Di masa lalu, Malinau pernah merupakan bagian dari kesultanan Bulungan dan kesultanan Berau, dengan dua raja Tidung bertahta di wilayah ini. Pada waktu itu, dari akhir tahun 1800-an sampai awal 1900-an, raja-raja Tidung memperoleh hak kepemilikan gua-gua sarang burung walet, yang disahkan oleh Sultan Bulungan (Sellato, 2001).
Pada tahun 1919, tentara Belanda mendirikan pos di Malinau Kota. Seperti juga di daerah lain, Belanda memaksakan ‘ketertiban’ dengan menetapkan batas kampung dan kepemilikan sumberdaya, untuk mengenalkan dan mengokohkan konsep kewilayahan. Belanda juga mencampuri urusan struktur adat dengan menunjuk kepala adat besar di atas kepala adat. Pada tahun 1935, Belanda membentuk Majelis Kerapatan Besar Tanah-tanah Tidung, yang terdiri dari kepala adat Merap, Tidung, dan empat kelompok lainnya (Sellato, 2001).
Sebelum adanya kesultanan dan kerajaan-kerajaan kecil, masyarakat diatur melalui struktur kepemimpinan adat. Beberapa di antaranya lebih hirarkis daripada yang lainnya. Walau demikian, semuanya menerapkan kendali sosial dan konsultasi secara berkala terutama dalam lingkaran inti, tokoh masyarakat untuk mengatur kelompok dan menyelesaikan konflik. Konflik atau ketidakpuasan yang tidak dapat diselesaikan oleh kepala adat diselesaikan dengan membagi kelompok, sebagian kelompok pindah ke pemukiman baru, atau (dalam kasus kelompok luar) melalui kekerasan. Perkawinan atau aliansi dagang digunakan untuk membentuk hubungan dengan kelompok-kelompok luar.
Hak masuk ke wilayah desa ditentukan oleh aliansi etnis atau perdagangan ini, selain pada penghormatan atas kewenangan adat, permintaan izin dan persetujuan lisan, walaupun masyarakat sering memasuki DAS untuk berburu atau mengumpulkan hasil hutan tanpa izin. Sungai dan puncak gunung digunakan sebagai tanda batas. Ada kalanya kepala adat meminta upeti (fee) dari kelompok luar yang bermaksud mengumpulkan hasil hutan di wilayah mereka. Beberapa bukti menunjukkan bahwa di daerah hulu Malinau, kepala adat besar Merap, yang dulunya disebut Kepala Besar, menjadi penguasa setempat bersama dengan kerajaan-kerajaan Tidung pada sebagian besar abad ke 20 (Sellato, 2001).
Walau sering diklaim sebagai bagian dari Bulungan, wilayah Malinau dan kelompok-kelompok hulu lainnya independen dan tidak terkena wajib upeti. Mereka bebas berdagang dengan desa-desa di daerah hilir. Menjelang akhir 1800-an, dua kerajaan kecil Tidung membangun pusat kegiatan di Malinau (Sellato, 2001). Belanda lalu membangun kantor administratif di Malinau dan dari sini menaklukkan wilayah hulu, Apo Kayan dan Bahau Pujungan pada tahun 1925.
Kemerdekaan membawa perubahan dan aturan baru, termasuk UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Dengan UU ini, desa-desa harus mengikuti model nasional ‘desa’ di mana kepala desa bertanggungjawab kepada pemerintah, bukan kepada masyarakat. Masyarakat harus terdaftar dan menetap. Di Malinau, pemerintah Bulungan menetapkan pemukiman sebagai desa, walaupun mereka tidak memenuhi kriteria sebagai ‘desa’ sebagaimana ketetapan undang-undang. Namun pemukiman suku Punan tidak pernah ditegaskan secara formal (Barr dkk, 2001).
Di masa itu, pemerintah juga mendorong pemindahan kelompok kecil masyarakat terpencil dari hulu ke bagian hilir.
Perpindahan ke Malinau ini berlangsung dari tahun 1970 sampai tahun 1990 (Rhee, 2000; Anau dkk, 2001); sehingga penduduk Malinau terdiri dari beberapa kelompok etnis. Yang menarik adalah bahwa seluruh desa ikut dipindahkan – bukan hanya penduduknya, tapi juga status dan struktur administrasinya. Selain itu, mereka tetap merupakan kesatuan yang berbeda walaupun telah tinggal di wilayah desa lain. Jadi, di DAS Malinau ada beberapa pemukiman yang berisi lebih dari satu desa, di mana setiap desa dihuni oleh kelompok etnis yang berbeda.
Munculnya Orde Baru diiringi dengan penekanan pada pembangunan ekonomi, terutama melalui eksploitasi besar-besaran sumberdaya alam. Sumberdaya dikuasai oleh pemerintah pusat dan hak formal penggunaan hutan (Hak Pengusahaan Hutan atau HPH) diberikan pada beberapa perusahaan kayu besar. Malinau dibuka untuk pembalakan. Walaupun masyarakat lokal secara formal tidak mempunyai hak, secara de fakto hak adat diakui dan HPH seringkali memberi masyarakat kebebasan tertentu. Kadang-kadang HPH bernegosiasi secara langsung dengan penduduk desa untuk menetapkan lokasi perladangan gilir-balik boleh dikerjakan dan letak bidang-bidang kecil hutan desa (Barr dkk, 2001).
Kondisi ini berlangsung sampai perubahan yang dimulai tahun 1997. Pembentukan Kabupaten Malinau dan diberlakukannya UU Otonomi Daerah telah merubah tataran politik, ekonomi, dan sosial Malinau secara dramatis. Ketika otonomi daerah diberlakukan tahun 2000, pemerintah kabupaten mengeluarkan izin IPPK yang mewajibkan perusahaan kayu bekerjasama dengan masyarakat local.
Pemberian IPPK mendorong banyak klaim masyarakat atas hutan berdasarkan batas-batas desa dan lahan pertanian. Banyaknya tumpang tindih kawasan IPPK dengan kawasan HPH yang masih aktif; menambah kerumitan konflik. Masyarakat memahami otonomi daerah sebagai pemulihan hak-hak adat mereka, dan memang Amandemen UUD pada tahun 1998 secara eksplisit mengakui hak-hak adat (TAP MPR IX/2001). Setelah bertahun-tahun secara pasif menderita kehadiran HPH yang mengeksploitasi hutan mereka, masyarakat kini secara aktif menyatakan kepemilikan mereka atas sumberdaya. Hal ini diperkuat oleh sikap pemerintah kabupaten, yang selama beberapa dasawarsa menyaksikan pendapatan daerah dari sumberdaya alam mengalir ke pemerintah pusat. Satu komentar umum adalah: ‘Sekarang giliran kami untuk menikmati manfaat dari sumberdaya alam kami.’ Akibatnya, kini masyarakat leluasa dan terkadang dengan memaksa, menuntut kompensasi atau bagian dari keuntungan. Sekarang, perusahaanlah yang membutuhkan perlindungan hukum.
Belum ada tanggapan untuk "Sejarah Kabupaten Malinau masa lalu hingga jaman sekarang"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung