Kesalahan dalam memahami makna kadang berawal dari hal yang sederhana, sesuatu yang dianggap biasa akan menjadi pembenaran walaupun bertentangan dengan logika berpikir yang sebenarnya. Menariknya, itu akan terjadi secara berulang-ulang, dan terus berlanjut ke generasi berikutnya tanpa ada kritik untuk perbaikan atau meluruskan pemaknaannya.
Mungkin karena dampaknya tidak terasa atau belum ada yang merasa sebagai suatu masalah sehingga tidak seorangpun yang berusaha untuk meluruskannya. Hampir semua disiplin ilmu bisa saja terjadi karena kita terbiasa dengan kebiasaan sebelumnya. Kebiasaan yang sudah dibenarkan padahal justru merusak logika berpikir normal kita.
Misalnya ; x = 5, Bagaimana anda akan membacanya? Apakah anda akan membaca seperti ini "x sama dengan 5".
Di tingkat sekolah dasar sampai dengan menengah atas akan dibaca x sama dengan 5. Padahal kalau kita kritik "apakah x sama dengan 5?", x tidak sama dengan 5. Yang sama dengan x hanyalah x sebaliknya yang sama dengan 5 hanyalah 5. Jadi salah kalau kita membacanya "x sama dengan 5".
Akibat kesalahan pembacaan membuat cara berpikir dan memaknai juga menjadi salah. Maka jangan heran kalau ada anak yang kritis mengungkapkan pemahamannya bahwa ternyata "x" banyak samanya karena pada suatu waktu guru saya menulis "x=0", ini berarti x itu bisa sama dengan angka apa saja.
Pada suatu waktu saya mencoba menguji beberapa siswa smp yang memiliki prestasi matematika yang mumpuni dengan pertanyaan "benarkah a lebih besar dari b?" Serentak mereka menjawab "benar". Alasannya adalah a sama dengan 1, b sama dengan 2, c sama dengan 3 dan seterusnya. Bagaimana dengan anda?
Sekali lagi itu adalah pemahaman yang perlu diperbaiki. a sama dengan 1 atau b sama dengan 2 adalah salah. Dengan demikian "a tidak lebih besar dari b atau sebaliknya b tidak lebih besar dari a". Huruf abjad mulai dari a-z tidak memiliki nilai, yang berarti pula tidak dapat disamakan dengan angka 0-9.
Pada kasus x=5 atau x=0, cara membacanya bukan x sama dengan 5 atau x sama dengan 0, tetapi x bernilai 5 atau x bernilai 0, dan berlaku untuk contoh-contoh lainnya. Penggunaan simbol "=" sebenarnya tidak tepat untuk kasus ini, diperlukan simbol baru yang bisa dibaca "bernilai" sehingga tidak merusak logika pemaknaan. Jangan karena kesepakatan sehingga menjadi konsep yang benar, dampaknya sudah terlalu besar, telah banyak yang menjungkirbalikkan cara berpikir normal menjadi kesepakatan baru yang pada gilirannya selalu melahirkan perbedaan, fakta menjadi tidak berarti sebab ada argumentasi baru yang lebih mudah diterima karena ditinjau dari sudut pandang yang berbeda, sudut pandang yang sebenarnya salah di tempat yang memiliki logika berpikir salah pula, yang lahir dari pemahaman bahwa "x itu bisa sama dengan angka apa saja".
Di Korea Selatan, para guru dalam memberikan contoh kalimat selalu memperhatikan umur dan tingkat pemahaman siswa, misalnya; Andi mengendarai motor ke sekolah. Contoh kalimat seperti ini hanya dapat ditemukan pada sekolah yang siswanya sudah memenuhi syarat mendapatkan SIM, bandingkan dengan di Indonesia, siswa SD sudah diajarkan dengan kalimat seperti ini, akibatnya para siswa sudah berpikir untuk mengendarai motor, padahal mereka belum memenuhi syarat untuk mengendarai motor.
Atau pada kalimat lainnya, misalnya "yang namanya judi, minum-minuman keras itu haram", kalimat ini akan tepat bila disampaikan kepada anak yang pergaulannya sudah luas seperti anak SMP, kalau diberikan kepada anak SD justru akan berbahaya karena mereka akan bertanya-tanya seperti apakah judi itu? bagaimanakah rasanya minuman keras itu? Maka kemudian mereka pun akan mencobanya. Contoh kalimat yang tidak sesuai dengan usia anak akan berdampak pada psikologi dan rasa ingin tahu anak atas pesan kalimat tersebut.
Sederhana memang, tetapi bagi anak yang cara berpikirnya sudah "x itu sama dengan angka apa saja" sangat berbahaya. Kesalahan sedikit saja dapat melahirkan generalisasi pengertian dan pembenaran atas kebiasaan yang salah bukan membiasakan yang benar seperti slogan PT. PELNI " Membiasakan yang benar bukan membenarkan yang biasa".
Olehnya itu, perlu ada tindakan nyata untuk meluruskan kebiasaan yang salah, resiko menunggu di depan, jangan sampai melahirkan generasi-generasi yang memiliki pola pikir yang salah karena dasar logikanya terbentuk dari kebiasaan yang salah. Ketika ini terjadi, apapun aturan dan hukum yang berlaku, akan selalu melahirkan pengertian yang baru, buktinya sudah jelas, ada pemimpin yang berbicara kasar dan kotor masih dianggap baik padahal jelas-jelas salah. Ingat! sebab masalahnya dari hal yang kecil dan sederhana telah melahirkan kerusakan moral dan mental yang lebih besar. Masihkan kita akan tutup mata, telinga dan perasaan akan betapa pentingnya mengembalikan kebenaran berpikir kita?
Belum ada tanggapan untuk "x=5, bagaimana anda membacanya?"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung