Beranda · Pendidikan · Politik · Pemerintahan · Kesehatan · Ekonomi · Life · Manajemen · Umum

7 Perspektif Agresif dalam ranah Psikolgikal

Banyak perspektif agresi yang dijelaskan secara psikologis yang mencoba mendiskripsikan bagaimana munculnya perilaku agresif ini. Krahe (2001) setidaknya mencatat ada tujuh perspektif agresif dalam ranah psikolgikal. 

1. Perspektif psikoanalisis. 

Menurut perspektif psikoanalisis seperti yang dijelaskan oleh Freud bahwa dalam diri manusia selalu mempunyai potensi bawah sadar yaitu suatu dorongan untuk merusak diri atau thanatos. Pada mulanya, dorongan untuk merusak diri tersebut ditujukan untuk orang lain. Operasionalisasi dorongan tersebut dikatakan oleh Baron dan Byrne (1994) dapat dilakukan melalui perilaku agresif, dialihkan pada objek yang dijadikan kambing hitam/ korban, atau mungkin disublimasikan dengan cara-cara yang lebih bisa diterima masyarakat. Bahkan, Freud (dalam Zastrow, 2008) percaya bahwa, “humans have a death wish that leads them to enjoy hurting and killing others and themselves,” sehingga tidaklah mengherankan apabila kita juga sering mendapatkan informasi adanya orang-orang yang melakukan bunuh diri, karena di dalam diri manusia ada naluri kematian yang mendorong manusia senang menyakiti tidak hanya kepada orang lain tetapi juga kepada diri sendiri. 

2. Perspektif frustrasi-agresi 

Perspektif frustrasi-agresi atau hipotesis frustrasi-agresi (frustrationaggression hypothesis) yang berandaian bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan, akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustrasi, demikian ulasan Dollard, Doob, Miller, Mowrer, dan Sears (Brigham, 1991). Menurut formulasi ini, agresi bukan dorongan bawaan, tetapi karena frustrasi merupakan keadaan yang cukup universal, agresi tetap merupakan dorongan yang harus disalurkan. Selanjutnya, Dollard, Doob, Miller, Mowrer, dan Sears (Brigham, 1991) lebih jauh mengemukakan bahwa walaupun frustrasi menimbulkan perilaku agresif tetapi perilaku agresif dapat dicegah jika ada hukuman terhadap pelaku. Dalam kenyataannya, tidak setiap perilaku agresif dapat diarahkan pada sumber frustrasi, sehingga orang akan mengarahkan pada sasaran lain (Worchel & Cooper, 1986). 

3. Perspektif neo-asosianisme kognitif 

Perspektif neo-asosianisme kognitif merupakan pengembangan daripada hipotesis frustrasi-agresi oleh Berzkowitz (1993). Perspektif ini menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa yang tidak mengenakkan akan menstimulasi perasaan negatif (afek negatif). Kemudian, perasaan negatif selanjutnya akan menstimulasi secara otomatis dan reaksi motorik; yang berasosiasi dengan reaksi melawan atau menyerang. Asosiasi ini menimbulkan perasaan marah (emosi) dan takut. Sejauh mana perilaku agresif terbentuk, tergantung kepada proses kognisi tingkat tinggi seseorang (Brehm & Kassin, 1993). Kekuatan relatif dari respon menyerang atau melarikan diri tergantung faktor genetik, pengalaman masa lalu, faktor kognisi, dan faktor-faktor situasi (Brigham, 1991; Brehm & Kassin, 1993; Baron & Byrne, 1994). Hal demikian sesuai dengan pendapat Steffgen dan Gollwitzer (2007) bahwa emosi bukan hanya merupakan gejala dalam perilaku agresif, ianya dapat juga merupakan pencetus (trigger), penguat ( ), moderator atau bahkan merupakan ultimate goals dari perilaku agresif. 

4. Model pengalihan rangsangan

Model pengalihan rangsangan, dibangun berdasarkan teori emosi dua faktor, yang memiliki pandangan bahwa intensitas pengalaman kemarahan merupakan fungsi dua komponen, yaitu 1) kekuatan rangsangan aversif, dan 2) cara rangsangan itu dijelaskan dan diberi label (Schachter, 1964; Zillmann, 1979). Selain itu, Zillmann (Krahe, 2001) juga merumuskan bahwa jika suatu rangsangan segera diketahui dengan jelas oleh individu, ia akan mencoba mencari penjelasan dengan mendasarkannya pada stimulus informasional yang ada dalam situasinya dari sumber-sumber netral atau tidak relevan mungkin akan dialihkan ke rangsangan yang ditimbulkan oleh stimulasi aversif melalui proses miss-attribution (kesalahan atribusi). Rangsangan yang dibangkitkan oleh sumber yang tidak berhubungan dengan stimulasi aversif mungkin salah diatribusikan pada kejadian aversif sehingga mengintensifkan kemarahan yang ditimbulkan oleh kejadian semacam itu. Tetapi yang penting dalam hal ini adalah adanya kesadaran tentang sumber asli rangsangan telah hilang, sehingga individu tersebut masih merasakan rangsangan itu namun sudah tidak lagi menyadari asalnya. 

5. Pendekatan sosial-kognitif

Pendekatan sosial-kognitif, yang dipelopori oleh Huesmann (1988, 1998) telah memperluas perspektif bahwa cara orang memikirkan kejadian aversif dan reaksi emosional yang mereka alami sebagai sebuah akibat, merupakan aspek penting dalam menentukan manifestasi dan kekuatan respon agresifnya. Pendekatan ini telah menemukan titik temu tentang perbedaan individual dalam agresi sebagai fungsi perbedaan dalam pemrosesan informasi sosial dengan melontarkan dua issue khas yaitu: 1) perkembangan skemata (schemata) kognitif yang mengarahkan performa sosial perilaku agresif, dan 2) cara-cara pemrosesan informasi individu yang agresif dan yang non agresi (Krahe, 2001). Pandangan ini sejalan dengan pemikiran dalam teori kognitif dari Goldstein (dalam Payne, 2005). Teori kognitif Goldstein beranggapan bahwa tingkah laku manusia digerakkan oleh pikiran, bukan pada sekedar dorongan-dorongan yang tidak disadarinya, yang ada pada dirinya. 

6. Teori pembelajaran sosial

Teori pembelajaran sosial, yang dikembangkan secara lebih luas oleh Albert Bandura. Teori ini berkeyakinan bahwa perilaku agresif merupakan perilaku yang dipelajari dari pengalaman masa lalu apakah melalui pengamatan langsung (imitasi), pengukuh positif, dan karena stimulus diskriminatif. Perilaku agresif juga dapat dipelajari melalui model (Modeling) yang dilihat dalam keluarga, dalam lingkungan kebudayaan setempat atau melalui media massa (Bandura, 1973). Disamping itu, apakah perilaku agresi akan semakin meningkat atau menurun tergantung sejauh mana pengukuh/penguat diterima. Perilaku agresi yang disertai pengukuh positif akan meningkatkan perilaku agresi. Pengukuh positif dalam konteks sehari-hari seringkali diekspresikan dengan persetujuan verbal dari orang-orang di sekelilingnya (Wiggins, Wiggins & Zanden, 1994). Hal ini sering kali dijumpai pada kelompok yang mempunyai sub budaya agresif separti gang remaja, kelompok militer, maupun kelompok olah raga beladiri seperti tinju, silat dan lain-lain. Perilaku agresi yang disertai pengukuh negatif juga mampu meningkatkan perilaku agresi. Dalam hal ini, perilaku agresi dilakukan karena seseorang menjadi korban dari stimulus yang menyakitkan separti diejek atau diserang orang lain dan ia melakukan pembalasan. Inilah yang dikenal dengan istilah Model Belajar melalui pengalaman langsung. 

7. Model interaksi sosial

Model interaksi sosial, menurut model ini perilaku agresif dipandang sebagai pengaruh sosial yang koersif. Tedeshci dan Felson (1994) telah memperluas analisis perilaku agresif menjadi teori interaksi sosial mengenai tindakan koersif. Tedeshi dan Felson lebih menyukai terminologi koersif dibanding perilaku agresif, yang dipandang lebih tradisional dengan alasan; 1) bahwa istilah koersif memiliki beban nilai yang tindakan menyakiti sebagai sesuatu yang dapat atau tidak dapat dibenarkan, dan alasan ke 2) adalah bahwa konsep koersif memasukkan ancaman dan hukuman maupun paksaan badaniah sebagai strategi penting untuk menyakiti atau mendapatkan kepatuhan dari target yang menolak untuk disakiti atau untuk patuh. Dalam model ini, Tedeshci dan Felson (1994) berpandangan bahwa strategi koersif dipergunakan oleh si pelaku untuk menyakiti targetnya atau untuk membuat targetnya mematuhi tuntutan pelaku berdasarkan tiga tujuan utama, yaitu mengontrol perilaku orang lain, menegakkan keadilan, dan mempertahankan atau melindungi identitas positif. Oleh karena itulah tindakan koersif ini dikonsepkan sebagai hasil proses pengambilan keputusan dimana pelakunya pertama-tama memutuskan menggunakan strategi koersif untuk mempengaruhi orang lain, kemudian memilih bentuk koersi tertentu diantara pelbagai pilihan yang ada.

Artikel keren lainnya:

1 Tanggapan untuk "7 Perspektif Agresif dalam ranah Psikolgikal"

  1. Izin promo ya Admin^^

    Bosan gak tau mau ngapain, ayo buruan gabung dengan kami
    minimal deposit dan withdraw nya hanya 15 ribu rupiah ya :D
    Kami Juga Menerima Deposit Via Pulsa & E-Money
    - Telkomsel
    - XL axiata
    - OVO
    - DANA
    segera DAFTAR di WWW.AJOKARTU.CC ....:)

    ReplyDelete

Terima kasih sudah berkunjung