Kejahatan sudah ada sejak
dahulu kala di dalam suatu masyarakat, dan dapat dikatakan sebagai suatu
penyakit masyarakat. Menurut pendapat Kartini Kartono: Crime atau kejahatan
adalah tingkah laku yang melanggar hukum dan melanggar norma-norma sosial, sehingga
masyarakat menentangnya”.
Dan sepanjang sejarah hal
tersebut adalah merupakan suatu hal yang ditakuti oleh masyarakat, seorang ahli
sosiologi berpendapat dari sudut sosiologis. “Bahwa kejahatan itu bersumber di
masyarakat, masyarakat yang memberi kesempatan untuk melakukan kejahatan dan
masyarakat sendiri yang menanggung akibatnya dari kejahatan itu walaupun
secara tidak langsung, oleh karena itu untuk mencari sebab-sebab kejahatan
adalah di masyarakat”
Pendapat tersebut di atas
menitik beratkan pada penyebab dari tindak kejahatan/tindak pidana yang memberi
kesempatan terhadap timbulnya kejahatan. Tetapi di lain pihak ada yang
berpendapat seperti yang dikemukakan Cesare Lombroso seorang dokter Italia yang
bekerja di penjara-penjara. Hasil-hasil penelitian Lombroso atas narapidana di
penjara-penjara telah melahirkan teori-teori Lombroso yang telah mempengaruhi
tentang sebab kejahatan pada saat itu yaitu:
“Type-type kriminal dengan
prinsip-prinsip atavisme yang menyatakan adanya proses kemunduran kepada
pola-pola primitif dari speciesnya yaitu tiba-tiba muncul ciri-ciri milik nenek
moyang, yang semula lenyap selama berabad-abad, dan kini timbul kembali”.
Di lain pihak para ahli
kriminologi dan sosiologi yang berpendapat bahwa “Kondisi lingkungan yang tidak
waras merupakan tempat persemayaman bagi kejahatan (Evil Resides in an
imperfect environment)”.
Dan inipun masih ada lagi
pendapat Aristoteles (384. 322 S.M) yang menyebutkan: “Adanya hubungan di antara
masyarakat dan kejahatan yaitu dalam wujud peristiwa kemiskinan
menimbulkan pemberontakan dan kejahatan”.
Kejahatan memang merupakan
gejala masyarakat yang amat sangat mengganggu ketenteraman, kedamaian serta
ketenangan masyarakat yang seharusnya lenyap dari muka bumi ini, namun demikian
seperti halnya siang dan malam, pagi dan sore, perempuan dan laki-laki, maka
kejahatan tersebut tetap akan ada sebagai kelengkapan adanya kebaikan,
kebajikan dan sebagainya.
Hal ini akan nampak pula
seperti ungkapan “… kejahatan yang selalu akan ada, seperti penyakit dan
kematian yang selalu berulang, seperti halnya musim yang akan berganti-ganti
dari tahun ke tahun.
Dari ungkapan di atas maka
jelaslah bahwa walaupun kejahatan merupakan suatu gangguan terhadap ketentraman,
ketenangan dan keamanan masyarakat yang harus dihilangkan dari muka bumi ini,
namun sesuai dengan sifat kodratnya sebagai kebalikan dari adanya kebaikan,
maka kejahatan tersebut akan selalu ada dan akan tetap ada di muka bumi ini
tidak dapat dimusnahkan sama sekali.
Yang menarik dalam
perkembangan kejahatan itu ialah akhir-akhir ini tidak sedikit wanita-wanita
yang terlibat dalam tindak kejahatan yang sebelumnya hanya lazim dilakukan
laki-laki, misalnya ikut serta dalam penodongan, perampasan kendaraan bermotor,
pembunuhan atau bahkan otak perampokan. Maka citra wanita yang seolah-olah
lebih bertahan terhadap kejahatan, mulai pudar. Kenyataan ini menimbulkan
keprihatinan di sementara kalangan wanita, sebab sampai sekarang secara
diam-diam wanita dianggap sebagai benteng terakhir meluasnya kriminalitas.
Hukum sendiri sebenarnya
sudah memberi peringatan bahwa barang siapa yang mengadakan pelanggaran hukum
baik itu laki-laki ataupun wanita dapat dihukum yang sesuai dengan
perbuatannya. Hal tersebut telah dijelaskan di dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) pasal 2, yang berbunyi sebagai berikut: “Ketentuan pidana dalam
Undang-undang Indonesia berlaku bagi orang yang dalam Indonesia melakukan
sesuatu perbuatan yang boleh dihukum (peristiwa pidana)”.
Berdasarkan pada KUHP
pasal 2 tersebut, maka hukum yang berlaku di Indonesia tidak membedakan
golongan, suku, maupun jenis kelamin, baik itu pria maupun wanita adalah sama
dalam mentaati segala perundang-undangan atau hukum yang berlaku di Indonesia.
Hukum dalam kontekstual
sebenarnya cukup ideal untuk dijadikan salah satu upaya menakut-nakuti siapapun
agar tidak berbuat jahat. Namun dalam realita tujuan itu tak mudah dicapai. Hal
ini bisa dilihat dari berita majalah-majalah ataupun surat kabar-surat kabar
yang sering memuat berita tentang kejahatan, bukan saja dilakukan oleh orang
laki-laki tetapi juga dilakukan oleh wanita, dan tidak sedikit jumlah wanita
yang melakukan tindak pidana baik kejahatan atau pelanggaran saja. Kondisi ini
sangat memprihatinkan. Betapa tidak, karena wanita adalah sebagai tiang negara.
Rasulullah SAW bersabda : “Bahwa wanita diibaratkan sebagai tiang negara, jika
wanita dalam suatu negara itu rusak, maka rusak pula negara itu. Dan jika kaum
wanita dalam suatu negara itu baik dan shalihah, maka baik pula negara itu”.
Terasa akan lebih
mencengangkan kita, jika kemudian diketahui bahwa dari sekian jenis kejahatan
yang dilakukan wanita justeru kejahatan kesusilaan (baca : prostitusi). Anehnya
justeru jenis kejahatan ini tidak sedikit diperoleh keterangan yang dilakukan oleh
wanita dari kalangan berstatus mahasiswa dan artis.
Memang tidak salah jika
para sepuh kita sering berujar, bahwa dunia semakin rusak. Terbukti kenyataan
sebagaimana di atas, oleh sejumlah kalangan dianggap sudah merupakan kewajaran
dalam era kekinian, dimana segala sesuatu lebih mengedepankan kepentingan
bisnis dari pada penghormatan nilai etika. Sebagaimana dikatakan Rudy Gunawan,
bahwa di era informatika dan global ini, disadari bahwa segala sesuatu memiliki
kedekatan dengan segala bentuk erotisme, manusia semakin berlomba memanfaatkan
erotisme sebagai pemenuhan prinsip ekonomi, karena telah terbukti erotisme
adalah bumbu penyedap yang membuat produk laku keras dan dunia hiburan selalu
berusaha memancing sensasi seksual untuk menarik minat konsumen, alhasil dari
padanya dihasilkan banyak uang.
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, “Prostitusi” mengandung makna suatu kesepakatan
antara lelaki dan perempuan untuk melakukan hubungan seksual dalam hal mana
pihak lelaki membayar dengan sejumlah uang sebagai kompensasi pemenuhan
kebutuhan biologis yang diberikan ke pihak perempuan, biasanya dilakukan di
lokalisasi, hotel dan tempat lainnya sesuai kesepakatan.
Selanjutnya secara
etimologis prostitusi berasal dari bahasa Inggris yaitu “Prostitute / prostitution” yang berarti pelacuran, perempuan
jalang, atau hidup sebagai perempuan jalang. Sedangkan dalam realita saat ini,
menurut kaca mata orang awam prostitusi diartikan sebagai suatu perbuatan
menjual diri dengan memberi kenikmatan seksual pada kaum laki-laki.
Saat ini, prostitusi sudah
mulai dilakukan dengan memanfaatkan jaringan internet, kejadian tertangkapnya
RA dan kasus pembunuhan Deudeh yang menghebohkan menjadi bukti bahwa prostitusi
secara online semakin mengkhawatirkan dan melibatkan kalangan public figure
serta mahasiswa.
Merebaknya bisnis
prostitusi dikalangan mahasiswa dan artis akibat gaya hidup yang tidak sesuai
dengan latar belakang ekonomi. Pemenuhan kebutuhan untuk menunjang gaya hidup
modern memaksa mereka yang terlibat dalam bisnis ini menempuh jalan pintas
dengan menjajakkan dirinya. Bak gayung bersambut, kalangan orang-orang berduit
mengambil langkah cepat untuk menikmati hiburan erotis walaupun harus
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
Untuk mengantisipasi
pengaruh prostitusi lebih luas, langkah pemerintah dengan memblokir situs-situs
porno perlu di dukung penuh. Masyarakat perlu merapatkan barisan untuk tidak
memberi ruang kepada para pelaku prostitusi, pembinaan dan pengawasan yang
melekat bagi yang sudah terlanjur terlibat dalam bisnis ini. Dan yang paling
penting adalah menjerat pelaku bisnis prostitusi dengan hukuman dan sanksi yang
tegas dan seberat-beratnya karena prostitusi sama dampaknya dengan narkoba,
terlebih lagi antara narkoba dan prostitusi tidak dapat dipisahkan satu dengan
lainnya. Dimana ada prostitusi disitu pasti ada narkoba begitu pula sebaliknya.
Belum ada tanggapan untuk "Analisa terhadap Prostitusi di kalangan Artis dan Mahasiswa"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung