Apakah karena ingin mengukuhkan kekuasaannya atau bermaksud ingin menyelamatkan pemimpin yang dicintai rakyatnya, para pemimpin telah membuat aturan yang menjadi blunder bahkan dapat menghancurkan semangat demokrasi yang dibangun dengan susah payah. Yang menjadi biangnya adalah Putusan MK Nomor 100/PUU-XIII/2015 dimana aturan ini menganulir ketentuan tentang batas minimal peserta pilkada yang dua (2) pasangan calon.
Aturan tersebut merupakan regulasi yang menjadi dasar KPU untuk menyelenggarakan pilkada pada suatu daerah yang hanya terdapat satu pasang calon peserta pilkada (calon tunggal). Proses pemilihannya, masyarakat hanya diminta untuk mencentang kata SETUJU atau TIDAK SETUJU terhadap calon tersebut. Niatnya memang baik, namun pada perkembangannya semangat undang-undang ini justru dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu demi memuluskan langkahnya.
Bagi masyarakat kecil tidak terlalu paham dengan kata SETUJU atau TIDAK SETUJU, pada situasi ini masyarakat kecil hanya berasumsi bahwa “lebih baik pilih SETUJU saja daripada kita dipimpin oleh pelaksana tugas”, atau “lebih baik SETUJU, bagaimanapun juga tidak ada orang lain yang perlu dipilih”. Kata SETUJU atau TIDAK SETUJU dapat dimaknai sebagai suatu tindakan pemaksaan sepihak karena masyarakat tidak mendapatkan informasi utuh bagaimana sistem ini pasca pemilihan, hal ini justru menciderai nilai-nilai demokrasi.
Sebagai catatan bahwa tidak semua calon tunggal dalam pilkada lahir karena tidak adanya calon lain yang memenuhi syarat sebagai pemimpin. Akan tetapi lahirnya calon tunggal dapat disebabkan oleh karena “strategi menutup pintu partai”. Strategi ini dipilih oleh partai untuk memuluskan kepentingannya, karena peluangnya cukup terbuka lebar sebagai pemenang daripada bertaruh untuk mendukung calon lain yang peluangnya sama.
Caranya cukup gampang, tinggal menerapkan strategi menutup pintu. Semua partai berselingkuh menyatukan dukungan hanya pada satu calon saja, tidak memberi kesempatan kepada calon pemimpin lain untuk menjadi peserta pilkada.
Mungkin kita berpikir bahwa masyarakat masih memiliki kesempatan untuk tidak memilih pemimpin tersebut, tetapi ketahuilah dengan hanya satu pasang calon peserta pilkada, pesta demokrasi rawan pelanggaran sebab pengawasan dari masyarakat menjadi berkurang atau pengawasan dari pasangan calon lain tidak ada, dengan demikian persaingan dan warna warni pilkada yang menjadi ciri khas dari pesta demokrasi menjadi hilang, pada gilirannya semangat pilkada langsung berubah menjadi pertunjukan kekuasaan khususnya bagi calon pemimpin petahana. Sifat acuh dari masyarakat dapat menurunkan nilai-nilai demokrasi, disisi lain akan memberi ruang kepada oknum-oknum tertentu untuk meraup keuntungan.
Strategi ini sudah mulai nampak di beberapa daerah, bahkan ada daerah yang memiliki calon tunggal tetapi kini dinyatakan sebagai “tersangka” oleh KPK. Kedepan, dengan memanfaatkan celah ini, akan terbentuk sebuah dinasti keluarga yang menjadi pemimpin.
Sebagai saran, aturan ini harus diperketat dengan menambah beberapa poin, misalnya dukungan partai harus dibatasi guna mencegah “strategi menutup pintu partai”. Tujuannya untuk memaksa partai tidak hanya mendukung satu figur, sehingga akan muncul beberapa figur yang akan menjadi peserta Pilkada bahkan pilpres dimasa mendatang, atau dengan cara-cara lain yang sifatnya tidak meruntuhkan semangat berdemokrasi.
Belum ada tanggapan untuk "Dampak Negatif Putusan MK Nomor 100/PUU-XIII/2015 tentang calon tunggal pilkada bagi nilai-nilai demokrasi"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung