit partai politik juga perlu dipertanyakan karena tidak mampu membentuk kader berkualitas. Bagaimana mau meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia sementara para kadernya yang berada di daerah-daerah tidak berkualitas? Bagaimana masyarakat mau percaya dengan DPRD sementara elit politik tidak percaya dengan DPRD? kalau demikian adanya maka Bubarkan saja DPRD!
Uraian di atas memang terasa emosional sekali, tetapi itulah kenyataannya. UU Pilkada menjadi ujian bagi partai politik, menerima UU Pilkada berarti mengakui kader-kader partai di daerah sama kualitasnya dengan di pusat begitu sebaliknya menolak UU Pilkada berarti elit partai menganggap kader di daerah tidak berkualitas. Pertanyaannya, apakah para kader di daerah mau dianggap sebagai kader-kader yang tidak berkualitas? UU Pilkada sudah jelas menggambarkan kualitas kader partai di daerah, seharusnya bagi kader partai yang partainya menolak UU pilkada melayangkan protes keras kepada para elitnya karena anda sudah dilecehkan dan dianggap sebagai orang yang tidak dapat mewakili suara rakyat.
Bagi para pejuang demokrasi yang menolak UU Pilkada, kalau berjuang jangan setengah-setengah, sekalian bubarkan juga DPRD karena tidak dipercaya untuk memilih pemimpin di daerah.
Kesimpulan
Gerakan orang-orang yang menerima dan menolak UU Pilkada, semuanya bukan untuk kepentingan rakyat tetapi bagaimana untuk mendapatkan kekuasaan bagi elit politik dan sebagai pencitraan pribadi bagi pejuang demokrasi dengan mengatasnamakan rakyat Indonesia.
Belum ada tanggapan untuk "UU Pilkada: Siapa Sebenarnya Pembela Rakyat?"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung