Makna Kepemimpinan
Pasca khalifaturrasidin, pengkafiran sesama muslim makin marak. Persoalannya terletak pada siapa yang pantas menjadi khalifah (pemimpin)? Selain itu dan ini menjadi kajian menarik adalah persyaratan apa saja yang harus ada pada diri seorang khalifah dan apa misi yang dibawa dan diemban oleh seorang khalifah di muka bumi ini? Banyak term yang digunakan al-Qur’an dalam membahas tentang kepemimpinan, yaitu; al-Imam, al-Khilaafah, Ulil Amri, dan al-Malik.
Al-Imam adalah suatu istilah yang berarti pemuka, dipakai dalam berbagai aspek kehidupan. Sejak awal istilah imam digunakan guna menyebut seseorang yang memimpin (amma) salat berjama’ah diantara para partisipan (ma’mun). Ikatan yang demikian erat dengan dimensi keagamaan kelihatannya menjadikan kurang dikaitkan dengan politik, sebagaimana dapat dilihat dari penggunaan khalifah bukan imam pada Abu Bakar dan penerusnya.
Istilah imam akhirnya mengalami perkembangan yang cukup luas, tidak hanya digunakan sebatas dalam pemimpin spritual dan penegak hukum, tapi lebih dari itu juga digunakan dalam ke-khalifahan (pemerintahan) dan amirulmu’minin (pemimpin orang mukmin). Para ulama mengartikan Imam sebagai orang yang dapat diikuti dan ditauladani serta menjadi orang yang berada di garda terdepan.
Rasulullah adalah imamnya para imam, khalifah adalah imamnya rakyat, dan al-Qur`an adalah imamnya kaum muslimin. Sesuatu yang dapat diikuti tidak hanya manusia, tapi juga kitab. Kalau manusia, maka yang dapat ditauladani ialah perkataan dan perbuatannya. Kalau kitab, maka yang dapat diikuti dan dipedomani adalah ide dan gagasan-gagasannya.
Khalifah, dilihat dari segi bahasa akar katanya terdiri dari tiga huruf yaitu kha`, lam dan fa. Kata khalifa yang berasal dari kata kerja khalafa berarti pengganti atau penerus. Dalam al-Qur’an (al-Baqarah:30; Shad:26) kata khalifah mengacu kepada pengertian ”penerima otoritas di atas bumi yang bersumber dari Tuhan”. Dengan demikian, pengertian istilah khalifah sebagaimana lazimnya dipergunakan adalah merupakan produk pengalaman umat setelah meninggalnya Nabi. Sebelum wafatnya, istilah khalifah belum ada.
Para ulama, memaknai kata khalifah menjadi tiga macam arti yaitu mengganti kedudukan, belakangan dan perubahan. Dalam al-Qur`an ditemukan dua bentuk kata kerja dengan makna yang berbeda. Bentuk kata kerja yang pertama ialah khalafa-yakhlifu dipergunakan untuk arti “mengganti”, dan bentuk kata kerja yang kedua ialah istakhlafa-yastakhlifu dipergunakan untuk arti “menjadikan”.
Pengertian mengganti dapat merujuk pada pergantian generasi ataupun pergantian jabatan kepemimpinan. Tetapi ada satu hal yang perlu dicermati bahwa konsep yang ada pada kata kerja khalafa disamping bermakna pergantian generasi dan pergantian kedudukan kepemimpinan, juga berkonotasi fungsional artinya seseorang yang diangkat sebagai pemimpin dan penguasa di muka bumi mengemban fungsi dan tugas-tugas tertentu.
Jamak dari kata khalifah ialah khalaif dan khulafa. Term ini dipergunakan untuk pembicaraan dalam kaitan dengan manusia pada umumnya dan orang mukmin pada khususnya. Sedangkan khulafa dipergunakan al-Qur`an dalam kaitan dengan pembicaraan yang tertuju kepada orang kafir.
Ulul al-Amr, istilah ini terdiri dari dua kata yaitu; Ulu artinya pemilik dan al-Amr artinya perintah atau urusan. Kalau kedua kata tersebut digabung, maka artinya ialah pemilik kekuasaan. Pemilik kekuasaan di sini bisa bermakna Imam dan Ahli al-Bait, bisa juga bermakna para penyeru ke jalan kebaikan dan pencegah ke jalan kemungkaran, bisa juga bermakna fuqaha dan ilmuan agama yang taat kepada Allah SWT.
Al-Malik, akar kata nya terdiri dari tiga huruf, yaitu mim, lam dan kaf, artinya ialah kuat dan sehat. Dari akar kata tersebut terbentuk kata kerja Malaka-Yamliku artinya kewenangan untuk memiliki sesuatu. Jadi term al-Malik bermakna seseorang yang mempunyai kewenangan untuk memerintahkan sesuatu dan melarang sesuatu dalam kaitan dengan sebuah pemerintahan. Tegasnya term al-Malik itu ialah nama bagi setiap orang yang memiliki kemampuan di bidang politik dan pemerintahan.
Dalil Kepemimpinan
Semua ulama dan fuqaha dari generasi ke generasi sepakat bahwa untuk menjalankan sebuah roda pemerintahan atau khilafah merupakan kewajiban agama yang sangat agung. Mereka menggunakan argumentasi fundamental dan esensial yang dinukilkan langsung dari nash sharih al-Qur’an, al-Hadits dan kaidah-kaidah ushul fiqh.
Dalil al-Qur’an yang membahas tentang imamah (kepemimpinan) dapat ditelusuri dan dikaji sebagaimana yang difirmankan Allah SWT, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila mendapatkan hukum dan antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil,” (QS.An-Nisa:58).
Firman Allah SWT tersebut adalah perintah umum yang mencakup semua bentuk amanah. Agama adalah amanah dan syari’ah adalah amanah. Adapun hukum dan syari’ah adalah amanah. Dan seorang pemimpin yang melaksanakan syari’ah adalah amanah. Disinilah letak wajibnya memilih seorang khalifah atau pemimpin. Ibnu Jarir menegaskan bahwa asbabun nuzul (sebab-sebab turun ayat) QS. An-Nisaa:58 tersebut adalah berkenaan dengan perintah wullatul amr (pemimpin yang sah).
Iqbal dengan mengutip perkataan Ali bin Abi Thalib sebagaimana yang diriwayatkan oleh Mushab ibn Sa’ad, mengatakan “Hak atas seorang imam adalah menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah SWT dan menyampaikan amanah. Apabila seorang imam telah melaksanakan semua itu, maka wajib bagi manusia untuk mendengarkan, mentaati dan menjawab panggilannya. Perkataan yang paling mulia menurutku, adalah orang yang mengatakan al-Qur’an adalah kitab Allah dan melaksanakan amanah yang dilimpahkan melalui wewenangnya secara adil dan bijaksana”.
Syaikhul Islam, Ibn Taymiyah berkata bahwa ayat tersebut merupakan kalam Allah yang sangat berharga dalam memberikan interpretasi tentang perlunya ketaatan dan kepatuhan terhadap pemerintahan sesuai dengan karakteristik negara Islam, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam ayat selanjutnya dari QS.al-Nisa’, ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah SWT dan taatilah rasul-Nya dan ulil amr diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah SWT (al-Qur’an) dan rasul (al-Hadits) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah SWT dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik takwilnya ” (QS. Al-Nisa’:59).
Bila diteliti dan ditelaah secara seksama dan komprehensip terlihat bahwa kedua ayat tersebut mencakup rukun-rukun sebuah khilafah atau pemerintahan yang terdiri dari; pertama, para pemegang kekuasaan hukum ialah wullatul amr (pemerintahan yang sah) sesuai petunjuk syar’i dan menjalankan hukum-hukum syari’at. Kedua, al-Ummah (masyarakat) mempunyai kewajiban untuk tunduk dan taat pada ulil amr. Ketiga, peraturan, perundang-undangan dan disiplin hukum yang berlaku yaitu syari’at agama Islam.
Pembahasan tentang kepemimpinan yang bersumberkan pada dalil Hadits Nabi Muhammad SAW, cukuplah banyak diantaranya yang cukup populer adalah ”Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu bertanggungjawab atas kepemimpinannya, seorang imam adalah pemimpin dan ia bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Seorang suami adalah pemimpin pada anggota keluarganya dan ia bertanggungjawab atas kepemimpinannya”. (HR. Buhori).
Tak kalah jelasnya adalah Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim yang artinya, ”Barangsiapa melepaskan tangan dari mentaati (imamnya), ia akan menemui Allah pada hari kiamat tanpa punya pembela bagi dirinya. Barangsiapa mati sedangkan dirinya tidak ada bai’at (kepada imam) maka ia mati dalam keadaan Jahiliyah” (HR. Muslim).
Hadits yang kedua ini yang dijadikan rujukan dan pedoman bagi sebagian umat Islam yang mengikatkan diri dalam sebuah bai’at kepemimpinan. Sekalipun hal tersebut terkesan sangat dipaksakan dan mengada-ada yang berakibat pada penafian rasionalitas dan akal pikiran yang sehat. Pemahaman yang kurang tepat terhadap Hadits tersebut berakibat pada pengkultusan kepemimpinan yang berlebihan. Bahkan melebihi kepada Tuhan dan Nabi-nya. Padahal Nabi sendiri telah mengingatkan umatnya untuk tidak mengkultuskan pemimpin. Karena dihadapan Allah SWT semua sama yang membedakan hanyalah kadar keimaman dan ketaqwaannya.
Sekalipun demikian, tidak berarti umat Islam kurang peduli dan tidak perhatian terhadap masalah kepemimpinan. Semuanya diatur dan diukur secara adil dan bijaksana. Disepakati kalangan ulama’ dan fuqaha bahwa terdapat keharusan adanya seorang imam guna menyatukan suara umat dan mengurus kepentingan keduniaan maupun keagamaannya.
Kesadaran akan pentingnya masalah kepemimpinan, maka sepeninggal Rasulullah SAW, para sahabat menaruh perhatian besar untuk segera memilih dan mengangkat seorang imam. Abu Bakar akhirnya dipercaya untuk mengemban amanah berat tersebut yang kemudian dikenal dengan istilah khalifah. Umat Islam pun terhindar dari keretakan dan perpecahan.
Tidak dipungkiri mendalami ajaran Islam yang agung dan benar, memilih seorang pemimpin bukan tujuan final dari substansi agama, tetapi ia merupakan kelaziman zaman. Disadari bahwa kewajiban agama tidak mungkin diterapkan secara komprehensip dan simultan tanpa adanya pranata-pranata yang kongkrit.
Pranata-pranata tersebut dimungkinkan untuk melaksanakan kewajiban syari’at ilahiyah. Maka dalam sebuah kaidah fiqih dinyatakan, ”Mala yatimmu al-wajibu illa bihi fahuwa wajibun” (Jika kewajiban tidak bisa sempurna kecuali dengannya, maka ia hukumnya adalah wajib).
Kesempurnaan tegaknya nilai-nilai al-Qur’an dan al-Hadits dalam suatu masyarakat, bangsa dan negara hanya dapat diwujudkan dengan sesungguhnya bila didukung oleh pranata yang mengiringinya. Imam atau pemimpin adalah pranata yang mengiringi terwujudnya tegaknya nilai-nilai al-Qur’an dan al-Hadits, maka adalah wajib hukumnya bagi masyarakat muslim untuk memilih dan menetapkan seorang pemimpin.
Imam al-Mawardi dalam kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah sebagaimana yang dikutip Iqbal mengatakan, ”Aqdul imamati liman yaqumu biha fi al-Ummati wajibun bil ijma’i” (mengangkat imam untuk mengurusi umat hukumnya adalah wajib menurut ijma’). Sehingga ia bisa mengurusi umat agar agama terjaga dengan wewenangnya dan berjalan sesuai dengan rule dan menurut sunnah-sunnah agama dan hukum-hukumnya.
Bagi seorang fuqaha sebagaimana Imam Ahmad ibn Hambal mengatakan, bila tidak adanya seorang pemimpin maka akan berakibat timbulnya suatu fitnah. Fitnah ini harus dicegah karena berakibat pada kehancuran dan kerusakan (fasad). Mencegah kehancuran dan kerusakan adalah kewajiban.
Mengangkat seorang imam atau pemimpin adalah wajib. Karena itu utamakan dan segerakan serta tak boleh ditunda-tunda. Perkataan beliau yang populer dalam hal ini adalah, ”al-Fitnatu idza lamyakun imamun yakumu bi amrinnasi” (Adalah fitnah apabila tidak ada imam yang berdiri mengurusi manusia).
Pemahaman yang bijak dan mulia tentang pentingnya sebuah kepemimpinan juga dikemukakan oleh generasi-generasi sesudahnya, Syeikhul Islam Ibn Taymiyah yang hidup pada abad pertengahan menyatakan bahwa membentuk pemerintahan dengan jalan religuitas dan mengangkat kepemimpinan sesuai dengan syari’ah adalah manhaj (jalan) merintis ketentraman untuk menjaga umat dan menjaga harta benda.
PUSTAKA
Iqbal, Negara Ideal Menurut Islam, Ladang Pustaka & Intimedia, Jakarta, 2002, hal. 27.
If you're trying to burn fat then you absolutely have to start following this brand new tailor-made keto meal plan.
ReplyDeleteTo create this keto diet service, certified nutritionists, fitness couches, and chefs have joined together to develop keto meal plans that are powerful, suitable, economically-efficient, and delightful.
From their launch in early 2019, hundreds of clients have already transformed their figure and health with the benefits a smart keto meal plan can offer.
Speaking of benefits; clicking this link, you'll discover eight scientifically-proven ones provided by the keto meal plan.