Beranda · Pendidikan · Politik · Pemerintahan · Kesehatan · Ekonomi · Life · Manajemen · Umum

Kepemimpinan Nabi dan Rasul

Kepemimpinan yang sempurna itu hanyalah ada pada diri Nabi dan Rasul. Karena mereka adalah hamba pilihan Allah SWT. Adalah wajar bila umat menjadikan para Nabi dan Rasul itu sebagai rujukan dan tauladan dalam kepemimpinan. Salah satu caranya dengan menghidupkan kembali nilai-nilai universal kepemimpinan para Nabi dan Rasul. Nilai-nilai universal tersebut kita tampilkan dalam perspektif kepemimpinan mutakhir saat ini.   

Diantara Nabi dan Rasul yang teristimewa dihadapan Tuhannya adalah Muhammad Rasulallah. Oleh sebab itu, adalah hal yang seharusnya bagi umat Islam untuk menjadikan figur Muhammad SAW sebagai suri tauladan yang baik. Termasuk dalam hal kepemimpinan. 

Allah SWT menyatakan, ”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulallah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. Al-Ahdzab:21).  

Pada Surat yang lain Allah juga mengatakan bahwa, ”Sesungguhnya engkau (Ya Muhammad) mempunyai budi pekerti yang amat tinggi (mulia)” (QS. Al-Qalam:4). Kemudian dipertegas lagi oleh Allah dalam firman-Nya, ”Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” (QS. Al-Hasyr:7).

Berdasar tiga Surat tersebut, menjadi jelas bagi kita bahwa Muhammad Rasulullah adalah hamba Allah yang diutus dan dipilih untuk dijadikan model atau untuk dijadikan tauladan dalam semua aspek kehidupan bagi umat sesudahnya. Termasuk salah satunya dalam hal kepemimpinan. Ada empat model kepemimpinan yang melekat pada diri Nabi Muhammad SAW., yaitu :

Siddiq, secara etimologis berarti benar, jujur, apa adanya, dan tidak menyembunyikan sesuatu. Ia merupakan lawan kata dari dusta. Dalam konteks yang berbeda, siddiq juga diartikan sebagai suatu yang haq. Siddiq terbagi dalam tiga kategori; (1) siddiq dalam perkataan, (2) siddiq dalam sikap, dan (3) siddiq dalam perbuatan. 

Dalam kehidupannya para Nabi dan Rasul senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan kejujuran. Terhindar dari perkataan, sikap dan perbuatan  tidak terpuji, seperti berbohong dan berdusta. Sebagai pemimpin spritual, disamping juga kepala negara dan public figure, Nabi Muhammad SAW semenjak kecil sudah memposisikan diri dengan sikap dan prilaku yang siddiq. Disamping atas kehendak Allah, juga karena kepribadiannya yang mulia lagi agung. Sehingga oleh masyarakat Qurasy diberi gelar al-Amin  (terpercaya).

Amanah, secara etimologis berarti kejujuran, kepercayaan, titipan dan terkadang diartikan juga dengan keadaan aman. Amanah dibagi dua; amanah dari Allah kepada manusia dan amanah manusia kepada manusia (QS. Al-Ahdzab:72). Amanah yang pertama berupa kemampuan berlaku adil dan tugas-tugas keagamaan, sedangkan amanah bentuk kedua adalah mewakilkan kepada orang lain untuk memelihara hak-haknya.

Taba’ taba’iy dalam kitab tafsirnya al-Mizan mengartikan amanah sesuatu yang dipercayakan Allah kepada manusia untuk memeliharanya demi kemaslahatan, kemudian amanat itu dikembalikan pada Allah sebagaimana yang dikehendakinya.

Bagi Rasulullah kepemimpinan adalah amanah yang pertanggungjawabannya tidak hanya kepada sesamanya namun juga kepada Allah SWT. Sebagai seorang pemimpin agama, pemimpin negara dan pemimpin umat, Muhammad Rasulallah telah menunjukkan kapasitas pribadinya yang amanah. 

Tabligh, menurut bahasa artinya menyampaikan, mengutarakan, memberi atau mengeluarkan sesuatu kepada orang lain. Diperluas lagi juga dapat diartikan sebagai suatu ajakan atau dakwah. Karena tugas Nabi dan Rasul adalah menyampaikan risalah dan firman Allah kepada umat manusia. 

Risalah yang disampaikan kepada kaumnya dan atau untuk universalitas umat manusia berisi tentang perintah dan larangan. Tak berhak baginya menambah atau mengurangi. Allah memerintahkan padanya untuk menegakkan yang makruf dan mencegah yang mungkar serta berlaku bijaksana dalam kedua urusan tersebut, (QS. Ali Imran: 110 dan QS. Al-Nahl:90). 

Kepemimpinan erat kaitannya dengan tugas dan tanggungjawab untuk menyampaikan sesuatu kepada umat yang dipimpinnya. Hukum dan aturan yang dibuat Allah dan diperuntukkan pada umat manusia adalah tugas mulia yang harus disampaikan para Nabi dan Rasul kepada kaumnya agar terwujud suatu tatanan kehidupan yang bahagia di dunia dan bahagia di akhirat. Disamping memang karena kehendak Allah, para Nabi dan Rasul tersebut telah menjalankan tugas dengan seindah-indahnya dan sebaik-baiknya.

Fathanah, artinya cerdik, pandai, cerdas, pintar dan masih banyak arti lain yang semisal. Cerdik digunakan untuk membangun dan merancang sebuah strategi atau siasat. Pandai digunakan untuk menyelesaikan suatu masalah. Cerdas berguna untuk percepatan penyelesaian sebuah problem, sedangkan pintar digunakan untuk mecari berbagai macam alternatif  penyelesaian terbaik. 

Sebagai hamba pilihan, para Nabi dan Rasul oleh Allah SWT dianugerahi  tingkat kecerdasan dan kepandaian yang melebihi dari kecerdasan dan kepandaian hamba-Nya yang lain. Kecerdikan dan kepandaian tersebut dipergunakan untuk merancang cita-cita luhur umat manusia yaitu; fiddunya hasanah wafil akhirati hasanah (bahagia di dunia dan bahagia pula di akhirat).  

Keempat model kepemimpinan para Nabi dan Rasul sebagaimana yang dikemukakan di atas; siddiq, amanah, tabligh dan fathanah adalah sebuah sifat dan karakter terbaik untuk dijadikan tauladan dalam mengembangkan potensi kepemimpinan individu maupun kelompok.  

Nilai-nilai yang terkandung dalam sifat siddiq, amanah, tabligh dan fathanah memiliki kekuatan yang dahsyat dan luar biasa. Keempatnya adalah satu kesatuan yang sinergis dan saling melengkapi. Variabel dari sifat-sifat tersebut sudah teruji kesuksesan dan keberhasilannya. Sebagaimana sukses dan berhasilnya para Nabi dan Rasul.

Karakter kepemimpinan sebagaimana yang ada pada Nabi dan Rasul sudah terbukti keberhasilannya. Tugas kita sekarang hanya tinggal mengembangkan karakter kepemimpinan tersebut agar lebih adpatif dan up to date dengan perkembangan zaman dan waktu.

Artikel keren lainnya:

Prinsip Dasar Pemimpin dalam Pandangan Islam

Impian dan harapan besar umat terhadap pemimpin, mengantarkan betapa penting dan berartinya peran seorang pemimpin dalam mendesain sebuah masyarakat, bangsa dan negara. Sejarah membuktikan, kejayaan dan keemasan sebuah bangsa  sangat ditentukan oleh kualitas dan kapasitas para pemimpinnya. 

Sebaliknya sebuah bangsa yang sebelumnya besar dan beradab hancur dan tak berarti karena kerakusan, keserakahan dan buruknya sikap mental  para pemimpinnya. Suatu contoh, hancurnya Daulah Umayyah dan Daulah Abbasiyah, lebih disebabkan oleh karena penerus tahta mahkota kekhalifahan berada di tangan-tangan pemimpin yang lemah dan tak bermoral. Hubbuddunnya (cinta dunia) lebih kentara dan lebih lekat dibanding dengan hubbul-akhirah (cinta akhirat).

Islam memberikan dasar-dasar normatif dan filosofis tentang kepemimpinan yang bersifat komprehensip dan universal. Tidak hanya untuk umat Islam tapi juga untuk seluruh umat manusia. 

Prinsip-prinsip kepemimpinan dalam Islam adalah sebagai berikut; 

Pertama, hikmah, ajaklah manusia ke jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan nasehat yang baik lagi bijaksana (QS. al-Nahl:125). 

Kedua, diskusi, jika ada perbedaan dan ketidaksamaan pandangan, maka seorang pemimpin menyelesaikan dengan diskusi dan bertukar pikiran (QS. al-Nahl:125).

Ketiga, qudwah, kepemimpinan menjadi efektif apabila dilakukan tidak hanya dengan nasihat tapi juga dengan ketauladanan yang baik dan bijaksana (QS. al-Ahdzab:21). Pepatah mengatakan, satu ketauladanan yang baik lebih utama dari seribu satu nasehat. Memang kesan dari sebuah keteladanan lebih melekat dan membekas dibanding hanya sekedar nasehat seorang pemimpin. 

Keempat, musyawwarah, adalah suatu bentuk pelibatan seluruh komponen masyarakat secara proporsional dalam keikutsertaan dalam pengambilan sebuah keputusan atau kebijaksanaan  (QS. Ali Imran:159, QS. As-Syura:38). Dengan musyawwarah, maka tidak ada suatu permasalahan yang tak dapat diselesaikan. Tentu dengan prinsip-prinsip bilhikmah wamauidhatil khasanah yang harus dipegang teguh oleh setiap komponen pemerintah atau imamah. 

Kelima,  adl, tidak memihak pada salah satu pihak. Pemimpin yang berdiri pada semua kelompok dan golongan, (QS.al-Nisa’:58&135, QS. al-Maidah:8) Dalam memimpin pegangannya hanya pada kebenaran, shirathal mustaqim (jalan yang lurus). Timbangan dan ukurannya bersumber  pada al-Qur’an dan al-Hadits.  Kecintaannya hanya karena Allah dan kebencian pun hanya karena Allah. Hukum menjadi kuat tidak hanya saat berhadapan dengan orang lemah, tapi juga menjadi kuat saat berhadap-hadapan dengan orang kuat. 

Keenam, kelembutan hati dan saling mendoakan. Kesuksesan dan keberhasilan Rasulallah dan para sahabat dalam memimpin umat, lebih banyak didukung oleh faktor performa pribadi Rasul dan para sahabat yang lembut hatinya, halus perangainya dan santun perkataannya. Maka Allah SWT menempatkan Muhammad Rasulallah sebagai rujukan dalam pembinaan mental dan moral sebagaimana firmannya, ”Laqad kana lakum fi Rasulillahi uswatun hasanah” (Sungguh ada pada diri Rasul suri tauladan yang baik), (QS. al-Ahdzab:21 dan al-Qalam:10).

Ketujuh, dari prinsip dasar kepemimpinan Islami adalah kebebasan berfikir, kreativitas dan berijtihad. Sungguh amat luar biasa, sepeninggal Rasulallah para sahabat dapat menunjukkan diri sebagai sosok pemimpin yang mandiri, kuat, kreatif dan fleksibel.

Kelembutan pribadi Abu Bakar (khalifah ke-1) tak menjadikan dirinya menjadi sosok pemimpin yang lemah, malah sebaliknya ia menjadi pemimpin yang kuat dan tangguh. Tak gentar menghadapi musuh-musuh Islam. Ketegasan beliau dibuktikan dengan kesungguhan memerangi para pemberontak, nabi palsu dan kaum yang tak mau membayar zakat.

Kebalikannya ketegaran Khalifah Umar bin Khattab (khalifah ke-2) akhirnya menjadi sosok yang lembut, sederhana dan bersahaja. Sekalipun ia seorang khalifah dan menyandang gelar amirul mu’minin, tak menjadikan kehidupan diri dan keluarganya berubah drastis, bergelimang  harta dan tahta atau menampilkan diri sebagai sosok pembesar yang suka ”petentang-petenteng” dan pamer kekuasaan. 

Yang terjadi justru sebaliknya, Umar bin Khattab lebih menampakkan diri sebagai sosok  yang low profil high produc. Tak salah kiranya bila banyak rakyatnya dan pejabat negara lain yang terkecoh dengan penampilan fisiknya dan tak mengira bahwa yang berdiri dihadapannya adalah seorang khalifah yang disegani dan dicintai rakyatnya.  

Dua sosok pemimpin penerus Rasulallah yang berbeda karakter tersebut, disaat sama-sama diberi amanah untuk memimpin umat dan mengelola roda pemerintahan yang tampak adalah sosok pemimpin yang banyak dipengaruhi dan diwarnai oleh nilai-nilai al-Qur’an dan al-Hadits. Tidak  sebagai pemimpin yang dipengaruhi dan dikuasai oleh karakter  pribadi dan hawa nafsu.

Kedelapan, sinergis membangun kebersamaan. Mengoptimalkan sumber daya insani yang ada. Hebatnya Rasulullah salah satunya adalah kemampuan beliau dalam mensinergikan dan membangun kekuatan dan potensi yang dimiliki umatnya. Para sahabat dioptimalkan keberadaannya. Keberbedaan potensi yang dimiliki sahabat dan umat dikembangkan sedemikian rupa, sehingga menjadi pribadi-pribadi yang tangguh baik mental maupun spritualnya. 

Berbagai misi kenegaraan dipercayakan Rasulallah kepada para sahabatnya seperti misi ke Habasyah, Yaman, Persia dan Rumawi.  Muncullah sosok-sosok sahabat seperti Abu Dzar Al-Ghifari, Mu’adz bin Jabal, Salman al-Farisi dan Amr bin Ash. Dalam usia yang relatif muda, mereka sudah memimpin berbagai ekspedisi kenegaraan dan berbagai pertempuran penting.

PUSTAKA
Wibowo, SHOOT, Sharpening our Concept and Tools,  PT Syamil Cipta Media, Bandung, 2002, hal. 287.

Artikel keren lainnya:

Makna Kememimpian dan Dalilnya dalam Islam

Makna Kepemimpinan

Pasca khalifaturrasidin, pengkafiran sesama muslim makin marak. Persoalannya terletak pada siapa yang pantas menjadi khalifah (pemimpin)? Selain itu dan ini menjadi kajian menarik adalah persyaratan apa saja yang harus ada pada diri seorang khalifah dan apa misi yang dibawa dan diemban oleh seorang khalifah di muka bumi ini?  Banyak term yang digunakan al-Qur’an dalam membahas tentang kepemimpinan, yaitu; al-Imam, al-Khilaafah, Ulil Amri, dan al-Malik.

Al-Imam adalah suatu istilah yang berarti pemuka, dipakai dalam berbagai aspek kehidupan. Sejak awal istilah imam digunakan guna menyebut seseorang yang memimpin (amma) salat berjama’ah diantara para partisipan (ma’mun). Ikatan yang demikian erat dengan dimensi keagamaan kelihatannya menjadikan kurang dikaitkan dengan politik, sebagaimana dapat dilihat dari penggunaan khalifah bukan imam pada Abu Bakar dan penerusnya.

Istilah imam akhirnya mengalami perkembangan yang cukup luas, tidak hanya digunakan sebatas dalam pemimpin spritual dan penegak hukum, tapi lebih dari itu juga digunakan dalam ke-khalifahan (pemerintahan) dan amirulmu’minin (pemimpin orang mukmin). Para ulama mengartikan Imam sebagai orang yang dapat diikuti dan ditauladani serta menjadi orang yang berada di garda terdepan. 

Rasulullah adalah imamnya para imam, khalifah adalah imamnya rakyat, dan al-Qur`an adalah imamnya kaum muslimin. Sesuatu yang dapat diikuti tidak hanya manusia, tapi juga kitab. Kalau manusia, maka yang dapat ditauladani ialah perkataan dan perbuatannya. Kalau kitab, maka yang dapat diikuti dan dipedomani adalah ide dan gagasan-gagasannya. 

Khalifah, dilihat dari segi bahasa akar katanya terdiri dari tiga huruf yaitu kha`, lam dan fa. Kata khalifa yang berasal dari kata kerja khalafa berarti pengganti atau penerus. Dalam al-Qur’an (al-Baqarah:30; Shad:26) kata khalifah mengacu kepada pengertian ”penerima otoritas di atas bumi yang bersumber dari Tuhan”. Dengan demikian, pengertian istilah khalifah sebagaimana lazimnya dipergunakan adalah merupakan produk pengalaman umat setelah meninggalnya Nabi. Sebelum wafatnya, istilah khalifah belum ada.

Para ulama, memaknai kata khalifah menjadi tiga macam arti yaitu mengganti kedudukan, belakangan dan perubahan. Dalam al-Qur`an ditemukan dua bentuk kata kerja dengan makna yang berbeda. Bentuk kata kerja yang pertama ialah khalafa-yakhlifu dipergunakan untuk arti “mengganti”, dan bentuk kata kerja yang kedua ialah istakhlafa-yastakhlifu dipergunakan untuk arti “menjadikan”.

Pengertian mengganti dapat merujuk pada pergantian generasi ataupun pergantian jabatan kepemimpinan. Tetapi ada satu hal yang perlu dicermati bahwa konsep yang ada pada kata kerja khalafa disamping bermakna pergantian generasi dan pergantian kedudukan kepemimpinan, juga berkonotasi fungsional artinya seseorang yang diangkat sebagai pemimpin dan penguasa di muka bumi mengemban fungsi dan tugas-tugas tertentu.

Jamak dari kata khalifah ialah khalaif dan khulafa. Term ini dipergunakan untuk pembicaraan dalam kaitan dengan manusia pada umumnya dan orang mukmin pada khususnya. Sedangkan khulafa dipergunakan  al-Qur`an dalam kaitan dengan pembicaraan yang tertuju kepada orang kafir. 

Ulul al-Amr, istilah ini terdiri dari dua kata yaitu; Ulu artinya pemilik dan al-Amr artinya perintah atau urusan. Kalau kedua kata tersebut digabung, maka artinya ialah pemilik kekuasaan. Pemilik kekuasaan di sini bisa bermakna Imam dan Ahli al-Bait, bisa juga bermakna para penyeru ke jalan kebaikan dan pencegah ke jalan kemungkaran, bisa juga bermakna fuqaha dan ilmuan agama yang taat kepada Allah SWT.

Al-Malik, akar kata nya terdiri dari tiga huruf, yaitu mim, lam dan kaf, artinya ialah kuat dan sehat. Dari akar kata tersebut terbentuk kata kerja Malaka-Yamliku artinya kewenangan untuk memiliki sesuatu. Jadi term al-Malik bermakna seseorang yang mempunyai kewenangan untuk memerintahkan sesuatu dan melarang sesuatu dalam kaitan dengan sebuah pemerintahan. Tegasnya term al-Malik itu ialah nama bagi setiap orang yang memiliki kemampuan di bidang politik dan pemerintahan. 

Dalil Kepemimpinan

Semua ulama dan fuqaha dari generasi ke generasi sepakat bahwa untuk menjalankan sebuah roda pemerintahan atau khilafah merupakan kewajiban agama yang sangat agung. Mereka menggunakan argumentasi fundamental dan esensial yang dinukilkan langsung dari nash sharih al-Qur’an, al-Hadits dan kaidah-kaidah ushul fiqh.

Dalil al-Qur’an yang membahas tentang imamah (kepemimpinan) dapat ditelusuri dan dikaji sebagaimana yang difirmankan Allah SWT, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila mendapatkan hukum dan antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil,” (QS.An-Nisa:58).

Firman Allah SWT tersebut adalah perintah umum yang mencakup semua bentuk amanah. Agama adalah amanah dan syari’ah adalah amanah. Adapun hukum dan syari’ah adalah amanah. Dan seorang pemimpin yang melaksanakan syari’ah adalah amanah. Disinilah letak wajibnya memilih seorang khalifah atau pemimpin. Ibnu Jarir menegaskan bahwa asbabun nuzul (sebab-sebab turun ayat) QS. An-Nisaa:58 tersebut  adalah berkenaan dengan perintah wullatul amr (pemimpin yang sah).

Iqbal dengan mengutip perkataan Ali bin Abi Thalib sebagaimana yang diriwayatkan oleh Mushab ibn Sa’ad, mengatakan “Hak atas seorang imam adalah menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah SWT dan menyampaikan amanah. Apabila seorang imam telah melaksanakan semua itu, maka wajib bagi manusia untuk mendengarkan, mentaati dan menjawab panggilannya. Perkataan yang paling mulia menurutku, adalah orang yang mengatakan al-Qur’an adalah kitab Allah  dan melaksanakan amanah yang dilimpahkan melalui wewenangnya secara adil dan bijaksana”.

Syaikhul Islam, Ibn Taymiyah berkata bahwa ayat tersebut merupakan kalam Allah yang sangat berharga dalam memberikan interpretasi tentang perlunya ketaatan dan kepatuhan terhadap pemerintahan sesuai dengan karakteristik negara Islam, sebagaimana yang difirmankan  oleh Allah SWT dalam ayat selanjutnya dari QS.al-Nisa’, ”Hai orang-orang  yang beriman, taatilah Allah SWT dan taatilah rasul-Nya dan ulil amr diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah SWT (al-Qur’an) dan rasul (al-Hadits) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah SWT dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik takwilnya ” (QS. Al-Nisa’:59).

Bila diteliti dan ditelaah secara seksama dan komprehensip terlihat bahwa kedua ayat tersebut mencakup rukun-rukun sebuah khilafah atau pemerintahan yang terdiri dari; pertama, para pemegang kekuasaan hukum ialah wullatul amr (pemerintahan yang sah) sesuai petunjuk syar’i dan menjalankan hukum-hukum syari’at. Kedua, al-Ummah (masyarakat) mempunyai kewajiban untuk tunduk dan taat pada ulil amr. Ketiga, peraturan, perundang-undangan dan disiplin hukum yang berlaku yaitu syari’at agama Islam.

Pembahasan tentang kepemimpinan yang bersumberkan pada dalil Hadits Nabi Muhammad SAW, cukuplah banyak diantaranya yang cukup populer adalah ”Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu bertanggungjawab atas kepemimpinannya, seorang imam adalah pemimpin dan ia bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Seorang suami adalah pemimpin pada anggota keluarganya dan ia bertanggungjawab atas kepemimpinannya”. (HR. Buhori).

Tak kalah jelasnya adalah Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim yang artinya, ”Barangsiapa melepaskan tangan dari mentaati (imamnya), ia akan menemui Allah pada hari kiamat tanpa punya pembela bagi dirinya. Barangsiapa mati sedangkan dirinya tidak ada bai’at (kepada imam) maka ia mati dalam keadaan Jahiliyah” (HR. Muslim). 

Hadits yang kedua ini yang dijadikan rujukan dan pedoman bagi sebagian umat  Islam yang mengikatkan diri dalam sebuah bai’at kepemimpinan. Sekalipun hal tersebut terkesan sangat dipaksakan dan mengada-ada yang berakibat pada penafian rasionalitas dan akal pikiran yang sehat.  Pemahaman yang kurang tepat terhadap Hadits tersebut berakibat pada pengkultusan kepemimpinan yang berlebihan. Bahkan melebihi kepada Tuhan dan Nabi-nya. Padahal Nabi sendiri telah mengingatkan umatnya untuk tidak mengkultuskan pemimpin. Karena dihadapan Allah SWT semua sama yang membedakan hanyalah kadar keimaman dan ketaqwaannya.

Sekalipun demikian, tidak berarti umat Islam kurang peduli dan tidak perhatian terhadap masalah kepemimpinan. Semuanya diatur dan diukur secara adil dan bijaksana. Disepakati kalangan ulama’ dan fuqaha bahwa terdapat keharusan adanya seorang imam guna menyatukan suara umat dan mengurus kepentingan keduniaan maupun keagamaannya. 

Kesadaran akan pentingnya masalah kepemimpinan, maka sepeninggal Rasulullah SAW, para sahabat menaruh perhatian besar untuk segera memilih dan mengangkat seorang imam. Abu Bakar akhirnya dipercaya untuk mengemban amanah berat tersebut yang kemudian dikenal dengan istilah khalifah. Umat Islam pun  terhindar dari keretakan dan perpecahan.

Tidak dipungkiri mendalami ajaran Islam yang agung dan benar, memilih seorang pemimpin bukan tujuan final dari substansi agama, tetapi ia merupakan kelaziman zaman. Disadari bahwa kewajiban agama tidak mungkin diterapkan secara komprehensip dan simultan tanpa adanya pranata-pranata yang kongkrit. 

Pranata-pranata tersebut dimungkinkan untuk melaksanakan kewajiban syari’at ilahiyah. Maka dalam sebuah kaidah fiqih dinyatakan, ”Mala yatimmu al-wajibu illa bihi fahuwa wajibun” (Jika kewajiban tidak bisa sempurna kecuali dengannya, maka ia hukumnya adalah wajib).

Kesempurnaan tegaknya nilai-nilai al-Qur’an dan al-Hadits dalam suatu masyarakat, bangsa dan negara hanya dapat diwujudkan dengan sesungguhnya bila didukung oleh pranata yang mengiringinya. Imam atau  pemimpin adalah pranata yang mengiringi terwujudnya tegaknya nilai-nilai al-Qur’an dan al-Hadits, maka adalah wajib hukumnya  bagi masyarakat muslim untuk memilih dan menetapkan seorang pemimpin. 

Imam al-Mawardi dalam kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah sebagaimana yang dikutip Iqbal mengatakan, ”Aqdul imamati liman yaqumu biha fi al-Ummati wajibun bil ijma’i” (mengangkat imam untuk mengurusi umat hukumnya adalah wajib menurut ijma’). Sehingga ia bisa mengurusi umat agar agama terjaga dengan wewenangnya dan  berjalan sesuai dengan rule dan menurut sunnah-sunnah agama dan hukum-hukumnya.

Bagi seorang fuqaha sebagaimana Imam Ahmad ibn Hambal mengatakan, bila tidak adanya seorang pemimpin maka akan berakibat timbulnya suatu fitnah. Fitnah ini harus dicegah karena berakibat  pada kehancuran dan kerusakan (fasad). Mencegah kehancuran dan kerusakan  adalah kewajiban. 

Mengangkat seorang imam atau pemimpin adalah wajib. Karena itu utamakan dan segerakan serta tak boleh ditunda-tunda. Perkataan beliau yang populer dalam hal ini adalah, ”al-Fitnatu idza lamyakun imamun yakumu bi amrinnasi” (Adalah fitnah apabila tidak ada imam yang berdiri mengurusi manusia).

Pemahaman yang bijak dan mulia tentang pentingnya sebuah kepemimpinan juga dikemukakan oleh generasi-generasi sesudahnya, Syeikhul Islam Ibn Taymiyah  yang hidup pada abad pertengahan menyatakan bahwa membentuk pemerintahan dengan jalan religuitas dan mengangkat kepemimpinan sesuai dengan syari’ah adalah manhaj (jalan) merintis ketentraman untuk menjaga umat dan menjaga harta benda.

PUSTAKA

Iqbal, Negara Ideal Menurut Islam, Ladang Pustaka & Intimedia, Jakarta, 2002,  hal. 27.

Artikel keren lainnya:

Awal Mula Munculnya Perbedaan Pemikir Islam tentang Islam dan Negara atau Kekalifahan

Pada tahun 1925, goncangan pemikiran hebat terjadi di Mesir. Gara-gara terbit sebuah kitab berjudul Al-Islam wa Ushul al-Hukm-Bahts fi al-Khilafah wa al-Hukumah fi al-Islam. Kitab tersebut memaklumatkan bahwa Islam tidak mengatur masalah kekhalifahan, pemerintahan dan negara. Merujuk pada doktrin Injil dinyatakan, ”Berikan kepada Kaisar apa yang menjadi haknya dan berikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak-nya.” (Matheus: 22).

Respons terhadap kitab tersebut luar biasa. Kemarahan ulama Mesir sedemikian hebat. Berdiri di garis terdepan, Syekh Rasyid Ridha’, ia memvonis bahwa pemikiran  penulis kitab itu adalah pemikiran yang kacau, menyeleweng, dan mulhid (murtad). Terlebih yang menulis adalah Syeikh Ali Abdul Raziq, Ulama al-Azhar Universty, mantan Menteri Waqf Mesir, Hakim Mahkamah Syari’ah, yang dikalangan intelektual Mesir degelari  al-Ustadz al-Muhaqqiq, al-Alamah al-Kabir.

Ulama Mesir kemudian terbelah menjadi dua kelompok besar. Pertama, ulama yang mendukung dan membela mati-matian pemikiran Syeikh Ali Abdul Raziq seperti Ahmad Lutfi Sayyid, Thaha Husein dan Muhammad Husein Heikal. Dalam perkembangan berikutnya Heikal bertobat dan menginsafi kesalahannya. Lantas ia balik menyerang pemikiran Syeikh Ali Abdul Raziq  dengan karyanya, “Daulat Islamiyat”. Kedua, ulama yang menentang habis-habisan pemikiran Syeikh Ali Abdul Raziq. Ia adalah Syekh Rasyid Ridha, murid kesayangan Muhammad Abduh.

Kontroversial tersebut akhirnya membawa pengaruh yang cukup besar dalam percaturan pemikiran intelektual muslim dunia. Bahkan menjadi cikal-bakal munculnya perbedaan pada generasi-generasi sesudahnya. Hingga saat ini kajian Islam tentang kekhalifahan, selalu diwarnai oleh dua pandangan besar tersebut, ada yang mendukung dan ada pula yang menolak. Termasuk di kalangan intelektual muslim Indonesia. Seperti silang pendapat yang terjadi antara Muhammad Natsir dan Nurcholish Madjid tahun 1970. Topik yang diperbincangkan adalah Islam dan Negara.

Kepemimpinan (imamah) yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kekhalifahan atau pemerintahan yang menjadi fokus tulisan ini, juga tidak lepas dari perbedaan pandangan tersebut. Dalam Tarikh Islam, imam (pemimpin) menjadi penyebab utama perpecahan umat Islam pasca wafatnya Rasulallah SAW. Puncaknya saat tebunuhnya Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.

Masing-masing pihak mempunyai kriteria berbeda dalam memilih dan menetapkan seorang imam. Pengikut Ali bin Abi Thalib  berpendapat bahwa yang berhak menjadi imam adalah Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Dikemudian hari mereka dikenal dengan kaum Syi’ah. Lainnya berpandangan bahwa semasa hidup Rasulallah tidak berwasiat tentang siapa penggantinya,  maka siapapun boleh menjadi imam asalkan sejalan dengan  Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Kelompok ini menamakan diri kaum Mu’tazilah. 

Lantas ada satu kelompok lagi, kelompok ini adalah kumpulan orang-orang yang kecewa dan tak berpihak pada kedua-duanya, yang disebut dengan kaum Khawarij. Slogan terkenal mereka adalah ”la hukm illa lillah” (pengadilan hanyalah di tangan Allah). Dalil yang menjadi rujukan mereka adalah  ”Dan barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah SWT, maka mereka itu adalah orang-orang kafir,” (QS. Al-Maidah:44).  

PUSTAKA
  • Dhiya ad-Din, al-Islam wa al-Khalifah fi al-Ashr al-Hadits: Naqd Kitab al-Islam wa Ushul al-Hukm, Maktabah Dar at-Turats, Cairo, 1392, hal. 43.
  • Fahri,  Islam dan Pancasila dalam Pandangan Nurcholish Madjid, UMM Press, Malang, 1996, hal. 168.
  • Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, UI Press, Jakarta, 1987.
  • Harun Nasution,  Insiklopedi  Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992.


Artikel keren lainnya:

Cara Mengatasi Kemacetan Lalu Lintas dengan Running Text

Kemacetan adalah situasi atau keadaan tersendatnya atau bahkan terhentinya lalu lintas yang disebabkan oleh banyaknya jumlah kendaraan melebihi kapasitas jalan. Budi Baihaki (2012). 

Banyak hal yang dapat menyebabkan kemacetan, antara lain jumlah kenderaan yang melewati jalan telah melampaui kapasitas jalan, traffic light tidak menyala, terjadi kecelakaan, perbaikan jalan ataupun parit, banjir, parkir yang tidak tertata rapi, acara tertentu yang menggunakan badan jalan seperti pesta atau kemalangan dll. Termasuk sekolah-sekolah yang berada di jalan-jalan utama, bahkan secara khusus prilaku supir kendaraan umum (angkot) yang sering ugal-ugalan di jalan, sembarangan memberhentikan kendaraan untuk menaikkan dan menurunkan penumpangnya, sehingga mengganggu pengguna jalan yang lain. 

Kemacetan lalu lintas menurut Budi Baihaki (2012) memberikan dampak negatif yang besar yang antara lain disebabkan: 
  • Kerugian waktu, karena kecepatan perjalanan yang rendah 
  • Pemborosan energi, karena pada saat berhenti kenderaan tetap menyala sehingga menambah konsumsi bahan bakar 
  • Keausan kendaraan lebih tinggi, karena waktu yang lebih lama untuk jarak yang pendek, radiator tidak berfungsi dengan baik dan penggunaan rem yang lebih tinggi, 
  • Meningkatkan polusi udara karena pada kecepatan rendah konsumsi energi lebih tinggi, dan mesin tidak beroperasi pada kondisi yang optimal, 
  • Meningkatkan stress pengguna jalan, 
  • Mengganggu kelancaran kendaraan darurat seperti ambulans, pemadam kebakaran dalam menjalankan tugasnya 

Sedangkan Baroto Setyo (2004) mengungkapkan adanya hubungan kemacetan lalu lintas terhadap kualitas hidup penduduk, tingkat kualitas hidup penduduk diukur berdasarkan indikator kesehatan akibat pencemaran udara oleh kemacetan lalu lintas, yaitu dengan variabel gangguan kesehatan, biaya pengobatan dan waktu tidak penuh kerja. 

Kemacetan lalu lintas di jalan raya umumya disebabkan karena tidak sebandingnya jumlah kenderaan yang melintasi jalan dengan saran jalan yang ada. Belum optimalnya kualitas pelayanan prasarana jalan, ditandai dengan banyaknya kondisi jalan rusak sehingga menimbulkan keterbatasan akses darisatu tempat ke tempat lainnya. 

Menurunnya kualitas pelayanan prasarana jalan yang ada di jalur-jalur ekonomi tersebut disebabkan muatan dan dimensi berlebih, serta terbatasnya dana pemeliharaan. Hal tersebut mengakibatkan biaya operasi kendaraan dan biaya distribusi barang menjadi mahal dan tingkat kompetitifnya menurun (penelitian Balitbang Prov Sumatera Utara, 2010). 

Kemacetan lalu lintas berdampak pada pemborosan bahan bakar, pencemaran udara, tingginya tingkat kematian akibat kecelakaan lalu lintas, hilangnya akses bagi pejalan kaki, sehingga kota tidak menarik bagi pariwisata (Hairulsyah, 2006) Pada umumnya langkahlangkah yang diambil untuk mengatasi kemacetan lalu lintas dilakukan dengan peningkatan kapasitas jalan, memperlebar atau memperluas jalur dan meningkatkan kapasitas persimpangan melalui lampu lalu lintas, persimpangan tidak sebidang/flyover, dan mengembangkan inteligent transport sistem (Budi Baihaki, 2009). 

Hal lain yang dapat dilakukan oleh pemerintah kota adalah pengembangan jaringan pelayanan angkutan umum memperbaiki kualitas pengawasan manajemen lalu lintas dengan meningkatkan penegakan hukum oleh aparat pengawas. (Barata Setyono, 2004) Jika mengacu kepada kebijakan pemerintah pusat yang berupaya membatasi pemilikan kendaraan pribadi melalui peningkatan biaya pemilikan kendaraan, pajak bahan bakar, pajak kendaraan bermotor, bea masuk yang tinggi. 

Pemerintah DKI Jakarta dapat dicontoh dalam upayanya untuk mengatasi kemacetan, walaupun kebijakan yang telah dilakukan masih belum dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi. Kebijakan yang telah dilakukan antara lain, pembatasan lalu lintas tertentu memasuki kawasan atau jalan tertentu, seperti diterapkan di Jakarta yang dikenal sebagai kawasan 3 in 1 atau contoh lain pembatasan sepeda motor masuk jalan tol, pembatasan mobil pribadi masuk jalur busway, rencana lebih lanjut pemerintah DKI berencana melakukan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi menuju suatu kawasan tertentu seperti yang direncanakan akan diterapkan di Jakarta melalui Electronic Road Pricing (ERP), dan telah diterapkan di Singapura dan London Running text saat ini sangat marak penggunaannya di kota-kota besar di seluruh dunia. Umumnya running text digunakan hanya sebagai promosi dan iklan yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyampaikan informasi produk ataupun menarik minat konsumen. Bagi pihak pemerintah running text ini digunakan sebagai sarana informasi dan komunikasi untuk menyampaikan program kerja dan informasi umum berkaitan dengan pemerintahan. 

Dalam kesempatan ini tidak salah apabila pemerintah mencoba mengembangkan pemanfaatan running text sebagai salah satu alat yang dapat digunakan oleh Dinas Perhubungan dan Polisi Lalu Lintas untuk menginformasikan kondisi lalu lintas di waktu-waktu tertentu. Hal ini tidak akan merugikan pihak manapun, justru hal ini akan meningkatkan manfaatnya menjadi informan yang handal dalam semua aspek.

Artikel keren lainnya:

Propinsi Dengan Jumlah Kabupaten paling sedikit di Indonesia

Bukan Daerah Istiwewah Jogjakarta yang memiliki jumlah kabupaten paling sedikit, Namun Propinsi DKI Jakarta lah yang menyandang predikat ini. Propinsi DKI Jakarta memiliki luas 661,40 km persegi dengan jumlah penduduk sekitar 11.011.862 jiwa berdasarkan data per Juni 2019.

Propinsi dibawah kepemimpinan Anies Baswedan ini terbagi atar 5 wilayah kota administrasi dan 1 kabupaten administrasi. Perbedaan wilayah kota administrasi dan kabupaten administrasi dengan wilayah kabupaten dan kota secara umumnya adalah terletak pada sifatnya. Daerah-daerah yang menyandang label administrasi tidak memiliki perangkat seperti DPRD, sehingga inilah keunikan yang dimiliki oleh wilayah di DKI Jakarta. Dengan demikian maka jabatan bupati dan walikota diangkat langsung oleh gubernur.

Adapun satu-satunya wilayah kabupaten administrasi yang ada di DKI Jakarta adalah Kabupaten Kepulauan Seribu dengan Pulau Pramuka sebagai pusat pemerintahannya dan dipimpin oleh Bupati sebagai kepala daerah. Sedangkan 5 Kota administrasi lainnya adalah Kota Jakarta Timur, Kota Jakarta Barat, Kota Jakarta Utara, Kota Jakarta Selatan dan Kota Jakarta Pusat. Semuanya dipimpin oleh walikota sebagai kepala daerah.

Penduduk di Propinsi DKI Jakarta di dominasi oleh penduduk yang berusia rata-rata 30 sampai 39 tahun, ini menunjukkan bahwa propinsi DKI Jakarta merupakan salah satu propinsi yang paling produktif.

Propinsi terbanyak wilayah Kabupatennya

Sementara itu, propinsi di Indonesia yang paling banyak wilayah Kabupatennya adalah Propinsi Jawa Timur dan Propinsi Jawa Tengah yakni 29 Kabupaten. Propinsi Jawa Timur Memiliki luas wilayah sebesar 48,877,57 km persegi, sedangkan Propinsi Jawa Tengah seluas 34.983,33 km persegi.

Sedangkan propinsi terluas di Indonesia yakni Papua dengan luas wilayah 316.217,14 km persegi hanya memiliki jumlah kabupaten sebanyak 28 kabupaten yang dihuni oleh 4.346.593 jiwa. Artinya kepadatan penduduk di Papua hanya 14 jiwa per kilometer persegi. Bandingkan dengan Jawa Timur sebanyak 854 jiwa serta Jawa Tengah sebanyak 1.116 jiwa.

Namun demikian, wilayah yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia masih dipegang oleh Propinsi DKI Jakarta dengan 16.586 jiwa per kilometer persegi.

Propinsi terbanyak Jomblo

Wilayah di Indonesia yang paling banyak jomblonya adalah Propinsi Papua dengan perbandingan penduduk 2.450.397 jiwa belum kawin dan 1.818.114 jiwa yang sudah kawin. Jumlah ini diluar yang berstatus cerai baik cerai hidup maupun mati. Wilayah lainnya adalah Porpinsi Sumatera Utara, Riau dan NTT.


Artikel keren lainnya:

Cara cepat mengeluarkan batu ginjal tanpa Pengobatan Medis

Penyakit batu ginjal menjadi penyakit yang setiap saat bisa menyerang setiap orang terutama laki-laki yang berusia lanjut. Penyakit ini sudah memakan banyak korban khususnya bagi yang tidak menerapkan pola hidup sehat karena pada akhirnya pergerakan batu ginjal di dalam ginjal dapat merusak sel-sel yang ada dalam ginjal.

Barusan saya mendengar penderita penyakit batu ginjal, beliau menceritakan pengalamannya saat mengeluarkan batu ginjal. Beliau menjelaskan bahwa berdasarkan hasil USG dari dokter, ginjal beliau sebelah kanan terdapat 2 biji batu yang ukurannya sudah tidak normal lagi, sehingga membutuhkan pengobatan serius.

Beliau merupakan salah seorang yang sangat takut mengkonsumsi obat-obatan medis, sehingga saat dokter memberinya resep guna mengeluarkan batu ginjalnya, beliau tidak pernah ke Apotik membeli obat berdasarkan resep tersebut, namun sebaliknya beliau menggunakan cara-cara tradisional untuk mengeluarkan batu ginjalnya. Berikut cara beliau!

A. Konsumsi kelapa hijau ( Kelapa Bawang/Mutiara )

Kelapa Hijau Membersihkan saluran pencernaan
Cara kerjanya:
1. Masak kelapa hijau (Kelapa Bawang/Mutiara) sampai mendidih, jangan dibuka kulitnya!
2. Setelah mendidih, minum air kelapanya. Bukan air yang dipakai untuk memasak
3. Sekalian dengan isinya biar lengkap (kan sayang kalau dibuang)
4. Lakukan sebelum makan
5. Atau 3 kali sehari, bisa juga lebih dari 3 kali

B. Kemudian, setelah mengkonsumsi kelapa hijau (Kelapa Bawang/Mutiara), ketika buang air kecil usahakan dalam posisi jongkok dengan paha agak terbuka lebar, tapi jangan juga terlalu lebar biar tidak ambruk

C. Dorong air kencing seperti ingin mempercepatnya. Bukan dengan tangan tetapi dengan dorongan tenaga di perut

D. Selanjutnya perbanyak minum air putih, jika perlu, lakukan setiap menit. Dengan demikian anda akan selalu buang air kecil (kencing)

E. Perbanyak duduk jongkok seperti ingin buang air besar

F. Jika sudah terasa perih atau kram atau seperti ada yang mau keluar dibawah kemaluan, maka pijat-pijat halus tujuannya untuk memperlancar jalan keluarnya dan meremukkan ujung-ujung lancipnya yang kemungkinan bisa melukai kulit pada saluran kencing atau menjadi penghalang kelancaran pergerakan batu ginjal

G. Perbanyak berdoa supaya batu ginjal segera keluar

H. Jika sudah keluar, jangan lupa untuk perbanyak minum air putih karena air putih sangat berguna untuk membersihkan ginjal dari batu-batu kecil sebelum membesar dan menimbulkan rasa sakit

Inilah pengalaman yang bisa saya bagikan berdasarkan cerita yang dialami oleh sahabat penderita batu ginjal. Semoga bermanfaat!



Artikel keren lainnya: