Di tengah tingginya sentimen negatif terhadap pemerintah, menurunnya tingkat kepercayaan msyarakat terhadap pemerintah, lemahnya penerimaan negara, pencabutan subsidi, pajak semakin tinggi dan ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola utang negara telah memicu gejolak sosial. Hal ini berdampak luas, ekonomi terganggu, politik gaduh, sampai pada kedaulatan negara tergadai, mengakibatkan program pembangunaan berjalan kurang maksimal.
Melihat situasi dan kondisi yang seperti sekarang ini maka wajarlah jika masyarakat merasa khawatir, beberapa keputusan DPR tidak dijalankan oleh eksekutif, disisi lain kebijakan pemerintah terutama terkait hajat hidup orang banyak diputuskan tanpa sepengetahuan DPR. Misal, pencabutan subsidi BBM, kenaikan TDL , impor bahan pangan, perpanjangan kontrak Freeport dan lain sebagainya.
Kekhawatiran pun semakin menjadi-jadi jika menilik semakin agresifnya pemerintah melalui berbagai perppu, berbagai tindakan kepolisian yang tidak memberi rasa adil. Hukum hanya tegak pada kelompok masyarakat tertentu, sementara kelompok lain memperoleh keistimewaan berupa perlindungan hukum.
Pada masa lalu, semua lembaga negara saling bersinergi, saling menguatkan dan selalu menjaga komunikasi sehingga tetap taat pada etika maupun etiket dalam bernegara. Pejabat negara selalu menjaga lisannya, menjaga amanah dengan baik, bekerja untuk semua kelompok dan lain sebagainya.
Sangat berbeda apabila dibandingkan dengan sekarang ini, tong kosong nyaring bunyinya. Pencitraan bunyi dimana-mana, kekuasaan begitu dominan mengakibatkan kehidupan bernegara menjadi terganggu. Semangat kebhinekaan dan toleransi menjadi isu politik yang paling ampuh untuk membungkam kelompok lain. Di sini semangat berdemokrasi dipertanyakan!
Negara wajib memiliki pemerintahan, pemerintahan merupakan sistem yang dibangun atas dasar kebersamaan guna menjamin kehidupan bernegara. Pemerintahan lahir melalui semangat berdemokrasi, olehnya itu ketika demokrasi terganggu atau demokrasi menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan maka sistem pemerintahan tidak dapat berjalan normal. Olehnya itu diaturlah sistem ketatanegaraan untuk menjamin setiap warga negara mendapatkan keadilan.
Akan tetapi ketika pemerintah yang berkuasa melakukan tindakan dengan menabrak sistem tersebut, itu menunjukkan bahwa negara sedang mengarah pada sistem monarki, walaupun berbungkus demokrasi.
Sudah pasti dapat menimbulkan gejolak sosial yang mengganggu jalannya pemerintahan. Untuk bisa menjalankan program kerjanya, pemerintahan seperti ini biasanya menggunakan isu-isu sensitif dengan harapan baik kontrol maupun pengawasan terhadap kebijakan yang menyimpang luput dari perhatian publik.
Apa yang terjadi saat ini sudah memberi gambaran, isu sara sengaja dikembangkan. Inilah sehingga negara kita selalu gaduh, disisi lain pemerintah justru melakukan tindakan yang tidak populis seperti pencabutan subsidi BBM, perpanjangan kontrak Freeport, kriminalisasi ulama, terbitnya beberapa perppu yang membuat rancuh hukum pada sistem ketatanegaraan, perlindungan hukum bagi kelompok tertentu, utang yang tidak jelas peruntukannya dan lain sebagainya.
Strategi ini merupakan produk lama, dimasa kerajaan, strategi ini cukup ampuh untuk membungkam rakyat jelata sehingga mereka mau menyerahkan upeti, tenaga, waktu bahkan hidupnya kepada penguasa saat itu. Perbedaannya, waktu itu menganut sistem monarki sedangkan sekarang menganut sistem demokrasi modern.
Adalah suatu kemunduran apabila demokrasi yang diperjuangkan dengan susah payah ini harus kembali ke masa lampau. Sistem monarki atau kekuasaan bersifat absolut tidak akan pernah berhasil bila diterapkan di negara demokrasi. Mungkinkah neraca keuangan negara yang negatif ini adalah dampak dari dipaksakannya sistem monarki? Andaikan benar maka untuk menutipi defisit anggaran harus melalui utang G to G atau melalui cara lain seperti terbitnya SUKUK dan SUN berjangka juga bernama utang.
Belum ada tanggapan untuk "Tolong Berhentilah berlindung di balik isu sensitif"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung