Apakah anda setuju dengan manuver koalisi merah putih (KMP) yang ingin mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD?, bagi kelompok pejuang demokrasi pasti akan mengatakan TIDAK!, menurut mereka merupakan suatu langkah mundur apabila pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD, tentunya baik kelompok pejuang demokrasi maupun KMP memiliki alasan masing-masing yang berdasarkan pada fakta dan realita yang terjadi menurut sudut pandang mereka sendiri-sendiri.
Konflik sosial sebelum dan sesudah pilkada, biaya yang tinggi dan lain sebagainya menjadi alasan utama KMP yang memperjuangkan pilkada melalui DPRD walaupun sebagian masyarakat menganggap bahwa ini adalah imbas dari pilpres 2014. Semangat reformasi, HAM, dan lain sebagainya menjadi alasan bagi pejuang reformasi. Alasan kedua kelompok ini sangat tidak terbantahkan, begitu banyak data dan fakta yang terjadi dilapangan, disinilah harus kita akui bahwa keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan.
Dalam situasi ini, masyarakat harus memilih apakah pilkada langsung atau melalui DPRD, kalau memperhatikan beberapa kali pelaksanaan pilkada langsung baik legislatif, presiden maupun kada (kepala daerah), belum dapat memberikan pendidikan politik yang sebenarnya. Akibatnya, masyarakat dan politisi tidak siap menerima kekalahan apalagi terdapat banyak indikasi yang mengarah pada kecurangan yang dilakukan oleh peserta dan penyelenggara pemilu. Pilkada bahkan menjadi sumber konflik sosial, konflik keluarga, konflik profesi (pekerjaan), dan konflik2 lainnya.
Pilkada, pilpres, pilcaleg adalah bagian dari proses berdemokrasi, menurut Aristoteles demokrasi dilaksanakan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pertanyaannya! Apakah demokrasi yang selama ini dilaksanakan sudah benar-benar dari rakyat? Apakah demokrasi sudah terlaksana secara utuh oleh rakyat? Apakah demokrasi yang kita laksanakan tujuannya untuk rakyat? Untuk menjelaskannya membutuhkan kajian yang mendalam, bukti-bukti empiris dan pendapat-pendapat para ahli.
Dunia Pendidikan Menjadi Korban Pilkada Langsung
Kalau saya ditanya apakah ada korelasi antara Pilkada Langsung dengan Penurunan Kualitas Pendidikan di Indonesia? saya akan jawab ya. Tentu sudah berdasar pada pertimbangan setelah saya memperhatikan dampak pasca pelaksanaan pilkada. Bagi para peneliti, saya sarankan untuk melakukan penyelidikan dengan masalah utama “Apakah terdapat korelasi antara Pilkada Langsung dengan Penurunan Kualitas Pendidikan di Indonesia”.
Hasil penyelidikan, saya pastikan akan mengarah pada terdapatnya korelasi antara pilkada dengan penurunan kualitas pendidikan. Hasil ini akan memperkuat keinginan sebagian besar daerah yang ingin dunia pendidikan di kembalikan ke pusat atau vertikal. Bagi masyarakat yang profesinya diluar dunia pendidikan termasuk politikus kemungkinan akan membantahnya dengan alasan dunia pendidikan merupakan bagian dari pelaksanaan otonomi daerah.
Sejak otonomi daerah diberlakukan termasuk bidang pendidikan, pengaruh politik sangat terasa terutama para guru dan kepala sekolah. Ada banyak guru yang mencoba berpolitik praktis dalam pilkada, target yang ingin dicapai adalah jabatan karena pengangkatan seseorang dalam jabatan menjadi kewenangan penuh kepala daerah. Pasca pilkada, jabatan kepala sekolah selalu menjadi sasaran penyegaran, pada umumnya kepala daerah akan mengangkat sejumlah orang untuk menduduki jabatan kepala sekolah dengan hanya mempertimbangkan kontribusi dan dukungan pada waktu pilkada berlangsung. Pengangkatan kepala sekolah tidak lagi mempertimbangkan karir, dan kompetensi kepemimpinan, hal ini telah mengganggu kinerja organisasi di sekolah.
Belum lagi mudahnya guru berpindah tempat tugas, guru-guru yang memiliki kompetensi baik pedagogik, profesional, sosial, akademik yang baik dicaplok untuk menempati jabatan-jabatan strategis di struktural. Siapa dekat, dialah yang akan menuai hasilnya, banyak guru bermohon untuk ditempatkan disekolah-sekolah yang dekat dengan rumahnya, sebagian lagi bermohon untuk ditugaskan di sekolah-sekolah yang dianggap favorit atau juga disekolah besar. Penempatan yang tidak memperhatikan kebutuhan sekolah, telah membuat persebaran guru tidak merata. Memang kalau berdasarkan perbandingan jumlah guru dan siswa, pada umumnya sekolah kelebihan guru, namun kalau berdasarkan mata pelajaran maka terdapat beberapa sekolah yang kekurangan dan juga beberapa sekolah yang kelebihan guru mata pelajaran tertentu, persebaran inilah yang saya maksudkan tidak merata di atas.
Persebaran guru mata pelajaran yang tidak merata di hampir semua sekolah telah membuat ketimpangan pencapaian kompetensi lulusan yang tentu saja berakibat langsung terhadap penurunan kualitas pendidikan. Masalah ini sangat menggejala di dunia pendidikan terutama di tingkat kabupaten dan kota, pemerintah daerah seakan tidak mampu mengatasi masalah ini bahkan terkesan membiarkan karena terdapat kepentingan jangka panjang.
Masalah lainnya adalah SDM, sejak institusi pendidikan berubah status menjadi otonomi seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, frekuensi pelatihan peningkatan kualitas dan kompetensi tenaga pendidik (guru) tidak lagi menjadi perhatian, terhitung hanya MGMP yang sering dilaksanakan, pelatihan-pelatihan lainnya tidak pernah dilaksanakan akibatnya guru kurang penyegaran padahal ilmu pengetahuan setiap saat berubah, karakteristik peserta didik mengikuti perkembangan jaman, gaya hidup modern telah mengubah pola pikir peserta didik dan arus informasi begitu deras bahkan sulit untuk dikendalikan. Tentunya membutuhkan metode yang tepat dalam melaksanakan proses pembelajaran, metode-metode pembelajaran ini sulit dipelajari secara otodidak walaupun kualitas akademik guru rata-rata sarjana, hanya melalui pelatihanlah, transfer ilmu pembelajaran dapat maksimal teradopsi oleh guru.
Partai Politik tetap menjadi penentu
Setiap calon apakah lahir dari aspirasi masyarakat atau sebagai kader partai untuk dipilih oleh masyarakat tetap penentunya adalah partai. Masyarakat hanya disuguhi oleh calon-calon yang proses seleksinya lebih mengedepankan kemampuan melakukan lobi-lobi politik kepada partai. Untuk mendapatkan rekomendasi partai saja sudah membutuhkan biaya yang tidak sedikit, belum lagi ketika pertarungan sebenarnya berlangsung, money politic menjadi strategi jitu untuk memenangkan pemiilihan. Maka jangan heran kalau banyak kepala daerah yang berurusan dengan hukum akibat penyalahgunaan anggaran.
Dengan demikian, sistem pilkada dari pilkada langsung ke DPRD tidak terlalu membawa perubahan dalam proses demokrasi. Calon pemimpin tetap lahir melalui seleksi yang dilaksanakan oleh partai, masyarakat hanya berposisi sebagai penerima saja. Perbedaannya hanyalah terdapat pada keikutsertaan penyaluran aspirasi atau hak suara untuk memilih, bukan karena saya pesimis dengan pilkada langsung, tetapi apakah suara rakyat yang disalurkan untuk memilih pemimpin secara langsung tidak dimanipulasi oleh penyelenggara pemilu? Tidak ada jaminan bahwa suara rakyat benar-benar terjamin karena kedudukan penyelenggara pemilu yang terikat dengan pemerintah dapat terintervensi misalnya dalam hal anggaran. Anggaran yang diajukan oleh penyelenggara pemilu umumnya harus melalui lobi-lobi politik baik kepada DPRD maupun kepada pemerintah. Dalam hal ini tujuan penyelenggaran pemilu yang bebas, langsung, umum dan rahasia dapat saja berubah menjadi pesanan penguasa daerah atau partai politik.
Memperhatikan banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh baik peserta pemilu maupun penyelenggara pemilu, sudah saatnya kita mempertimbangkan sistem pemilihan kepala daerah karena dampak sosialnya terlalu luas dan kadang tidak terkendali merusak tatanan kehidupan masyarakat kecil. Selama yang menentukan calon pemimpin adalah partai maka sulit sekali untuk mendapatkan pemimpin pilihan rakyat walaupun sistem pilkadanya adalah secara langsung. Akan berbeda apabila sistem pilkada langsung namun calon pemimpinnya lahir dari suara rakyat itu sendiri bukan lewat partai. Artinya partai tidak diberi kewenangan untuk mencalonkan calon pemimpin untuk bertarung pada pilkada.
Koalisi Merah Putih dan Koalisi PDIP, siapa yang berpihak kepada rakyat?
Hari ini, peta politik nasional terbelah menjadi dua kekuatan besar, ada koalisi merah putih dan ada koalisi PDIP. Keduanya sama-sama mengatasnamakan kepentingan rakyat dengan alasan dan dasar yang sama nilainya, namun yang manakah yang benar-benar berpihak kepada rakyat?
Untuk mengukur keseriusan kedua kekuatan politik ini, sangat sulit dilakukan pada saat sekarang, belum ada ukuran yang bisa dijadikan sebagai pembanding keduanya karena perseteruan mereka baru pada tataran konsep dan wacana serta isu politik. Kedua kekuatan ini barulah kita bisa ukur apabila pemerintahan baru (mewakili koalisi PDIP) dan Dewan terpilih (koalisi merah putih) sudah menjalankan tugasnya masing-masing. Koalisi PDIP dengan kebijakan-kebijakannya di pemerintahan dan koalisi merah putih dengan aturan perundang-undangannya di DPR karena mereka adalah pemilik kursi mayoritas.
Langkah koalisi merah putih yang telah melahirkan UU MD3 dan rancangan pilkada melalui DPRD, hanyalah persoalan dahului atau mendahului saja, masih terlalu dini kita menilai seberapa besar keberpihakan koalisi merah putih terhadap kepentingan rakyat.
Yang jelasnya apapun kemasannya, bentuknya, warnanya, dan rasanya, yang namanya politik tetap saja sarat dengan kepentingan. Indikasinya adalah adanya lobi-lobi politik, kalau memang mereka benar-benar berpikir untuk kepentingan rakyat maka untuk apa dilakukan lobi-lobi politik, masyarakat hanya mengharapkan ingin makan, minum, hidup tenang, bebas, atau hanya ingin dihargai sebagai rakyat Indonesia yang memiliki kesempatan untuk hidup layak sebagai manusia seutuhnya. Masyarakat hanya ingin kebijakan dan aturan yang dikeluarkan berpihak kepada rakyat, jadi untuk apa lobi politik?
Kesimpulan
Proses demokrasi di Indonesia sedang menuju pendewasaan, partai politik harus memberikan pembelajaran atau pendidikan politik jika menginginkan demokrasi berjalan dengan baik dan lancar. Dalam perjalanannya tentu terdapat kelebihan dan kekurangan, itikad baik dari para pemimpin sangat diharapkan terutama menyangkut hajad hidup orang banyak, jangan sampai segala tindakan yang dapat melahirkan kebijakan dan aturan berupa undang-undang lahir atas dasar kepentingkan kelompok semata, atas dasar bagi-bagi kekuasaan, atas dasar kesombongan dan keangkuhan sehingga mengorbankan kepentingan umum.
Mengurus negara sebenarnya sangat sederhana apabila hati nurani para pemimpin hanya untuk kepentingan rakyat, dan akan sulit dan “njelimet” apabila pola pikir mereka hanya fokus pada kepentingan kelompoknya “pemimpin adalah petugas partai” sebuah pernyataan sesat.
Apabila pilkada langsung tetap disetujui maka sebaiknya institusi yang mengurus hidup orang banyak di vertikalkan atau dikembalikan ke pusat misalnya institusi pendidikan sehingga tidak terkena dampak langsung proses pilkada langsung.
Belum ada tanggapan untuk "Pilkada Langsung atau Melalui DPRD! Semuanya hanya permainan partai"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung