Beranda · Pendidikan · Politik · Pemerintahan · Kesehatan · Ekonomi · Life · Manajemen · Umum

Pergeseran dan Perkembangan Konsep Minum Kopi sebagai Gaya Hidup

Gaya hidup dan tradisi dalam budaya minum kopi telah melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Meskipun dalam data sejarah ditunjukkan bahwa kopi bukan merupakan tanaman asli Indonesia (Gumulya & Helmi, 2017), ia telah menjadi salah satu penanda budaya bagi masyarakat Indonesia. Hal itu terlihat dari aktivitas keseharian masyarakat Indonesia yang hampir tidak dapat dilepaskan dari minum kopi. Salah satu penanda bahwa tradisi minum kopi telah mengakar kuat dalam budaya masyarakat Indonesia adalah cara penyeduhan kopi yang sangat khas Indonesia, yaitu kopi tubruk. 

Wiraseto (2016: 62) menjelaskan bahwa melalui kopi tubruk dapat dilacak bagaimana orang-orang Indonesia sejak lebih dari 300 tahun yang lalu telah minum kopi. Kopi tubruk ini merupakan peninggalan tradisi menyeduh kopi di Indonesia. Pola menyeduh kopi tubruk mungkin merupakan cara penyeduhan yang paling sederhana dan paling tradisional. 

Sudah sejak lama minum kopi telah menjadi kebiasaan bagi orang Indonesia, baik di rumah maupun di ruang publik seperti di kedai-kedai kopi dengan menampilkan ciri khas kultur tradisional daerah setempat. Hampir di setiap daerah, budaya minum kopi menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Bagi orang Indonesia, budaya minum kopi menjadi sarana untuk melepas penat atau berinteraksi dengan anggota keluarga atau anggota masyarakat lainnya. 

Seiring berjalannya waktu, konsep minum kopi ini berubah. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa perilaku budaya pada masyarakat selalu bergerak dinamis, sejalan dengan faktor-faktor yang memicu perubahan, baik dari dalam maupun dari luar masyarakat itu sendiri (Harsojo, 1988: 120). Kopi tidak lagi dianggap sebagai minuman tradisional yang menjadi teman di waktu santai di teras rumah atau tersedia di kedai-kedai kopi di pinggir jalan. 

Fenomena kontemporer menunjukkan bahwa kopi menjadi gaya hidup yang hadir dan menghidupi masyarakat urban di Indonesia. Sebutlah misalnya beberapa kedai kopi terkenal yang bertaraf internasional, Starbuck dan CoffeBean. Dengan citra desain dan kemasan yang khas dan menunjukkan citra kelas tertentu, kedai-kedai kopi yang bertebaran di kotakota besar ini menjadikan kopi sebagai penanda gaya hidup baru, terutama bagi masyarakat urban perkotaan. 

Gaya hidup, seperti dinyatakan Chaney, berkaitan dengan pola-pola tindakan yang ditunjukkan orang untuk membedakan antara satu orang dengan orang lainnya. Gaya hidup membantu kita memahami apa yang orang lakukan, mengapa mereka melakukannya, dan apakah yang mereka lakukan bermakna bagi dirinya maupun orang lain (Chaney, 2017: 40). Chaney mengamsusikan bahwa gaya hidup merupakan bagian dari kehidupan sosial sehari-hari dunia modern. Oleh karena itu, Chaney menduga bahwa gaya hidup akan sulit dipahami oleh mereka yang tidak hidup dalam masyarakat modern. 

Hal ini seakan menunjukkan adanya keterpisahan cara menjalani hidup antara masyarakat tradisional dengan masyarakat modern meskipun kehadirannya berada dalam waktu yang sama. Gaya hidup lebih banyak dikaitkan dengan masyarakat urban yang lekat dengan istilah gaya hidup konsumeristis yang meleburkan kebutuhan dan keinginan (Adian, 2007: 26). 

Citra kopi sebagai penanda gaya hidup dibangun oleh media-media massa populer seperti surat kabar, majalah, dan utamanya televisi. Hal ini diperkuat pernyataan Heryanto (2012: 7) yang mengatakan bahwa tidak ada yang bisa menarik perhatian sekira 100 juta orang Indonesia selama berjam-jam setiap harinya kecuali program televisi. Citra kopi tersebut terepresentasi melalui narasi yang disuguhkan oleh televisi, terutama melalui iklan yang yang secara sporadis menyerbu ruang domestik. Hal ini menunjukkan bahwa media massa populer sangat besar pengaruhnya dalam mengonstruksi ruang kesadaran masyarakat. Surat kabar kerap memberitakan berbagai suguhan kopi dalam berbagai racikan dan bagaimana perilaku konsumen dan barista dalam membangun interaksi dengan pengunjung dalam kedai tersebut. 

Dalam tulisan-tulisan yang dimuat di surat kabar tersebut, budaya minum kopi telah menjadi satu tren baru. Bersamaan dengan itu, muncul pula kesadaran akan keunggulan produk-produk kopi lokal. Tampaknya karena itu pula, sejalan dengan berkembang pesatnya kedai-kedai kopi brand internasional, bermunculan pula kedai-kedai kopi dengan brand lokal sebagai fenomena terbaru dari gaya hidup urban ini, sebut saja misalnya Ngopi Doeloe, Bakoel Koffie, Coffee Toffee, dan Warunk Upnormal. Keberadaannya seakan menjadi semacam wacana tanding terhadap kedai-kedai kopi brand internasional. 

Selain melalui media massa, kopi juga hadir di dalam karya sastra kontemporer. Salah satu karya sastra yang mengangkat kopi adalah cerpen yang berjudul “Filosofi Kopi” karya Dewi Lestari atau Dee. Cerpen “Filosofi Kopi” merupakan satu cerpen yang mengupas fenomena budaya minum kopi dengan menarik. Cerpen ini dimuat dalam kumpulan cerpen Dee yang juga berjudul sama,” Filosofi Kopi”. Kumpulan cerpen ini ditulis oleh Dee, diterbitkan pada tahun 2006 oleh penerbit Trudee dan Gagasmedia. Cerpen ini merupakan cerpen yang unik karena mengangkat kopi sebagai dasar cerita. 

Kopi tidak hanya hadir sebagai latar utama, tetapi ia juga menjadi ruh cerita. Ia menjadi penggerak tokoh dalam menjalani alur cerita. Cerpen ini muncul dalam keadaan yang tepat, sejalan dengan fenomena budaya minum kopi yang bertumbuh dan menjamur di berbagai daerah di Indonesia, terutama di wilayah urban. Dengan alur cerita dan cara bertutur yang menarik, cerpen ini dapat dengan jeli menangkap fenomena minum kopi pada kaum urban di Indonesia. Selain itu, cerpen ini tidak hanya mengetengahkan budaya minum kopi, tetapi kecintaan akan sebuah profesi dan hobi yang dijalankan dengan sungguhsungguh dan penuh cinta. 

Hal Ini mengajarkan mencintai sebuah hobi dan profesi. Terkadang milik yang lain terlihat lebih berkilau semata-mata karena tidak dilihat kelebihan dan keunikan milik sendiri. Filosofi hidup yang menarik untuk dikaji dan direnungkan. 

Mungkin karena alasan itu pula, selain karena ditulis dengan menarik, cerpen ini pada proses selanjutnya diangkat ke dalam film. Film dengan judul yang sama ini juga sangat diminati oleh penonton Indonesia. Terbukti hanya dalam 12 hari pemutaran film tersebut di bioskop, film Filosofi Kopi telah mencapai jumlah penonton sebanyak 158.517 dan menempati posisi keempat film box office Indonesia (Pangerang, 2015). Capaian ini menunjukkan bahwa budaya minum kopi telah menjadi bagian kehidupan orang Indonesia sehingga film tersebut secara tidak langsung diakui sebagai representasi dari penonton yang mayoritas merupakan masyarakat urban. 

Sejauh ini, cerpen “Filosofi Kopi” telah diteliti dalam berbagai pendekatan. Puspita (2017) meneliti psikologi tokoh Ben dengan menggunakan teori psikoanalisis Freud. Sementara itu, Solihati dkk. (2017) memfokuskan pada proses ekranisasi cerpen “Filosofi Kopi” ke dalam cerpen dengan menemukan perubahanperubahan yang terjadi dari proses ekranisasi tersebut. Kedua tulisan tersebut mengkaji cerpen “Filosofi Kopi” dengan pendekatan ilmu sastra. 

Artikel keren lainnya:

Opini Wanita Tentang Diri Mereka Sendiri

Umumnya wanita memberikan opini tentang dirinya adalah kaum tertindas pria, yang mau tidak mau dari tahun ke tahun harus mengikuti segala aturan yang seolah-olah mengkungkungnya adalah bersifat alamiah sesuai perbedaan jenis kelamin. Seolah-olah menjadi kodrat wanita untuk melakukan segala sesuatu sebagai tuntutan pria terhadap dirinya. Sebagian besar kaum wanita masih menerima kondisi ini, walaupun kesetaraan gender sering digaungkan oleh berbagai kelompok wanita melalui emansipasi wanita. Namun demikian anggapan bahwa wanita itu sendiri harus mengabdi pada pria (suami) masih sangat kuat tertanam dalam diri wanita, terutama di Indonesia pada umumnya. 

Opini Wanita Tentang Masalah-Masalah Sosial

Kaum wanita sangatlah peka terhadap masalah-masalah sosial, kepekaan ini membawanya pada konteks pengembangan opini yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial tersebut. Kaum wanita kerapkali memikirkan nasib para wanita tuna susila yang beroperasi di berbagai tempat, ataupun memberi ide atau gagasan bagi solusinya. Tidak sedikit pula kaum wanita memberikan gagasan, ide ataupun opininya untuk memberikan nilai sosial tentang anak-anak terlantar. Dalam konteks kewanitaan tidak sedikit pula peran wanita dalam memberikan solusi melalui opini-opininya untuk memperjuangkan kaum wanita disektor pekerjaan, misalkan memperjuangkan hak-hak cuti hamil atau cuti haid bagi kaum wanita, ataupun memberikan solusi bagi pekerja wanita di bawah umur, bagi urusan Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke luar negeri, memperjuangkan kaum wanita teraniaya, ataupun dalam kasus-kasus kekerasan di dalam rumah tangga seringkali dikaji dan diteliti kaum wanita. 

Dalam mengekspresikan opininya tersebut, tidak sedikit kaum wanita mendapatkan kecaman yang keras dari berbagai pihak ataupun hambatan-hambatan. Jika dalam konteks ini media massa memihaknya, maka mereka memberikan kontribusi bagi kelancaran perjuangannya, namun sebaliknya jika media massa turut pula memojokkan ide, gagasan ataupun opini-opininya dalam masalahmasalah sosial maka perjuangan akan sangat lambat dan berjalan panjang.

Opini Wanita Tentang Politik

Dunia politik diibaratkan dunia keras bagi kaum wanita, sehingga kontribusi kaum wanita di percaturan politik relatif diabaikan dan sering terjadi pelecehan-pelecehan terhadap wanita jika berkecimpung di dunia politik. Dalam konteks ini, kita sudah tidak asing lagi mendengar statement-statement yang disajikan di media massa yang memojokkan wanita jika berkiprah di dunia politik, sehingga seolah-olah dunia politik adalah dunia laki-laki. Kontroversi peran wanita sebagai seorang pemimpin seringkali kita kunyah melalui penyajian di media massa yang pada prinsipnya kehadiran wanita sebagai pemimpin secara politis tidaklah semulus kehadiran pria. Fenomena ini memunculkan opini wanita tentang politik merupakan dunia laki-laki yang sama sekali tidak berpihak pada kaum wanita.

Opini Wanita Tentang Bisnis 

Akhir-akhir ini banyak bermunculan gaya hidup wanita yang sukses dalam bisnis tanpa proses. Budaya perusahaan dalam bisnis melalui cara mengekploitasi wanita kerap kita dengar. Banyak wanita pelaku bisnis banyak menggambarkan kehidupan yang mencerminkan keberhasilan dari segi materil, tanpa pernah memaparkan bagaimana keberhasilan itu dicapai. Yang tertangkap adalah bahwa wanita telah mengambil peran bagi keberhasilan yang harus diraih perusahaan. Dengan kata lain, proses mencapai sukses dalam bisnis melalui peran wanita, sementara ini digambarkan sebagai “kebudayaan instant” dari suatu gaya hidup. 

Opini Wanita Tentang Ekonomi 

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia seolah-olah adalah krisis yang dialami oleh kaum pria. Sepertinya krisis ini adalah krisis yang melanda pria. Jika kita perhatikan, pekerja wanita lebih banyak yang kehilangan pekerjaan, karena perusahaan menganggap bahwa prialah yang harus bertanggung jawab terhadap keluarga maka kebijakan untuk wanita kehilangan pekerjaannya lebih besar dibanding pria. Dengan demikian jelaslah bahwa ideologi pria lebih dominan dari wanita masih melekat pada masyarakat kita. Kondisi seperti ini telah memunculkan adanya opini wanita yang memandang dirinya harus lebih rela berkorban jika dihadapkan dengan pria dalam urusan pekerjaan. Dalam arti masih harus mengedepankan pria daripada diri dan kaumnya pada saat krisis ekonomi melanda perusahaannya, ialah yang harus toleran terhadap tanggung jawab pria bagi keluarganya.

Sementara itu, pada saat krisis menimpa negara kita, ternyata yang “panik” umumnya adalah kaum wanita, mereka terlihat antri untuk membeli makanan, baik dari kalangan wanita tua maupun muda, kaya ataupun miskin, berbusana kerja ataupun tidak, yang berdesak-desakan berebutan minyak, beras, gula, susu, dan sebagainya. Karena mereka merasa beertanggung jawab terhadap urusan pengelolaan ekonomi keluarga. Sedangkan suami dan anakanaknya seolah tidak berkepentingan dengan urusan itu.

Opini Wanita tentang Pendidikan 

Peluang kesempatan untuk memperoleh pendidikan formal kebanyakan adalah kaum pria, sementara itu bagi kaum perempuan cukup mengikuti pendidikan informal. Ini merupakan ideologi gender yang telah mengakar lama pada masyarakat. Distribusi peran yang secara tidak sadar telah digariskan orang tua dan masyarakat kita, bahwa wanita tidak perlu sekolah tinggi masih tertanam kuat di dalam kehidupan masyarakat.

Opini Wanita tentang Produk 

Berbagai produk iklan kian beragam melalui berbagai penawaran dalam kegiatan marketing. Apakah itu dalam bentuk periklanan, personal selling, direct marketing, PR, ataupun sales promotion. Oleh karena itu kegiatan pemasaran produk tersebut seringkali diperankan oleh wanita dan untuk wanita. Dalam konteks ini, wanita digambarkan sebagai makhluk yang sewajarnya mengurus kebutuhan keluarga. Dengan keanekaragaman penawaran produk yang berbeda ataupun produk sejenis menyebabkan wanita/ibu telah dipercaya oleh suami ataupun anak-anaknya untuk dapat memilih produk terbaik bagi anggota keluarga. 

Dalam keadaan demikian opininya tentang satu produk ke produk yang lain berkembang melalui penilaiannya pada saat dihadapkan pada keputusan untuk memilih produk mana yang harus dikonsumsi. Ironisnya, jika pilihannya tidak cocok dengan selera suami ataupun anak-anaknya, ia harus rela hati diserang anggota keluarga atas ketidakbecusannya memilih produk bagi kebutuhan keluarganya.

Opini Wanita tentang Masa Depan 

Opini wanita dituntut untuk sampai pada kiat-kiat yang dapat memprediksi dan mengantisipasi masa depan. Kondisi ini menjadikannya memilih alternatif dari sebuah gaya hidup yang harus dijalaninya untuk menentukan masa depan. Sebagai seorang wanita yang dipercaya anggota keluarga untuk mengelola keuangan keluarga, kaum wanita sebagai ibu rumah tangga dituntut hemat atau tidak boros, dapat mengatur keuangan secara efisien, dan memikirkan masa depan.

Opini Wanita Tentang Budaya 

Isu gender muncul apabila keadaan ketimpangan gender diidentifikasi sebagai keadaan yang tidak adil karena merugikan wanita atau pria. Isu gender lebih sering terjadi apabila diskriminasi terhadap wanita berakar kuat dalam suatu budaya atau suatu perundang-undangan. Adapun akar struktural yang menimbulkan isu gender dan terdapat dalam kondisi obyektif gender mencakup : 
  • Adanya dikhotomi maskulin atau feminin peranan manusia sebagai akibat dari determinisme biologis yang sering kali menimbulkan marginalisasi perempuan. 
  • Adanya dikhotomi peran publik dalam bidang kemasyarakatan atau rumah tangga yang berakar dari kepercayaan bahwa tempat perempuan adalah di rumah yang kemudian menjadi landasan untuk melestarikan pembagian kerja (Pinky Saptandari, 1995:13).


Artikel keren lainnya:

Memahami konsep Habitus dan Ranah menurut Bourdieu

Konsep habitus merupakan kunci dalam sintesa teoretis Bourdieu. Menurut Bourdieu habitus merupakan suatu sistem melalui kombinasi struktur objektif dan sejarah personal, disposisi yang berlangsung lama dan berubahubah yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktikpraktik yang terstruktur dan terpadu secara objektif. 

Habitus merupakan pembatinan nilai-nilai sosial budaya yang beragam dan rasa permainan (feel for the game) yang melahirkan bermacam gerakan yang disesuaikan dengan permainan yang sedang dilakukan. Habitus adalah hasil internalisasi struktur dunia sosial, atau struktur sosial yang dibatinkan. 

Habitus merupakan produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu. Habitus bukan bawaan alamiah atau kodrat tetapi merupakan hasil pembelajaran lewat pengasuhan dan bersosialisasi dalam masyarakat. Proses pembelajarannya sangat halus, tak disadari dan tampil sebagai hal yang wajar. 

Individu bukanlah agen yang sepenuhnya bebas, dan juga bukan produk pasif dari struktur sosial. Habitus berkaitan erat dengan field, karena praktik-praktik atau tindakan agen merupakan habitus yang dibentuk oleh field, sehingga habitus dipahami sebagai aksi budaya. Field dalam konsep Bourdieu yaitu medan, arena atau ranah merupakan ruang sebagai tempat para aktor/agen sosial saling bersaing untuk mendapatkan berbagai sumber daya material ataupun kekuatan (power) simbolis. Persaingan dalam ranah bertujuan untuk memastikan perbedaan dan juga status aktor sosial yang digunakan sebagai sumber kekuasaan simboli. 

Pendekatan teoretis yang dilakukan Bourdieu adalah untuk menggambarkan bahwa apa yang dikatakan dan dilakukan seseorang dalam kehidupannya pada dasarnya adalah sesuatu yang lain dari keinginannya atau hanya sekedar dari struktur sosial dan struktur material. Individu dalam tindakannya dipengaruhi oleh struktur atau yang kolektif/sosial. Struktur-struktur yang ada dalam masyarakat diinternalisasi oleh aktor-aktor sosial sehingga berfungsi secara efektif. Internalisasi berlangsung melalui pengasuhan, aktifitas bermain, dan juga pendidikan dalam masyarakat baik secara sadar maupun tidak sadar. Sepintas habitus seolah-olah sesuatu yang alami atau pemberian akan tetapi dia adalah konstruksi. 

Aktor atau agen dalam bertindak bukanlah seperti boneka atau mesin yang bergerak apabila ada yang memerintah. Agen adalah individu yang bebas bergerak seturut dengan keinginannya. Di satu sisi agen merupakan individu yang terikat dalam struktur atau kolektif/sosial namun di sisi yang lain agen adalah individu yang bebas bertindak. Sintesis dan dialektika antara struktur objektif dengan fenomena subjektif inilah yang disebut sebagai habitus. Hasil hubungan dialektika antara struktur dan agen terlihat dalam praktik. Praktik tidak ditentukan secara objektif dan juga bukan kemauan bebas. 

Habitus yang ada pada suatu waktu tertentu merupakan hasil dari kehidupan kolektif yang berlangsung lama. Habitus dapat bertahan lama namun dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh kehidupan sosial, artinya habitus sebagai struktur yang menstruktur sosial dan juga habitus sebagai struktur yang terstruktur. 

Dengan demikian Bourdieu memberi defenisi habitus sebagai suatu sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah (durable, transposable disposition) yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu secara objektif.

Habitus berkaitan dengan modal sebab sebagian habitus berperan sebagai pengganda modal secara khusus modal simbolik. Modal dalam pengertian Bourdieu sangatlah luas karena mencakup: modal ekonomi, modal budaya, dan modal simbolik digunakan untuk merebut dan mempertahankan perbedaan dan dominas. 

Modal harus ada dalam setiap ranah, agar ranah mempunyai arti. Legitimasi aktor dalam tindakan sosial dipengaruhi oleh modal yang dimiliki. Modal dapat dipertukarkan antara modal yang satu dengan modal yang lainnya, modal juga dapat diakumulasi antara modal yang satu dengan yang lain. Akumulasi modal merupakan hal yang sangat penting di dalam ranah. 

Contoh ini dapat dilihat di Negara Indonesia dari kecenderungan para pengusaha menjadi terjun di bidang politik. Pengusaha yang mempunyai modal ekonomi berlomba untuk merebut kursi di legislatif maupun di eksekutif. Modal ekonomi yang dimiliki para pengusaha ditukar menjadi modal sosial (untuk mendapatkan kedudukan di pemerintahan dalam arti luas). Selain dipertukarkan, juga terjadi pengakumulasian modal sebab seorang pengusaha yang sudah memiliki modal ekonomi bertambah lagi dengan modal sosial karena dia berhasil sebagai pejabat publik. Pengusaha yang awalnya mempunyai satu macam modal, menjadi mempunyai lebih dari satu macam modal sekaligus yaitu modal ekonomi, modal sosial dan juga modal simbolis.

Sedangkan konsep ranah atau arena atau medan (field) merupakan ruang atau semesta sosial tertentu sebagai tempat para agen/aktor sosial saling bersaing. Di dalam ranah/arena para agen bersaing untuk mendapatkan berbagai sumber maupun kekuatan simbolis. Persaingan bertujuan untuk mendapat sumber yang lebih banyak sehingga terjadi perbedaan antara agen yang satu dengan agen yang lain. Semakin banyak sumber yang dimiliki semakin tinggi struktur yang dimiliki. Perbedaan itu memberi struktur hierarki sosial dan mendapat legitimasi seakan-akan menjadi suatu proses yang alamiah. 

Ranah merupakan kekuatan yang secara parsial bersifat otonom dan di dalamnya berlangsung perjuangan posisiposisi. Posisi-posisi itu ditentukan oleh pembagian modal. Di dalam ranah, para agen/aktor bersaing untuk mendapatkan berbagai bentuk sumber daya materiil maupun simbolik. Tujuannya adalah untuk memastikan perbedaan yang akan menjamin status aktor sosial.

Dengan adanya perbedaan tersebut si aktor mendapat sumber kekuasaan simbolis dan kekuasaan simbolis akan digunakan untuk mencapai keberhasilan lebih lanjut

Artikel keren lainnya:

Syarat-Syarat Penerjemah

Masyarakat luas pada umumnya, juga sebagian praktisi penerjemahan, berpandangan bahwa untuk bisa menerjemah seseorang tidak memerlukan syarat teoretis apapun, cukuplah ia menguasai bahasa sumber dan bahasa sasaran saja. Bahkan pendapat seperti ini pun ada yang muncul dari kalangan pengajar penerjemahan dan sekaligus penulis buku teori penerjemahan. Ia mengatakan bahwa " ... dalam hal penerjemahan, teori-teori itu tidaklah penting. Seorang penerjemah yang telah menguasai bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, dengan sedikit latihan dan pengarahan mengenai terjemahan, dapat menghasilkan suatu terjemahan yang memuaskan. 

Pendapat serupa dengan nada yang berbeda juga pernah dikemukakan professor Buttler, sebagaimana dikutip Newmark bahwa "translation theory had little impact on translation."  Pendapat seperti ini tentu saja kurang bijak, kalau tidak dikatakan tidak benar, dan berpeluang merugikan pembelajar teori penerjemahan. Karena kenyataannya para pakar teori dan sekaligus praktisi penerjemahan mulai dari Cicero, yang hidup dua abad sebelum Almasih lahir, hingga Newmark, yang hidup pada abad kita ini, membuktikan bahwa teori penerjemahan sama pentingnya dengan praktek. Suatu keseimbangan yang secara tepat disimpulkan teoretis dan praktisi penerjemahan dari Inggris tersebut bahwa " ... some theory of translation is as necessary as a theory of grammar is to language." 

Pemyataan senada juga disampaikan Benny S. Hoed, kepala Pusat Penerjemahan, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, yang juga teoretis dan praktisi penerjemahan berpengalaman, bahwa penguasaan teori penerjemahan hanya akan membantu kerja penerjemahan efektif dan efsisien. 

Untuk menghasilkan kualitas terjemahan yang baik, penerjemahan dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris atau sebaliknya, para penerjemah disyaratkan, di antaranya, tidak saja harus memiliki penguasaan bahasa sumber dan bahasa sasaran, tetapi juga menguasai atau paling tidak mengetahui dengan baik bidang, disiplin ilmu, atau masalah yang hendak diterjemahkannya. 

Untuk menunjukkan arti penting dari ketiga syarat ini, hampir semua pakar penerjemahan selalu memasukkan ketiga syarat tersebut ke dalam syarat-syarat lain yang dirumuskannya. Misalnya, Anton M. Moeliono mengajukan syarat utama yang harus dimiliki penerjemah meliputi : 
  1. penguasaan bahasa sumber; 
  2. penguasaan bahasa sasaran, 
  3. penguasaan bidang yang diterjemahkan, dan 
  4. meyakini penerjemahan bukanlah sekedar kiat, tetapi kegiatan yang berdasarkan teori penerjemahan.

Rochayah Machali, seorang pakar penerjemahan yang. mengajar di University of New South Wales, Australia, menyaratkan lima perangkat intelektual yang harus dimiliki seorang penerjemah, yakni: 
  1. kemampuan yang baik dalam bahasa sumber; 
  2. kemampuan yang baik dalam bahasa sasaran; 
  3. pengetahuan mengenai pokok masalah yang diterjemahkan, 
  4. penerapan pengetahuan yang dimilik, dan 
  5. keterampilan. 

Sementara itu Johnson dan Whitelook, sebagaimana dikutip Roger T. Bell, berpendapat. bahwa penerjemah harus memiliki paling tidak hal-hal berikut : 
  1. pengetahuan bahasa sasaran; 
  2. pengetahuan bahasa sumber, 
  3. pengetahuan jenis naskah, 
  4. pengetahuan materi yang diterjemahkan, dan 
  5. pengetahuan kontrastif.

Dalam Translators' Handbook, Rachell Owens, menjelaskan bahwa ada dua kualifikasi yang seyogyanya dimiliki penerjemah professional: kualifikasi bawaan dan kualitas yang bisa diperoleh. 

Dengan penjelasan yang lebih gamblang dan cukup rinci, Zuchridin Suryawinata menyebutkan enam syarat yang harus dipenuhi oleh penerjemah yang baik, yakni :
  1. Menguasai BSu, baik lisan maupun tulisan dengan kemampuan 95% pada tingkat reseptif, dan 85%-90% pada tingkat produktif. 
  2. Menguasai BSa sepenuhnya, baik lisan maupun tulisan, pada kemampuan reseptif maupun produktif. 
  3. Menguasai bidang ilmu, pengetahuan, ataupun kiat yang akan diterjemahkan, setidaknya konsep dasarnya. 
  4. Mengetahui latar belakang sosial-budaya BSu yang akan diterjermahkan. 
  5. Memiliki keluwesan kebahasaan sehingga ia mudah beradaptasi ke dalam kondisi Bsu dan Bsa, tanpa dilandasi prasangka baik maupun buruk; 
  6. Memiliki keluwesan kultural, sehingga ia mudah beradaptasi dalam kondisi sosial budaya Bsu dan Bsa, tanpa dilandasi prasangka baik atau buruk.



Artikel keren lainnya:

Makna, Fungsi, Peran, Tujuan, dan Sifat Teori

Makna Teori 

Untuk memahami apakah makna teori, sebenarnya sudah banyak ahli dari berbagai bidang ilmu yang mengemukakan mengenai makna teori. Para ahli yang telah mengemukakan makna teori di antaranya Glaser dan Straus (1967), Snelbecker (1974), Marx dan Goodson (1976) dan Barry Mclughlin (1955). Adapun makna teori yang dikemukakan para ahli tersebut di atas, sebagai berikut : 

Glaser dan Straus (1967) 

Teori berasal dari sebuah data yang diperoleh dengan cara analisis dan sistematis melalui metode komparatif 

Sneltrecker (1974) 

Dalam penggunaan secara umum, teori berarti sejumlah proposisi-proposisi yang terintegrasi secara sintaktik (artinya, kumpulan proposisi ini mengikuti aturan-aturan tertentu yang dapat menghubungkan secara logis proposisi yang satu dengan proposisi yang lain, dan juga pada data yang diamati), dan yang digunakan untuk memprediksi dan menjelaskan peristiwa-peristirva yang diamati. 

Marx cian Goodson (1976) 

Teori adalah aturan menjelaskan proposisi yang berkaitan dengan beberapa fenomena alamiah dan terdiri atas representasi simbolik dari : 
  1. 1) Hubungan-hubungan yang dapat diamati di antara kejadian-kejadian (yang diukur). 
  2. Mekanisme atau struktur yang diduga mendasari hubungan-hubungan. 
  3. Hubungan-hubungan yang disimpulkan serta mekanisme dasar yang dimaksudkan untuk data dan yang diamati tanpa adanya manifestasi hubungan empirik apapun secara langsung.

McLaughlin (1988) 

Teori ialah cara penafsiran terhadap kerampatan (generalisasi), cara penilaiannya, dan penyatuannya, cara kerampatan itu adalah yang dihasilkan melalui penelitian.

KBBI (1997)

Pengertian teori yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sebagai berikut : 
  • Teori adalah pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa (kejadian), 
  • Teori adalah asas dan hukum umum yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan. 
  • Teori adalah pendapat, cara dan aturan melakukan sesuatu.

Fungsi Teori 

Teori memiliki berbagai fungsi. Adapun fungsi teori antara lain, teori mempunyai fungsi sebagai suatu ikhtisar fakta dan hukum yang dapat diterapkan, teori berfungsi untuk transformasi. Suatu teori baru dapat untuk menstransformasikan atau dapat mengadakan perubahan hubungan antara hukum dan fakta. Suatu yang sudah dikenal maknanya dapat ditransformasikan menjadi unsur baru dalam teori yang baru. Dengan demikian akan terjadi pembaharuan isi dan bentuk dalam ilmu yang sedang digeluti. 

Peran Teori 

Teori memiliki peran yang sangat penting. Teori berperan membantu mendapatkan pengertian dan mengorganisasikan pengalaman. Di dalarn teori terdapat preposisi yang berperan penting dalam mengikhtisarkan lnformal sehingga penafsiran, penilaian dan pernyataan kerampatan dapat terlaksana dengan mudah. 

Tujuan Teori 

Teori memiliki tujuan yaitu untuk mendapatkan pemahaman mengenai sesuatu.

Sifat Teori 

Teori memiliki sifat keilmiahan. Karena sifat keilmiahannya, teori bersilat lentur dan dinamis. Sifat lentur dan dinamis ini berarti bahwa teori dapat mengalami penyesuaian apabila muncul data baru yang . mengubah simpulan dan kerampatan.

Teori yang baik selalu merangsang untuk membuat hipotesis baru sebagai suatu hukum baru yang memerlukan pengujian dan pembuktian dengan menggunakan ujian empirik. Teori yang memiliki kesahihan tinggi dapat mendorong untuk dilaksanakan penelitian.


Artikel keren lainnya:

7 Perspektif Agresif dalam ranah Psikolgikal

Banyak perspektif agresi yang dijelaskan secara psikologis yang mencoba mendiskripsikan bagaimana munculnya perilaku agresif ini. Krahe (2001) setidaknya mencatat ada tujuh perspektif agresif dalam ranah psikolgikal. 

1. Perspektif psikoanalisis. 

Menurut perspektif psikoanalisis seperti yang dijelaskan oleh Freud bahwa dalam diri manusia selalu mempunyai potensi bawah sadar yaitu suatu dorongan untuk merusak diri atau thanatos. Pada mulanya, dorongan untuk merusak diri tersebut ditujukan untuk orang lain. Operasionalisasi dorongan tersebut dikatakan oleh Baron dan Byrne (1994) dapat dilakukan melalui perilaku agresif, dialihkan pada objek yang dijadikan kambing hitam/ korban, atau mungkin disublimasikan dengan cara-cara yang lebih bisa diterima masyarakat. Bahkan, Freud (dalam Zastrow, 2008) percaya bahwa, “humans have a death wish that leads them to enjoy hurting and killing others and themselves,” sehingga tidaklah mengherankan apabila kita juga sering mendapatkan informasi adanya orang-orang yang melakukan bunuh diri, karena di dalam diri manusia ada naluri kematian yang mendorong manusia senang menyakiti tidak hanya kepada orang lain tetapi juga kepada diri sendiri. 

2. Perspektif frustrasi-agresi 

Perspektif frustrasi-agresi atau hipotesis frustrasi-agresi (frustrationaggression hypothesis) yang berandaian bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan, akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustrasi, demikian ulasan Dollard, Doob, Miller, Mowrer, dan Sears (Brigham, 1991). Menurut formulasi ini, agresi bukan dorongan bawaan, tetapi karena frustrasi merupakan keadaan yang cukup universal, agresi tetap merupakan dorongan yang harus disalurkan. Selanjutnya, Dollard, Doob, Miller, Mowrer, dan Sears (Brigham, 1991) lebih jauh mengemukakan bahwa walaupun frustrasi menimbulkan perilaku agresif tetapi perilaku agresif dapat dicegah jika ada hukuman terhadap pelaku. Dalam kenyataannya, tidak setiap perilaku agresif dapat diarahkan pada sumber frustrasi, sehingga orang akan mengarahkan pada sasaran lain (Worchel & Cooper, 1986). 

3. Perspektif neo-asosianisme kognitif 

Perspektif neo-asosianisme kognitif merupakan pengembangan daripada hipotesis frustrasi-agresi oleh Berzkowitz (1993). Perspektif ini menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa yang tidak mengenakkan akan menstimulasi perasaan negatif (afek negatif). Kemudian, perasaan negatif selanjutnya akan menstimulasi secara otomatis dan reaksi motorik; yang berasosiasi dengan reaksi melawan atau menyerang. Asosiasi ini menimbulkan perasaan marah (emosi) dan takut. Sejauh mana perilaku agresif terbentuk, tergantung kepada proses kognisi tingkat tinggi seseorang (Brehm & Kassin, 1993). Kekuatan relatif dari respon menyerang atau melarikan diri tergantung faktor genetik, pengalaman masa lalu, faktor kognisi, dan faktor-faktor situasi (Brigham, 1991; Brehm & Kassin, 1993; Baron & Byrne, 1994). Hal demikian sesuai dengan pendapat Steffgen dan Gollwitzer (2007) bahwa emosi bukan hanya merupakan gejala dalam perilaku agresif, ianya dapat juga merupakan pencetus (trigger), penguat ( ), moderator atau bahkan merupakan ultimate goals dari perilaku agresif. 

4. Model pengalihan rangsangan

Model pengalihan rangsangan, dibangun berdasarkan teori emosi dua faktor, yang memiliki pandangan bahwa intensitas pengalaman kemarahan merupakan fungsi dua komponen, yaitu 1) kekuatan rangsangan aversif, dan 2) cara rangsangan itu dijelaskan dan diberi label (Schachter, 1964; Zillmann, 1979). Selain itu, Zillmann (Krahe, 2001) juga merumuskan bahwa jika suatu rangsangan segera diketahui dengan jelas oleh individu, ia akan mencoba mencari penjelasan dengan mendasarkannya pada stimulus informasional yang ada dalam situasinya dari sumber-sumber netral atau tidak relevan mungkin akan dialihkan ke rangsangan yang ditimbulkan oleh stimulasi aversif melalui proses miss-attribution (kesalahan atribusi). Rangsangan yang dibangkitkan oleh sumber yang tidak berhubungan dengan stimulasi aversif mungkin salah diatribusikan pada kejadian aversif sehingga mengintensifkan kemarahan yang ditimbulkan oleh kejadian semacam itu. Tetapi yang penting dalam hal ini adalah adanya kesadaran tentang sumber asli rangsangan telah hilang, sehingga individu tersebut masih merasakan rangsangan itu namun sudah tidak lagi menyadari asalnya. 

5. Pendekatan sosial-kognitif

Pendekatan sosial-kognitif, yang dipelopori oleh Huesmann (1988, 1998) telah memperluas perspektif bahwa cara orang memikirkan kejadian aversif dan reaksi emosional yang mereka alami sebagai sebuah akibat, merupakan aspek penting dalam menentukan manifestasi dan kekuatan respon agresifnya. Pendekatan ini telah menemukan titik temu tentang perbedaan individual dalam agresi sebagai fungsi perbedaan dalam pemrosesan informasi sosial dengan melontarkan dua issue khas yaitu: 1) perkembangan skemata (schemata) kognitif yang mengarahkan performa sosial perilaku agresif, dan 2) cara-cara pemrosesan informasi individu yang agresif dan yang non agresi (Krahe, 2001). Pandangan ini sejalan dengan pemikiran dalam teori kognitif dari Goldstein (dalam Payne, 2005). Teori kognitif Goldstein beranggapan bahwa tingkah laku manusia digerakkan oleh pikiran, bukan pada sekedar dorongan-dorongan yang tidak disadarinya, yang ada pada dirinya. 

6. Teori pembelajaran sosial

Teori pembelajaran sosial, yang dikembangkan secara lebih luas oleh Albert Bandura. Teori ini berkeyakinan bahwa perilaku agresif merupakan perilaku yang dipelajari dari pengalaman masa lalu apakah melalui pengamatan langsung (imitasi), pengukuh positif, dan karena stimulus diskriminatif. Perilaku agresif juga dapat dipelajari melalui model (Modeling) yang dilihat dalam keluarga, dalam lingkungan kebudayaan setempat atau melalui media massa (Bandura, 1973). Disamping itu, apakah perilaku agresi akan semakin meningkat atau menurun tergantung sejauh mana pengukuh/penguat diterima. Perilaku agresi yang disertai pengukuh positif akan meningkatkan perilaku agresi. Pengukuh positif dalam konteks sehari-hari seringkali diekspresikan dengan persetujuan verbal dari orang-orang di sekelilingnya (Wiggins, Wiggins & Zanden, 1994). Hal ini sering kali dijumpai pada kelompok yang mempunyai sub budaya agresif separti gang remaja, kelompok militer, maupun kelompok olah raga beladiri seperti tinju, silat dan lain-lain. Perilaku agresi yang disertai pengukuh negatif juga mampu meningkatkan perilaku agresi. Dalam hal ini, perilaku agresi dilakukan karena seseorang menjadi korban dari stimulus yang menyakitkan separti diejek atau diserang orang lain dan ia melakukan pembalasan. Inilah yang dikenal dengan istilah Model Belajar melalui pengalaman langsung. 

7. Model interaksi sosial

Model interaksi sosial, menurut model ini perilaku agresif dipandang sebagai pengaruh sosial yang koersif. Tedeshci dan Felson (1994) telah memperluas analisis perilaku agresif menjadi teori interaksi sosial mengenai tindakan koersif. Tedeshi dan Felson lebih menyukai terminologi koersif dibanding perilaku agresif, yang dipandang lebih tradisional dengan alasan; 1) bahwa istilah koersif memiliki beban nilai yang tindakan menyakiti sebagai sesuatu yang dapat atau tidak dapat dibenarkan, dan alasan ke 2) adalah bahwa konsep koersif memasukkan ancaman dan hukuman maupun paksaan badaniah sebagai strategi penting untuk menyakiti atau mendapatkan kepatuhan dari target yang menolak untuk disakiti atau untuk patuh. Dalam model ini, Tedeshci dan Felson (1994) berpandangan bahwa strategi koersif dipergunakan oleh si pelaku untuk menyakiti targetnya atau untuk membuat targetnya mematuhi tuntutan pelaku berdasarkan tiga tujuan utama, yaitu mengontrol perilaku orang lain, menegakkan keadilan, dan mempertahankan atau melindungi identitas positif. Oleh karena itulah tindakan koersif ini dikonsepkan sebagai hasil proses pengambilan keputusan dimana pelakunya pertama-tama memutuskan menggunakan strategi koersif untuk mempengaruhi orang lain, kemudian memilih bentuk koersi tertentu diantara pelbagai pilihan yang ada.

Artikel keren lainnya:

Pendekatan Biologis, jalan memahami perilaku agresif

Dalam pandangan biologis, perilaku agresif disebabkan oleh karena meningkatnya hormon testosterone (Tieger dalam Dunkin, 1995). Walaupun, peningkatan hormon testosteron saja ternyata tidak mampu memunculkan perilaku agresif secara langsung. Hormon testosteron dalam hal ini bertindak sebagai anteseden, sehingga perlu ada pencetus dari luar. Hasil kajian mengenai peningkatan hormon testosteron terhadap meningkatnya perilaku agresi ini tidak konsisten. Pada anak lelaki memang meningkat perilaku agresinya tetapi tidak ditemukan pada anak perempuan (Brigham, 1991; Baron & Byrne, 1994). 

Dalam pandangan biologis yang lain, perilaku agresif juga bisa disebabkan karena adanya abnormalitas anatomis, misalnya kelainan pada jaringan syaraf otak. Ada beberapa perspektif agresif yang mencoba untuk menjelaskan perilaku agresif dari sisi pendekatan biologis ini, yaitu perspektif etologi, sosiobiologi serta genetika perilaku. Dalam perspektif Etologi, perilaku agresif disebabkan oleh karena faktor instingtif dalam diri manusia dan perilaku ini dilakukan dalam rangka adaptasi secara evolusioner (Brigham, 1991; Dunkin, 1995). 

Perilaku agresif yang dikembangkan biasanya merupakan upaya untuk mempertahankan teritori dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Dalam konsep ini dikenal dengan agonistic aggression (Brigham, 1991) yaitu suatu perilaku agresi yang dilakukan dalam rangka mempertahankan teritori dan hirarki dominasi. Bahkan Zastrow (2008) masih meyakini dan beranggapan bahwa manusia itu sama ada halnya hewan, yang juga memiliki naluri (instinct) bawaan yang sifatnya agresif. Pendapat ini menyiratkan bahwa naluri (instinct) merupakan faktor yang tidak boleh diabaikan yang bisa membangkitkan perilaku agresif. Perilaku ini akan muncul manakala kebutuhan-kebutuhan dasarnya (basic needs) tidak terpenuhi, seperti halnya kebutuhan akan makan, rasa aman dan kebutuhan dasar lainnya. 

Perspektif sosio-biologi percaya bahwa perilaku agresif berkembang karena adanya kompetisi sosial yaitu kompetisi terhadap sumber daya yang terbatas. Dalam pandangan ini, manusia diharapkan bertindak agresif ketika sumber daya yang penting itu terbatas, ketika mengalami ketidaknyamanan, ketika sistem sosial tidak berjalan dengan baik, dan ketika ancaman dari pihak luar (Dunkin, 1995). Hal ini dilakukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup manusia. Tindakan ini dilakukan manusia agar tetap survive, untuk tetap menjaga dan mengembangkan kemanusiawiannya ataupun membangun dan mengembangkan komunitas.

Tanpa agresi manusia akan punah atau dipunahkan oleh pihak lain (Wiggins, Wiggins & Zanden, 1994; Zastrow, 2008). Perilaku agresif menurut perspektif ini merupakan sesuatu yang fundamental karena merupakan strategi adaptasi dalam kehidupannya. Dalam pandangan lain, kecenderungan perilaku agresif merupakan bagian dari sifat bawaan genetic individu yang diwariskan dari orang tuanya (hereditary). Pandangan semacam ini dikenal sebagai perspektif genetika perilaku. Individu-individu yang berhubungan secara genetis memiliki kecenderungan agresif yang satu sama lain lebih serupa, dibanding individu-individu yang tidak memiliki hubungan secara genetis (Krahe, 2001). 

Hal demikian didasarkan pada bukti empiris bahwa pada kebanyakan anak yang diasuh oleh orang tua biologis yang memiliki hubungan genetis dengannya, maka pengaruh-pengaruh sifat bawaan (nature) dan pola asuh (nurture) dalam perkembangan individu biasanya berjalan seiring. Penjelasan “nature” dirumuskan oleh Charles Darwin pada abad kesembilan-belas di mana dalam teorinya dikemukakan bahwa semua perilaku manusia merupakan serangkaian naluri (instinct) yang diperlukan agar bisa bertahan hidup. 

Naluri inilah yang membangun individu dalam berperilaku berdasarkan pengalaman. Namun, perspektif ini mendapatkan banyak tentangan, salah satunya daripada Dewey (Wiggins, Wiggins & Zanden, 1994), yang mengatakan bahwa perilaku kita tidak sekedar muncul berdasarkan pengalaman masa lampau, tetapi juga secara terus menerus berubah atau diubah oleh lingkungan - “situasi kita” - termasuk tentunya orang lain.

Artikel keren lainnya:

Pengertian surah Al-Fatihah dan Nama-namanya

Al-Fatihah berasal dari kata fataha, yaftahu, fathan yang berarti pembukaan yang dapat pula berarti kemenangan. Sedangkan fatihah dalam arti kemenangan dapat dijumpai pada nama surat yang ke-48 yang berjudul Al-Fath yang berarti kemenangan. Ayat tersebut selengkapnya berbunyi: Artinya: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.” (Q.S. al-Fath/33:48) 

Kata fath yang merupakan akar kata nama ini berarti menyingkirkan sesuatu yang terdapat pada suatu tempat yang akan dimasuki. Tentu saja bukan makna harfiah itu yang dimaksud. Penamaannya dengan al-Fatihah karena ia terletak pada awal Al-Qur’an dan karena biasanya yang pertama memasuki sesuatu adalah yang embukanya, kata Fatihah di sini berarti awal Al-Qur’an.

Nama-nama Surah Al-Fatihah 

Surah al-Fatihah memiliki nama yang cukup banyak dan begitu indah. Didalam tafsir al-Jami‘ li ahkam al-Qur‘an sebagaimana dikutip dalam buku tafsir al-asas, misalnya Imam al-Qurthubi Rahimahullah menyebutkan nama-nama surah al-Fatihah sebagai berikut:

Ash-shalah (shalat), al-Hamdu (segala puji), fatihatul Kitab (pembuka kitab), ummul Kitab (induk kitab),ummul Qur’an (induk al-Qur‘an), as-Sab’ul Matsani (tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang), alQur’an al-‘Azhim (al-Qur‘an yang agung), asy-Syifa’ (penawar/obat), al-Asas (pondasi), ar-Ruqyah (jampi), al-Wafiyah (penyempurna), al Kafiyah (yang mencukupi). 

Imam Jalaluddin as-Suyuthi Rahimahullah menyebutkan nama-nama surah al-Fatihah sebanyak 25 nama, sebagaimana di kutib oleh Mashri Sirojuddin Iqbal dalam bukunya Pengantar Ilmu Tafsir, nama-nama tersebut sebagai berikut: Fatihatul Kitab (pembuka kitab), fatihatul Qur‘an (pembuka al-Qur‘an), ummul Kitab (induk kitab), ummul Qur’an (induk al-Qur‘an), al-Qur’an al-‘Azhim (alQur‘an yang agung), as-Sab’ul Matsani(tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang), alWafiyah (penyempurna), al-Kanzu (perbendaharaan), al Kafiyah (yang mencukupi), al-Asas (pondasi), an-Nur (cahaya), al-Hamdu (segala puji), al-Syukru (ucapaan terima kasih), al-Hamdu al-Aula (pujian yang utama), al-Hamdu alQushra (pujian singkat), ar-Ruqyah (jampi), asy-Syifa’ (obat), asy-Syafiyah (penyembuh), ash-shalah (shalat), suratut Thalab (permintaan), ad-Du‘a (berisi do‘a), as-Sual (pengaduan), ta‘limul Mas‘alah (adab meminta), al-Munajat (permohonan), al-Tafwidh (menyerahkan diri dengan segala-galanya).

Turunnya Surah Al-fatihah 

Sebagaimana namanya yang berbeda-beda, mengenai turunnya surat alFatihah pun banyak riwayat yang menyebutkan. Sebagian menyebutkan bahwa surat al-Fatihah diturunkan di Makkah, yaitu pada permulaan disyari’atkannya shalat, dan surat inilah yang pertama kali diturunkan secara lengkap tujuh ayat. Adapun rincian pendapat para ulama tentang tempat turunnya surah al-Fatihah sebagai berikut: 

  1. Makkiyah (surah yang diturunkan di Makkah). Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Qatadah, sdan Abu al-‘Aliyah. 
  2. Madaniyah (surah yang diturunkan di Madinah). Ini adalah pendapat Abu Hurairah, Mujahid, Atha‘ bin Yasar, az-Zuhri dan lainnya. 
  3. Pendapat lain mengatakan separuhnya diturunkan di Makkah dan separuhnya lagi diturunkan di Madinah. Abu Laits As-Samarqandi berkata: bahwa pendapat pertamalah yang kuat dan shahih, berdasarkan firman Allah Swt QS. al-Hijr ayat 87: Artunya:“Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan al-Quran yang agung.” (Q.S. al-Hijr: 87).


Artikel keren lainnya:

Memahami Budaya Gosip dari berbagai teori para ahli

Kebudayaan diciptakan dan dipertahankan melalui aktifitas komunikasi oleh para individu. Secara bersama-sama dalam prilaku kolektif menciptakan realita (kebudayaan) yang mengikat dan harus dipatuhi oleh tiap individu agar dapat menjadi bagian dari unit kelompoknya. (Djuarsa, S., 1994:193). 

Maka jelas bahwa antara komunikasi dengan kebudayaan terjadi hubungan yang sangat erat. Hubungan ini ditandai dengan saling interaksi dan bercengkrama yang sering disebut dengan gosip. Gosip diartikan sebagai fenomena yang berpotensial dalam menganalisis bagaimana kebudayaan dan masyarakat berkerja. Gosip selayaknya mampu memberikan petunjuk tentang dimensi yang terorganisir dan tersegmentasi dalam sebuah kelompok (SavilleTroike, 2003: 27). 

Tiap individu berkomunikasi dipengaruhi oleh budaya masing-masing, budaya memiliki tanggungjawab atas seluruh perilaku komunikatif serta makna yang dimiliki dan dihasilkan oleh tiap individu. Konsekuensinya, bila dua orang yang berbeda budaya bertemuan dan melakukan komunikasi maka akan berbeda pula pemaknaan yang dimilikinya, dan itu sangat jelas akan menimbulkan kesulitan tertentu. Dimana proses sebuah komunikasi dapat dikatakan sebagai bentuk ritual yang tidak hanya berfungsi sebagai penyampaian pesan saja, akan tetapi lebih pada adanya pengalaman simbolik untuk memproduksi, melanggengkan dan mengubah realita. Realita yang melahirkan simbol-simbol pada saat berkomunikasi. 

Gosip bisa bermakna positif maupun negatif, berikut saya paparkan tentang keduanya. Gosip atau membicarakan orang lain yang tidak ada bersama mereka, akan meningkatkan keterikatan sosial menurut berbagai penelitian yang telah dilakukan. 

Berikut saya kutipkan beberapa penemuan tentang gosip. Menurut Dr. Robin Dunbar professor psikologi dari Universitas Liverpool yang dikutip oleh Johana (2006:17), gosip adalah versi manusia tentang social grooming yaitu perilaku biasa di antara primata sosial lainnya. Robin mengambarkan seekor kera yang mengelus bulu dan mengambil kutu dari bulu kera lainnya, untuk memperkuat ikatan kelompoknya. 

Pada manusia Robin menganggap gosip membantu kita mengembangkan hubungan terpercaya dan mengangkat ikatan sosial (Johana, 2006: 231- 246). Selain itu psikolog Dr. Sarah Wert yang dijelaskan oleh Johana (2006:122-137) menjelaskan bahwa gosip merupakan sumber yang tidak akan habis dalam percakapan dengan orang lain. Kajiannya tentang gosip yang diterbitkan di Review of General Psychology menguraikan bahwa gosip meliputi beberapa bentuk perbandingan sosial. Dalam artikelnya tersebut Wert mencatat bahwa membandingkan diri dengan orang yang kurang terampil atau orang dengan status sosial lebih rendah dapat meningkatkan harga diri. Di samping itu membuat gosip tentang orang yang memiliki status yang tinggi, apakah itu pimpinan atau selebriti, dapat membantu kita memperoleh informasi yang akan membantu kita besaing dengan mereka dari status lebih tinggi sekaligus juga merendahkan mereka. Fakta gosip hanya dapat dikaji dalam konteks relasi yang lebih besar. 

Terdapat beberapa penelitian sebelumnya tentang gosip seperti penelitian Gluckman yang banyak dipengaruhi oleh Herkovitz yang menganggap gosip dapat mewujudkan kerekatan dan moralitas. Hal menjelaskan proses tersebut menunjukkan relasi antara pola komunikasi dengan pegaktifan nilai-nilai masyarakat yang dimiliki secara bersama. Proses interaksi yang mereka lakukan erat hubungannya antara satu individu dengan individu lain dan bagaimana hubungan tersebut terjalin dengan kelompok. 

Interaksi sosial adalah suatu hubungan yang mempunyai pengaruh secara dinamis antara individu dengan individu, antara individu dengan sebuah kelompok dalam situasi sosial (Santoso. 2010:164). Di sisi lain dalam berinteraksi di lingkup socio cultural kadang menimbulkan persoalan-persoalan yang berasal dari keragaman budaya. Kadang beda budaya dapat menimbulkan distorsi informasi dalam berinteraksi. 

Contoh: pada situasi sosial tertentu katakanlah ada tiga orang ibu-ibu yang sedang ngobrol di sebuah pos ronda di kompleks perumahan. Ketiganya sangat asik menceritakan sesorang yang tidak berada dalam lingkaran interaksi tersebut sebuat saja orang itu adalah si Z. Tidak lama kemudian datang seorang ibu katakanlah si A ke pos yang sedang diduduki ketiga ibu-ibu tadi, ibu si A ini pun ikut bercerita tentang sosok si Z. Ia menambahkan informasi yang tidak dibahas oleh ketiga ibu-ibu tadi yang terlebih dahulu telah mengobrol. Selanjutnya datang dua orang ibu-ibu lain sebut saja ibu B dan C, mereka pun ikut menceritai sosok si Z. Keduanya pun menambahkan bahkan mengurangi informasi tentang sosok si Z yang menjadi topik dalam pembicaraan. 

Nah dari kejadian ini dapat menarik kesimpulan bahwa dalam situasi sosial tertentu, saat kita berinteraksi, maksudnya lebih dari dua individu tentang sesuatu hal memungkinkan terjadinya distorsi informasi atau perubahan informasi yang telah dikurangi ataukah ditambahkan. Sehingga informasi tersebut tidak utuh lagi dan bisa jadi sudah tidak akurat sesuai realita yang ada (Junida, 2017:4).

Artikel keren lainnya:

6 Cara Menolong dan Menyembuhkan Diri Sendiri dari Masalah

Ada enam cara terbaik dan praktis membantu setiap manusia yang sedang menjalani masalah. Keenam cara tersebut adalah

1. Masalah Tidak untuk Disimpan, Tetapi Dibagikan

Menyimpan masalah adalah kecenderungan manusia pada umumnya. Menghindar agar masalah kita tidak diketahui oleh siapa pun sudah menjadi naluri kebanyakan manusia setelah jatuh dalam dosa. Pada umumnya orang memandang kesulitannya dengan cara sempit. Paradigma yang paling umum dalam memandang kesulitan dan penderitaan adalah pertama kali, menghubungkan masalahnya langsung dengan dosa terutama dengan dengan dosa orangtua atau nenek moyangnya. Tidak bisa disangkal memang akar masalah dan penderitaan manusia adalah dosa. Semua manusia sudah berdosa. Namun jangan dosa selalu dikambing‐ hitamkan sebagai penyebab segala kesulitan hidup. Ada banyak faktor lain yang bisa menyebabkan penderitaan manusia. Sebut saja karena faktor alam, karena kesalahan atau  kelalaian manusia lainnya, faktor setan, dan sebagainya. 

Paradigma kedua adalah roh jahat (iblis) dikambinghitamkan sebagai satu‐satunya penyebab  masalah atau penderitaan. Setan disudutkan sebagai penyebab kebiasaan buruk seperti berzinah. Jika paradigma setan sebagai penyebab tunggal dan utama, maka pendekatannya biasanya adalah dengan melakukan pengusiran setan (eksorsis). Ini tentu keliru. Jika kita menganggap setan sebagai penyebab, maka  kita tidak akan merasa  perlu ikut bertanggung jawab.
Paradigma ketiga adalah kebanyakan klien yang berasal dari budaya timur, menganggap kesulitan hidup tertentu seperti anak menggunakan narkoba dan atau sudah terinfeksi virus HIV sebagai aib yang memalukan. Akibatnya anggota keluarganya akan sulit berbagi dan mencari bantuan. Masalah akan disimpan selama mungkin.

2. Masalah Tidak Untuk Disesalkan Tapi Dirayakan. 

Pada umumnya manusia mengeluh sambil menyesali peristiwa‐ peristiwa sulit yang ia alami. Tak jarang mereka mengkambinghitamkan seseorang alias menyalahkan orang lain atas masalah yang ia alami. Saat anak kecanduan narkoba, si Ayah menuding ibu, "Ngapain saja kau di rumah? Aku kan sibuk kerja, mencari nafkah? Masa kau tidak tahu anak kita pakai putaw?" Sang ibu, tidak mau disalahkan begitu saja balas berteriak,

“Jangan sembarang menyalahkan orang lain ya! Kamu yang enak‐enakan di kantor dengan sekretarismu yang genit itu, pulang malam terus. Kapan kamu punya waktu untuk anakmu? Mana tanggung jawabmu sebagai kepala keluarga?”

Begitulah godaannya saat masalah datang, menyesalkan masalah dan mengkambinghitamkan orang lain. Kala kesulitan datang, biasanya kita protes, mencari kambing hitam siapa yang salah dan bisa kita salahkan. Kita akan berrtanya, "Mengapa hal ini menimpa saya?"; ”Kenapa harus saya?”, atau “Mengapa nasib saya begini sial?” Pertanyaan seperti itu tidak ada ujungnya. Buahnya adalah sungut‐ sungut dan kekecewaan.

Merayakan disini adalah mengganti penyesalan dengan kalimat bersyukur. Suatu sikap yang bersedia menerima kesulitan tanpa bersungut‐sungut. Sebaliknya mengembangkan sikap hati bersyukur. Bersyukur dalam segala hal. Agar kita dapat merayakan masalah, cobalah ajukan pertanyaan sebagai berikut: “Apa ya maksud Tuhan mengizinkan hal yang buruk menimpa saya?”

Bersyukur saat sulit memang sesuatu ketrampilan hidup dan perlu dilatih, dibiasakan agar menjadi bagian hidup. Bagaimana aplikasi praktisnya? Bersyukur dapat dilakukan di mana dan kapan saja, tidak perlu waktu dan tempat yang khusus. Hanya beberapa detik, saat berada di mobil, di dalam bis, saat memasak atau membersihkan rumah, saat mengerjakan tugas di kantor  atau sedang  di sekolah. Kita tidak harus menutup mata atau melipat tangan. Hati menjadi kunci utama doa bersyukur. 

3. Masalah Bukan Tanda Kelemahan, melainkan Kekuatan. 

Saat melihat seorang sahabat menderita sakit berat dan berkepanjangan, mudah bagi kita berkata “kasihan”. Untuk apa kasihan? Tidak perlu kasihan. Justru orang tersebut harus dikagumi, diijinkan mengalami hal yang sulit. Orang yang diijinkan oleh Allah menanggung masalah adalah orang kuat, bukan manusia lemah.

Contohnya adalah coba perhatikan atlet angkat besi. Semakin tinggi kelasnya, makin berat barbel yang harus diangkat. Hidup manusia seperti atlet angkat besi. Tuhan seperti Pelatih yang tak pernah menitipkan beban hidup melampaui kemampuan manusia. Jika seseorang hanya sanggup memikul beban masalah 50 kg, Dia tidak akan mengijinkan orang itu ditimpa masalah 70 kg.  Sesungguhnya pencobaan ‐ pencobaan yang Anda dan saya alami adalah pencobaan‐pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Ia tidak akan membiarkan kita dicobai melampaui kekuatan kita. Bahkan pada waktu kita dicobai, Ia menyediakan kekuatan agar kita  cakap  menanggungnya. Dalam  dunia angkat besi, atlet senior yang sukses, kelak menjadi pelatih yuniornya. Demikianlah kita yang sudah lebih dulu diizinkan Tuhan ditimpa pelbagai beban berat, disiapkan menjadi pelatih atau konselor bagi “yunior” kita.

4. Masalah Tidak Menjauhkan, Tetapi Mendekatkan Dengan Tuhan. 

Entah kenapa sifat manusia pada umumnya mencari Tuhan saat hidupnya terasa sulit dan sesak. Tetapi jika sudah aman dan lancar, wusss lupa deh.

5. Masalah Tidak untuk Dihindari, Tetapi Dijalani. 

Biasanya saat masalah berat datang, kita cenderung menyangkal. Misal saat mendengar anak tertabrak dan meninggal; atau menderita penyakit, atau saat mendengar kabar suami Anda punya WIL (wanita idaman lain). Manusia berharap masalah itu tidak benar‐benar terjadi. Lalu kita menjadi marah dan depresi.

Menjalani masalah berarti belajar berserah dan berpengharapan. Caranya, ya jalanilah masalah itu. Lakukanlah apa yang bisa dan harus kita lakukan. Lakukan dengan jiwa yang bersabar. Itulah bagian kita. Sementara, nantikan Allah mengerjakan bagian‐Nya. Perasaan kita pasti bergumul. Tapi paling tidak, sambil berenang dalam sungai masalah itu, kita mengikuti arus. Dalam perjalanan itu kita mencari ranting yang dapat menjadi pegangan kita untuk menahan arus. Memang, ini tetap tidak mudah, nyaris hanya suatu teori! Namun bukan berarti mustahil. Toh kita tidak sendiri, banyak orang dunia punya masalah yang sama.

6. Masalah Bukan Kutuk, Melainkan Berkat. 

Pada umumnya manusia memiliki berlatar belakang suku. Ada suku Jawa, Batak, Ambon, dan suku lainnya. Konsep kesukuan ikut mempengaruhi cara seseorang memandang penderitaan dan kesulitan. Sebutlah beberapa kasus penyakit yang relatif sulit sembuh seperti skizofrenia, autis , HIV/AIDS, dsbnya sering dipandang sebagai aib. Masalah disorientasi seksual dan gender dikaitkan kutuk, dosa, dan dengan setan. Mereka yang langsung menghubungkan kesulitan dengan dosa, atau kebiasaan buruk dengan ikatan roh jahat. Setan sering dikambinghitamkan sebagai penyebab dosa dan kebiasaan buruk. Tentu ini tidak benar dan tidak bertanggung jawab.

Artikel keren lainnya:

Kebijakan Pendidikan Amerika Serikat

Politik Pendidikan AS merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, terutama lembaga pendidikan formal yang diselenggarakan atau diakreditasi oleh negara. Campur tangan dan intervensi negara pada pendidikan sekolah formal tampaknya sering diabaikan oleh para orang tua. Karena itu perlu adanya mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh orang-orang dewasa (masyarakat) setempat terhadap penyelengaraan pendidikan sekolah-sekolah formal agar intervensi (kebijakan) negara dalam sector pendidikan bermakna positif bagi generasi berikutnya.

Selanjutnya tanggung jawab dan inisiatif kebijakan pendidikan diserahkan kepada Negara Bagian (setingkat Propinsi) dan Pemerintah Daerah/Distrik (setingkat Kabupaten/Kota). Di Amerika Serikat terdapat 50 Negara Bagian dan 15.358 Distrik. Jadi sebanyak itu lembaga yang diberi kewenangan dan otonomi untuk mengelola pendidikan.

Tujuan Pendidikan AS 

Karakteristik utama politik sistem pendidikan Amerika Serikat adalah menonjolnya DESENTRALISASI. Yang memberi otonomi seluas-luasnya kepada Pemerintah di bawahnya, yaitu Negara Bagian dan Pemerintah Daerah (Distrik). Meskipun Amerika Serikat tidak mempunyai system pendidikan yang terpusat atau yang bersifat nasional. Tujuan system pendidikan Amerika secara umum dirumuskan dalam 5 poin sebagai berikut: 

  1. Untuk mencapai kesatuan dalam keragaman; 
  2. Untuk mengembangkan cita-cita dan praktek demokrasi; 
  3. Untuk membantu pengembangan individu; 
  4. Untuk memperbaiki kondisi sosial masyarakat; dan 
  5. Untuk mempercepat kemajuan nasional.

Manajemen Pendidikan AS 

Manajemen pendidikan di Amerika Serikat dikelola berdasarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat Negara Bagian dan Pemerintah Daerah setempat. Di tingkat nasional (federal/pusat) dibentuk satu departemen, yaitu DEPARTEMEN PENDIDIKAN FEDERAL. Di tingkat Negara Bagian dibentuk sebuah badan yang diberi nama BOARD of EDUCATION. Badan ini bertugas dan berfungsi membuat kebijakan-kebijakan serta menentukan anggaran pendidikan untuk masing-masing wilayah (Negara Bagian). 

Pendanaan Pendidikan AS 

Sumber pendanaan berasal dari Anggaran Pemerintah Pusat (Federal), Anggaran Pemerintah Negara Bagian dan Anggaran Pemerintah Daerah

Isu-isu Pendidikan AS 

Menurut Agustiar Syah Nur (2001), ada beberapa isu dan masalah pendidikan yang dialami pemerintah dan masyarakat Amerika Serikat, antara lain: 

  • Banyaknya anak usia sekolah yang tidak diasuh langsung oleh orang tua mereka. 
  • Tingginya tingkat perceraian, sehingga banyak anak-anak usia sekolah yang hanya diasuh oleh ibunya. 
  • Tingginya tingkat imigrasi yang umumnya berasal dari kalangan tidak mampu. 
  • Ternyata kualitas pendidikan dan lulusan sekolah di AS masih kalah dibandingkan dengan negara-negara lain dalam standar internasional.

Reformasi Pendidikan AS 

Karena adanya berbagai permasalahan tersebut, pemerintah AS sejak tahun 1990 mencanangkan reformasi pendidikan. Pada tahun tersebut Presiden AS George H. B. Bush beserta seluruh Gubernur Negara Bagian (saat itu Bill Clinton termasuk menjadi salah satu Gubernur Negara Bagian) menyetujui reformasi pendidikan dengan mencanangkan 6 tujuan nasional pendidikan AS yang baru. Yaitu:

  • Pada tahun 2000, seluruh anak di AS di waktu mulai masuk sekolah dasar sudah siap untuk belajar. 
  • Pada tahun 2000, tamatan sekolah menengah naik sekurangkurangnya 90%. 
  • Pada tahun 2000, murid-murid di AS yang menyelesaikan pendidikannya pada “grade 4, 8 dan 12” mampu menunjukkan kemampuannya dalam mata pelajaran yang menantang, yaitu bahasa inggris, matematika, sains, sejarah, dan geografi. 
  • Pada tahun 2000, siswa-siswa AS adalah yang terbaik di dunia dalam bidang sains dan matematika. 
  • Pada tahun 2000, setiap orang dewasa AS dapat membaca dan menulis, memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan. Pada tahun 2000, setiap sekolah di AS harus bebas dari obat-obat terlarang dan kekerasan. 

Pokok-pokok reformasi tersebut dimaksudkan sebagai pegangan dalam membuat kebijakan-kebijakan pendidikan yang sudah harus segera diimplementasikan dan hasilnya sudah harus kelihatan pada tahun 2000. Gerakan reformasi pendidikan yang juga dilakukan: 

  • Meningkatkan persyaratan untuk menamatkan suatu jenjang pendidikan, 
  • Melaksanakan test standar untuk mengukur keberhasilan siswa, 
  • Menjalankan sistem penilaian yang ketat terhadap guru,
  • Memperbesar tambahan dana dari negara bagian bagi sekolah-sekolah. 

Akhirnya AS benar-benar memperoleh kemajuan di bidang pendidikan.

Artikel keren lainnya:

Pengertian Kebebasan, Fungsi dan Jenis-jenisnya

Kebebasan adalah salah satu ciri khas manusia dan merupakan anugerah yang luar biasa dari Tuhan. Anugerah ini sangat meninggikan martabat manusia, karena berupa kemampuan untuk mengarahkan hidupnya kepada kesempurnaan. Dari segi etimologi, istilah kebebasan berasal dari kata “bebas” (kata sifat) yang berarti merdeka, tidak terikat oleh aturan. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia kata “bebas” mempunyai arti tidak terhalang, tidak terganggu, sehingga dapat bergerak, berbicara, bertindak. Kata bebas menggambarkan pada suatu kondisi yang memungkinkan seseorang untuk bertindak lepas dari kewajiban, tuntutan, perasaan takut, sehingga dapat melakukan tindakannya dengan murni dari dirinya sendiri. 

Dalam filsafat pengertian kebebasan dipahami sebagai kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Kebebasan ini merupakan potensi untuk berpikir, berkehendak dan bertindak tanpa paksaan. Kebebasan tidak dimengerti hanya sebagai sebuah situasi atau suasana dimana manusia dengan leluasa melakukan sesuatu, tetapi dipahami sebagai sebuah kemampuan. Kemampuan ini mengungkapkan martabatnya sebagai manusia, sehingga ia dapat dibebani kewajiban dan tanggungjawab moral.

Jenis-jenis Kebebasan 

Pertama, kebebasan eksistensial: kebebasan dalam arti kemampuan manusia untuk menentukan tindakannya sendiri. Sifat kebebasan ini positif karena tidak menekankan bebas dari apa, melainkan bebas untuk apa. Melalui kebebasan eksistensialnya, manusia sanggup menentukan tindakannya sendiri. Tindakan di sini, dapat diartikan sebagai kegiatan yang disengaja, dilakukan dengan maksud dan tujuan tertentu, dengan kesadaran tergantung penuh pada diri kita sendiri. Kebebasan eksistensial menyangkut seluruh pribadi manusia dan tidak terbatas pada salah satu aspek saja. Kebebasan ekstensial merupakan kebebasan tertinggi karena mengarah pada suatu cita-cita yang bisa memberi arah dan makna kepada kehidupan manusia. 

Kedua, kebebasan sosial: kebebasan ini dihayati dalam hubungannya dengan orang lain atau kebebasan yang diterima dari orang lain (bebas dari apa). Kebebasan ini dipahami sebagai realitas negatif artinya, dimana kemungkinan kita untuk menentukan tindakan kita sendiri tidak dibatasi oleh orang lain. Seseorang bebas dalam arti sosial, apabila ia tidak berada di bawah paksaan, tekanan, atau kewajiban dan larangan dari pihak lain.

Ketiga, kebebasan moral: kebebasan ini berbicara mengenai kewajiban dan tanggungjawab manusia. Kewajiban dan tanggungjawab itu diaplikasikan dalam peran, status, profesi, posisi, manusia yang hidup dengan manusia lain. Kebebasan moral diaktualisasikan dalam prilaku individu yang berhubungan langsung dengan kewajiban dan tanggungjawabnya. 

Manusia yang memiliki kebebasan moral adalah manusia normal dalam arti, manusia yang tidak mempunyai hambatan fisik atau psikis misalnya mental retarded atau stroke, sehingga mampu mengimplementasikan atau mengekspresikan dirinya dalam berbagai tindakan. Tindakan ini merupakan pengejawantahan dari kebebasan moral seseorang berdasarkan tuntunan suara hati dengan pergulatan analisa rasional dan kondisional. Kebebasan moral berbicara mengenai kemampuan manusia untuk menerima perintah suara hati (pergulatan kebebasan eksistensial dan sosial). Dalam pergulatan dan perbenturan ini, suara hati akan suara memberikan jawaban dan keputusan untuk berprilaku (action) dengan tepat dan benar.

Fungsi Kebebasan 

Kebebasan moral berfungsi untuk memupuk kesadaran moral manusia. Seseorang yang memiliki kebebasan akan melihat setiap kewajiban moral sebagai sesuatu yang sangat berguna bagi dirinya dan dikehendaki untuk dilakukan. Mentaati kewajiban berarti mentaati dirinya sendiri. Mentaati kewajiban moral, secara otonom sedikitpun tidak merendahkan martabat manusia, karena ia telah menghayati kebebasannya dengan penuh. Kebebasan moral sebagai kemampuan untuk menentukan diri sendiri, diaplikasikan dalam bentuk tindakan yang bebas. Melalui tindakan itu, manusia dapat mengenal identitas atau orang macam apakah dia sebenarnya.

Kebebasan moral mempertebal dan meninggikan rasa tanggung jawab, karena bila tidak ada kebebasan, kemampuan untuk bertanggung jawab pun akan menyurut. Melakukan kewajiban tidak hanya disadari oleh sesuatu yang diwajibkan (harus dilakukan) melainkan dengan sadar bahwa saya melakukan itu demi suatu kebaikan yang mau dijamin oleh kewajiban itu. Dengan kata lain, sikap moral yang dewasa adalah sikap yang bertanggung jawab untuk mencapai yang baik dan bernilai bagi dirinya sendiri dan orang lain (bonum comune).

Artikel keren lainnya:

Inilah yang dinginkan oleh Ibu kalau anda sudah dewasa namun belum menikah

Tanpa diketahui anak, pada dasarnya ada beban bagi ibu ketika melihat anaknya yang sudah dewasa belum juga menemukan pendamping hidupnya. Ada ibu yang memilih mengkomunikasikan secara langsung dengan anaknya, namun tidak sedikit pula ibu yang hanya menunjukkannya melalui sikap dan prilaku penuh makna. Olehnya itu, berikut beberapa perasaan ibu terhadap anaknya ketika sudah dewasa.

Ibu Menginginkan Anaknya Menikah 

Setiap ibu menginginkan anaknya untuk menikah ketika dianggap sudah dewasa. Ibu tahu kapan anaknya sudah siap untuk membina keluarga baru. Kadangkala niat ibu demikian tidak diungkapkan namun dapat dibaca melalu cara dan tutur kata beliau terhadap anaknya. 

Ibu Resah Ketika Anaknya Belum Mendapatkan Calon Pendamping Hidup 

Setiap ibu memiliki perasaan resah ketika anaknya yang dirasa sudah waktunya untuk menikah namun belum juga memiliki calon pendamping hidup. Apalagi melihat anaknya sudah pantas untuk membangun keluarga sendiri dilihat dari segi umurnya sudah cukup  serta kesiapan sikap dan sifat yang dimiliki anaknya sudah menenuhi untuk menikah. 

Ibu Selalu Memberi Pesan Positif untuk Anaknya 

Orang tua adalah orang yang terpenting bagi setiap anak. Anak tidak akan lahir tanpa orang tua, dan yang paling penting adalah ibu, sehingga surga berada dibawah kaki ibu. Selain agama, pesan orang tua juga adalah hal yang patut anak patuhi sebagai pegangan atau pedoman hidup.Maka tidak ada ibu yang tidak memberikan pesan positif untuk anak – anaknya. 

Ibu Ingin Melihat Anaknya Bahagia 

Semua ibu akan selalu ingin melihat kebahagian anak – anaknya. Hal yang paling membuat ibu bahagia adalah melihat anaknya juga bahagia. Salah satu kebahaguan ibu terhadap anaknya adalah ketika terwujud keinginan mereka untuk menikah 

Ibu Yang Authoritarian (cenderung berperlaku bermusuhan) 

Dalam pola hubungan ini sikap acceptance orang tua rendah, namun kontrolnya tinggi, suka menghukum secara fisik, bersikap mengkomando (mengharuskan / memerintah anak untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi), bersikap kaku (keras), cenderung emosional dan berikap menolak, sedangkan dipihak anak, anak mudah tersinggung, penakut, pemurung, dan merasa tidak bahagia, mudah terpengaruh, stress, tidak mempunyai arah masa depan yang jelas tidak bersahabat. 


Ibu Yang Authoritative (cenderung terhindar dari kegelisahan dan kekacauan) 

Dalam hal ini acceptance orang tua dan kontrolnya tinggi, bersikap responsive terhadap kebutuhan anak, mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau -pertanyaan, memberi penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik dan buruk. Sedangkan anak bersikap bersahabat, memiliki rasa percaya yang tinggi, mampu mengendalikan diri (self control) bersikap sopan, mau bekerja sama, memiliki rasa taunya tinggi, mempunyai tujuan atau arah hidup yang jelas dan berorientasi pada prestasi. 

Artikel keren lainnya:

Pengertian Komunikasi Interpersonal

Mulyana (2004, p.73.) mengungkapkan, komunikasi interpersonal atau yang sering disebut juga dengan komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antara orang – orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun non verbal, Sedangkan menurut Devito (2007) “Interpersonal communication is the communication that takes place between two personswho have an established relationship, the people are some way ‘connected’” (DeVito, 2007, p.5) dengan berkomunikasi secara interpersonal seseorang menjadi tahu siapa dirinya yang sebenarnya, dan bagaimana pandangan orang lain terhadap dirinya (DeVito, 2007). 

Elemen dalam komunikasi interpersonal

Berbagai elemen dalam komunikasi interpersonal adalah sebagai berikut (DeVito, 2013, p.10 – 21) 

1. Sumber – Penerima (Source – Receiver) 

Komunikasi interpersonal setidaknya melibatkan dua individu. Setiap individu berperan sebagai pengirim pesan dan lainnya menjadi penerima. Source – receiver (sumber – penerima) menujukan bahwa setiap orang yang terlibat dalam komunikasi interpersonal memiliki fungsi tersendiri. 

2. Enkoding – decoding (Encoding – Decoding) 

Encoding adalah kegiatan memproduksi pesan, contoh : berbicara atau menulis. Decoding adalah kebalikan dari proses encoding, yaitu kegiatan untuk memahami pesan, contoh : mendengarkan atau membaca 

3. Pesan (message) 

Messages atau pesan adalah sinyal yang dilakukan stimuli untuk menerima. Sinyal ini bisa berupa sesuatu yang didengarkan (audiotory), dilihat (seeing), diraba atau disentuh (touching), dibau (smelling), dirasakan (tasting, atau kombinasi dari berbagai jenis sinyal. Respon dari adanya pesan dapat berupa umpan balik dan umpan maju. Umpan balik adalah informasi yang dikirim kembali ke sumbernya. Umpan balik dapat berasal dari sendiri maupun orang lain. Misalnya, pembicara sedang berbicara, ia mendengar dari dirinya sendiri. Artinya dia menerima umpan balik dari dirinya sendiri.Sedangkan umpan maju adalah informasi yang disediakan sebelum mengirim pesan utama. 

4. Hambatan atau gangguan (noise) 

Hambatan atau gangguan adalah segala seuatu yang mendistrosi atau menyimpangkan pesan.Gangguan dapat menghalangi penerima dengan menerima pesan dan sumber dalam mengirimkan pesan.Gangguan komunikasi interpersonal meliputi gangguan fisik, gangguan fisiologi, gangguan psikologis, dan gangguan semantic. Gangguan fisik adalah inferensi eksternal dalam transmisi fisik isyarat atau pesan lain dari sumber atau penerima. Contohnya adalah desingan suara mobil yang lewat, suara berisik yang menganggu dilingkungan sekitar, dan lainya.Gangguan fisiologis yaitu gangguan yang berasal dari diri komunikator atau komunikan.Misalnya, kelemahan pengelihatan, gangguan pendengaran, masalah ingatan, dan lainnya.Gangguan psikologis adalah inferensi kognitif atau mental.Contohnya yaitu, bias dan prasangka pada sumber dan penerima. Pola pikir yang tertutup, emosi yang eksterm (marah, sedih, jatuh cinta, lainnya). Yang terakir adalah gangguan semantic, yaitu gangguan yang terjadi dimana pembicara dan pendengar memiliki cara pemaknaan pesan yang berbeda, maka ketika salah satu menggunakan bahasa jargon, maka orang yang lainya akan kesulitan untuk mengartikan sesuai dengan apa yang dimaksud oleh sumber pesan. 

5. Saluran (Channel) Saluran 

komunikasi adalah media dimana pesan disampaikan.Hal ini seperti jembatan yang menghubungkan sumber dan penerima.Cara untuk memahami tentang saluran adalah dengan mengetahui mereka sebagai alat komunikasi.Contoh : kontak tatap muka, telepon, instant messaging, email, dan sebagainya. 

6. Konteks (Context) 

Komunikasi selalu berada pada konteks atau situasi yang mempengaruhi bentuk dan isi pesan.Konteks komunikasi memiliki empat dimensi, yaitu dimensi fisik, dimensi temporal, dimensi sosial psikologis, dan konteks budaya. Dimensi fisik adalah lingkungan nyata atau konkrit dimana komunikasi berlangsung, contohnya taman, auditorium, meja makan keluarga, dan sebagainya. Dimensi temporal berhubungan tidak hanya pada hari dan saat yang telah berlaku, tetapi juga dimana lebih tepatnya pesan masuk dalam rangkaian kegiatan komunikasi.Dimensi sosial psikologi, contohnya status hubungan antar partisipan, aturan main, dan permainan ketika orang bermain.Konteks budaya berkaitan dengan kepercayaan budaya dan kebiasaan orang berkomunikasi.Ketika berinteraksi dengan orang yang berbeda budaya, seseorang bisa mengikuti aturan yang komunikasi yang berbeda. 

7. Etika (Ethics) 

Komunikasi memiliki konsekuensi, maka dari itu komunikasi interpersonal juga melibatkan etika.Etika komunikasi interpersonal yang selalu ada disetiap budaya adalah, kejujuran, menghormati martabat orang lain, dan tidak menyakiti orang yang tidak bersalah. Oleh karena itu, etika termasuk sebagai konsep fondasi dari komunikasi interpersonal. 

Artikel keren lainnya:

Cara Menilai Kualitas Skripsi

Skripsi merupakan suatu karya ilmiah seseorang yang lahir dari suatu proses pendidikan. Sebagai salah satu karya ilmiah, maka sudah sewajarnya penulisan skripsi mengikuti suatu persyaratan atau standar ilmiah. Mengenai hal ini Syafri (2001:2) menegaskan bahwa kuallitas “basic” yang seharusnya dimiliki oleh karya ilmiah tidak boleh melanggar nilai-nilai ilmiah yang paling dasar. Skripsi harus tetap sebagai produk ilmiah yang mengikuti persyaratan atau standar ilmiah pula. 

Kualitas penulisan skripsi dapat menjadi tolok ukur untuk menilai kredibilitas kesarjanaan. Kredibilitas kesarjanaan antara lain diukur berdasarkan kemampuannya menyusun karya ilmiah dan dengan itu pula ditantang untuk berpikir ilmiah. Berkaitan dengan kredibilitas kesarjanan seseorang, skripsi mempunyai peranan dalam kancah akademis di perguruan tinggi. 

Darmono (2004:2) menyebutkan berbagai peran skripsi yaitu; 
  1. merupakan kegiatan belajar yang mengarahkan mahasiswa untuk mengintegrasikan pengalaman belajarnya dalam menghadapi suatu masalah secara mendalam, 
  2. merupakan sarana kegiatan belajar mahasiswa untuk meningkatkan kemampuannya dalam mengintegrasikan pengalaman dan keterampilan yang telah diperoleh dan 
  3. memberi peluang kepada mahasiswa untuk melatih diri dalam hal mengemukakan dan menyelesaikan masalah secara mandiri dan ilmiah. 

Kemampuan menalar dan mengingat merupakan prasyat berikutnya. Seorang peneliti harus menghubung-hubungkan aneka fenomena baik yang sesuai maupun yang bertentangan. Dia harus mempunyai kemampuan berpikir secara baik secara induktif maupun deduktif, menafsirkan fakta untuk menjadi informasi dan daya penjelas. Kemampuan berpikir orisinil dan objektif harus dimunculkan, karena peneliti harus brilian dan punya keberanian, kreatif dan dapat mengabstraksikan aneka gejala. 

Kemampuan berpikir orisinil antara lain dibutuhkan pada saat menyusun instrumen, merumuskan asumsi, merumuskan definisi permasalahan dan menarik kesimpulan. Persyaratan berikutnya adalah kesabaran. Kesabaran diperlukan dalam rangka pengolahan data penelitian, baik penelitian dengan pendekatan kuantitatif maupun penelitian dengan pendekatan inkuiri naturalistik. Persyaratan lain yang tidak kalah pentingnya adalah kapasitas dalam bekerjasama. Peneliti harus dapat bekerjasama dalam tim dengan latar keilmuan yang sama atau berbeda, bekerjasama dengan enumerator (pengumpul data), khalayak asaran, pejabat birokrasi terkait dan lain-lain. 

Persyaratan terakhir adalah kebebasan pribadi. Kebebasan ini berkaitan dengan kerja penelitian. Kerja penelitian adalah kerja ilmiah dan kerja kreatif. Untuk dapat melakukan penelitian dengan baik, peneliti tidak merasa dikungkung (diikat) oleh subjek di luar dirinya dan tidak dihantui oleh pengalaman-pengalaman buruk masa lampaunya dalam menyelenggarakan penelitian.

Indikator Kualitas Penulisan Skripsi 

Struktur penulisan skripsi beserta komponen-komponennya biasanya disusun berdasar salah satu format yang dianut dan disusun sebagaimana yang disepakati dan ditentukan oleh suatu lembaga. Sosok skripsi biasanya terdiri atas tiga bagian, yakni bagian awal, bagian pokok, dan bagian akhir.

Pendahuluan 

Bagian ini adalah bab pertama skripsi yang mengantarkan pembaca untuk mengetahui ikhwal topik penelitian, alasan, dan pentingnya penelitian. Oleh karena itu, bab pendahuluan memuat uraian tentang (1) latar belakang masalah penelitian, (2) rumusan masalah dan identifikasi masalah (3) tujuan penelitian, (4) kegunaan penelitian. Peneliti harus mampu memperoleh konfirmasi bahwa fenomena yang diamatinya itu masih merupakan masalah yang aktual dan relevan dengan masa kini. Untuk mendapatkan konfirmasi tentang hal ini perlu berkonsultasi dengan khasanah ilmu pengetahuan, yaitu kepustakaan atau literatur dalam berbagai bentuk sumber informasi. Akhirnya sebagai ulasan penutup dari latar belakang yaitu menyangkut tujuan fungsional penelitian, yaitu berupa harapan apa yang akan diperoleh setelah dilakukannya penelitian. 

Topik yang pernah diteliti boleh saja diteliti, asal penelitian yang baru itu dapat menghasilkan sesuatu yang baru, yang berbeda dari sebelumnya, yang bisa mengatasi kekurangan hasil penelitian itu, atau dalam penelitian yang baru itu digunakan teori lain atau metode lain yang diduga dapat menghasilkan temuan yang lain dari sebelumnya. Rumusan masalah adalah rumusan persoalan yang perlu dipecahkan atau pertanyaan yang perlu dijawab dengan penelitian. Rumusan itu tidak harus dalam bentuk kalimat tanya, tetapi hendaklah mengandung kata-kata yang menyatakan persoalan atau pertanyaan, yakni apa, siapa, berapa, seberapa, sejauh mana, bagaimana (bisa tentang cara atau wujud/keadaan), di mana, ke mana, dari mana, mengapa, dan sebagainya. 

Rumusan masalah harus diturunkan dari rumusan topik, tidak boleh keluar dari lingkup topik. Oleh karena itu, rumusan masalah hendaklah mencakupi semua variabel yang tergambarkan dalam rumusan topik. Kalau ada variabel umum dan khusus, hendaklah dirumuskan masalah pokok berserta sub- submasalahnya. Jadi, rumusan masalah harus terinci dan terurai dengan jelas agar dapat dipecahkan dan dicarikan datanya untuk pemecahannya. Rumusan masalah yang baik harus memungkinkan untuk menentukan metode pemecahaannya dan mencarikan datanya. Untuk itu masalah-masalah perlu diidentifikasi dengan baik. Dengan identifikasi masalah itu, permasalahan rumusan masalah menjadi operasional; maksudnya masalah-masalahnya dapat dipecahkan, karena variabel atau wujud data yang diperlukan dan teknik pemerolehannya dapat diprakirakan.

Tujuan penelitian mengungkapkan apa yang hendak dicapai dengan penelitian. Tujuan dirumuskan sejajar dengan rumusan masalah. Kegunaan penelitian, menguraikan akan arti kegunaan atau pentingnya penelitian dilakukan, baik bagi pengembangan ilmu maupun bagi kepentingan praktik. Uraian ini sekaligus berfungsi untuk menunjukkan masalah yang dipilih memang layak diteliti.

Bab Teori yang Digunakan untuk Landasan Penelitian 

Dalam penelitian diperlukan dua landasan, yakni kerangka teoritis dan kerangka metodologi. Kerangka teoritis ialah teori yang digunakan untuk kerangka kerja penelitian tentang topik yang diambil untuk diteliti. Kerangka metodologi ialah data tentang topik yang diteliti. Keduanya diuraikan dalam dua bagian karya ilmiah yang berbeda, tetapi berturutan. Kerangka teoritis diuraikan pada bab II, sedangkan kerangka metodologi diuraikan pada bab III. 

Dalam kerangka teoritis dinyatakan teori apa yang digunakan untuk landasan kerja penelitian. Teori itu bisa disusun sendiri secara eklektik, bisa juga berupa teori yang digunakan oleh seorang ahli. Namun, teori apa pun yang digunakan harus dipertanggungjawabkan melalui kajian sejumlah pustaka yang memuat hasil penelitian dalam lingkup topik penelitian yang menggunakan teori terpilih ataupun yang menggunakan teori yang berbeda. Teori itu dikaji secara kronologis, dari yang lama sampai dengan yang mutakhir untuk menunjukkan kemajuan hasil penelitian sejalan dengan perkembangan teori. Dengan cara itu, di antara sederet teori, keunggulan teori yang dipilih sebagai landasan kerja penelitian menjadi tampak. 

Dukungan dasar teoritis dalam rangka memberi jawaban terhadap pendekatan pemecahan masalah diartikan sebagai menyusun kerangka teoritis yang berfungsi sebagai dasar penyusunan hipotesis penelitian.Dengan uraian tentang teori itu hakikat topik penelitian menjadi jelas. Variabel-variabel, masalah, dan tujuannya tergambarkan secara operasional. Data pun dapat diidentifikasi, sedangkan lahan pengambilan data dapat ditentukan. Dengan demikian, teknik pengumpulan, pengolahan, dan analisis data dapat dirancang. Jadi, kerangka teoritis tidak hanya melandasi identifikasi sasaran, tetapi juga melandasi metode penelitian.

Bab Metode penelitian 

Dalam metode penelitian kuantitatif, prosedur penelitian dimulai dari pengumpulan data, pengolahan data dan diakhiri dengan analisis data. Yang perlu diuraikan dalam Bab III (pendekatan atau penelitian kuantitatif) adalah: (1) jenis dan desain penelitian, (2) populasi, sampel dan teknik pengambilan sampel, (3) variabel penelitian yang dirumuskan secara operasional, (4) instrumen penelitian disertai penentuan validitas dan reliabilitasnya, (5) teknik pengumpulan data, serta (6) teknik pengolahan dan analisis data. 

Dalam uraian tentang metode penelitian itu tidak cukup hanya disebut istilah-istilah, seperti angket,guide interview,observasi, wawancara. Masing-masing istilah tersebut perlu diterangkan prosedur penggunaan atau pelaksanaannya. Bahkan, kegunaan dari masing- masing teknik atau metode yang digunakan perlu diterangkan secara jelas. 

Sebaliknya pengertian populasi, sampel, teknik pengambilan sampel, angket, guide interview, guide observation, wawancara dan sebagainya tidak perlu diuraikan sebagaimana dalam mata kuliah metodologi penelitian. Yang diuraikan adalah siapa atau apa populasinya, berapa ukuran populasinya, berapa ukuran sampelnya, apa teknik penarikan sampelnya, apa alat yang digunakan untuk mengumpulkan data, apa teknik pengumpulan dataata, apa teknik pengumpulan datanalisis data yang dipilih dan digunakan. Masing- masing metode penelitian yang dipilih perlu diuraikan secara operasional sesuai dengan apa yang dikerjakan peneliti.

Bab Hasil Penelitian dan Pembahasan 

Hasil penelitian dimuat dalam bab tersendiri, tetapi tidak harus dalam satu bab. Banyaknya bab bergantung kepada organisasi temuannya dalam pemecahan masalah. Jawaban atas masalah yang dirumuskan di bab pendahuluan harus diuraikan dengan jelas, sistematis, dan tuntas. Bab hasil penelitian dan pembahasan ini memang berisi hasil penelitian beserta penjelasannya. Akan tetapi, judul bab ini tidak harus berbunyi Hasil Penelitian dan Pembahasan. Judul bab dapat dirumuskan sesuai dengan rincian identifikasi masalah dari topik karya ilmiah.

Bab Penutup 

Bagian penutup merupakan bab terakhir karya ilmiah. Isinya adalah simpulan dan saran. Simpulan harus sejalan dengan masalah, tujuan, dan uraian tentang hasil penelitian dan pembahasannya. Saran harus sejalan dengan simpulan atau temuan. Saran hendaklah disertai dengan argumentasi dan juga disertai jalan keluarnya yang dapat bersifat praktis atau teoretis.

Artikel keren lainnya: