Secara kualitas, pendidikan di Indonesia mengalami penurunan. Pendidikan di Indonesia jauh tertinggal dari negara lain termasuk negara-negara tentangga. Segala upaya telah dilaksanakan, program-program terbaik dan terencana diimplementasikan semata-mata untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Katakanlah Kurikulum 2013, kurikulum ini diterapkan untuk mengejar ketertinggalan sebagai solusi atas tantangan dan permasalahan global yang mengedepankan pengitegrasian teknologi informasi di semua aspek kehidupan.
Disisi lain, kehidupan berbangsa dan bernegara mengalami degradasi mental, dimana-mana terjadi konflik sosial, kenakalan remaja yang menjurus pada tindakan kriminal, maraknya peredaran narkoba, dan tindakan-tindakan lain yang membahayakan keberagaman dan keanekaragaman bangsa ini. Maka pemerintahan sekarang mengedepankan program revolusi mental, dimana intinya adalah perbaikan mental dan karakter bangsa Indonesia, mengembalikan budaya dan norma, meningkatkan kualitas etika dan etiket masyarakat Indonesia dengan harapan terjadi perubahan mental kearah lebih baik sebagai dasar menghadapi era globalisasi semua aspek kehidupan.
Menyikapi berbagai permasalahan ini, dunia pendidikan diharapkan dapat berperan aktif melakukan pembinaan dan pembentukan karakter. Demi harapan itu, maka kurikulum 2013 menitikberatkan 3 aspek yakni aspek sikap, pengetahuan dan keterampilan. Semua mata pelajaran dirancang teritegrasi dengan penggunaan teknologi informasi tetapi tetap mendorong pembentukan sikap dan prilaku berdasarkan karakter dan kepribadian bangsa.
Sikap menjadi hal utama dalam penilaian kurikulum 2013, pembinaan ini dilaksanakan melalui pembiasaan sebelum, selama dan setelah proses belajar mengajar. Baik etika maupun etiket menjadi bagian dari penilaian dan evaluasi pembelajaran. Hal ini bertujuan untuk mendorong siswa secara terus menerus sehingga terjadi perubahan kearah yang lebih baik. Arah yang diharapkan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Akan tetapi, pembentukan karakter yang sudah berjalan baik di satuan pendidikan, bertolak belakang dengan kondisi nyata yang terjadi di masyarakat. Mulai dari para pemimpin sampai dengan masyarakat biasa mempertontonkan tindakan-tindakan atau sikap yang jauh dari karakter dan norma bangsa Indonesia yang sebenarnya. Yang cukup memprihatinkan justru perbuatan itu mendapatkan pembenaran dengan berbagai argumen. Kebaikan dianggap sebagai kesalahan dan keburukan atau kebobrokan menjadi benar dan layak. Tontonan ini berdampak pada dunia pendidikan, segala macam teori dan ajaran menjadi hambar karena kenyataan tidak sejalan dengan yang dipelajari.
Dunia pendidikan seolah berada pada simpul mati, di satu bagian yakni masyarakat tidak menciptakan situasi lingkungan pendidikan sedangkan di bagian lain yakni para pemimpin memperagakan tindakan-tindakan abnormal bahkan menjurus pada perbuatan melawan hukum dan norma serta budaya yang menjadi kepribadian bangsa yang dibanggakan selama ini. Dampaknya tentu saja dapat menurunkan tingkat kepercayaan anak didik terhadap esensi pendidikan yang sesungguhnya.
Jangan terlalu berharap pada dunia pendidikan selama kedua bagian dimaksud belum berubah. Program revolusi mental seharusnya tidak ditujukan kepada anak didik melainkan kepada para pejabat atau pemimpin negara dan masyarakat umum. Hal ini untuk membuka simpul mati yang mengikat dunia pendidikan, yang telah merongrong dunia pendidikan sebagai akibat dari perbedaan materi pendidikan dengan kondisi riil di lapangan.
Bukan dunia pendidikan yang menjadi garda terdepan dari revolusi mental atau pendidikan karakter tetapi para pejabat negaralah yang seharusnya menjadi pelopor perubahan. Apapun yang dilakukan di dunia pendidikan tidak akan bernilai apabila para pejabat negara masih mempertontonkan perbuatan yang tidak pantas ditiru dan diteladani. Apalagi perbuatan yang melanggar etika dan etiket dibela dan dibenarkan dengan berbagai alasan karena semata-mata untuk menyelamatkan pejabat dimaksud.
Ketika dunia pendidikan berada pada simpul mati, maka ketidakadilan pasti merajalela. Keserakahan terjadi dimana-mana, hukum yang menjadi pengatur dan pembatas antara kebaikan dan keburukan dijadikan sebagai alat permainan demi kepentingan individu, kelompok atau golongan tertentu atau bahkan sebagai alat kekuasaan. Maka apa yang dikatakan oleh Panglima ABRI bahwa telah terjadi ancaman kebhinekaan tunggal ika itu sangatlah benar. Karena ketahuilah bahwa ketidakadilan dan keserakahan akan menimbulkan ketidakpuasan. Inilah yang mendorong orang untuk melakukan hal serupa atau bahkan melakukan perbuatan melawan hukum, baik itu dilakukan per individu atau bahkan per kelompok atau massa dalam jumlah besar.
Maka sebelum semangat kebhinekaan tunggal ika luntur, hukum harus ditegakkan seadil-adilnya dengan jalan membuka simpul mati yang telah mengikat dunia pendidikan. Membangun semangat kebhinekaan tunggal ika tidak semudah yang dibayangkan, butuh proses yang panjang. Menyatukan semua kepentingan, suku, ras, golongan dan agama bukan pekerjaan mudah sekalipun panglima ABRI telah menegaskan akan menjaga keutuhan NKRI dibawah kebhinekaan tunggal ika.
Akankah dunia pendidikan selalu berada pada simpul mati? Akankah semangat revolusi mental hanya sebagai citra? Akankah tujuan pendidikan nasional hanya menjadi lembaran negara? Kemanapun anda mencari jawabannya, jika perubahan belum menjadi semangat dasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara maka semua itu hanyalah fatamorgana. Sebuah mimpi yang hanya menjadi khayalan dimasa sekarang dan dimasa yang akan datang.
Belum ada tanggapan untuk "Dunia pendidikan Indonesia berada diantara simpul mati, revolusi mental sebagai harapan dan tujuan pendidikan nasional bagaikan fatamorgana"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung