Beranda · Pendidikan · Politik · Pemerintahan · Kesehatan · Ekonomi · Life · Manajemen · Umum

Beginilah jika konstitusi tidak ditegakkan sesuai dengan ukuran, nilai, tempat dan manfaatnya

Sebuah Negara yang menghimpun sejumlah manusia dengan segala kepentingan, kebutuhan dan keinginannya membutuhkan sebuah alat yang bisa mempersatukannya. Adalah rasa keadilanlah yang menjadi satu-satunya alat yang dapat di terima oleh semua orang. Keadilan apabila ditegakkan sesuai dengan aturan yang disepakati bersama tanpa memandang asal kelompok, ras maupun agama, maka dapat menciptakan nuansa persatuan dan kesatuan dalam ikatan kebhinekaan tunggal ika.

Para pendiri bangsa Indonesia telah memikirkan ini, sehingga dalam salah satu point dasar Negara kita menyebutkan bahwa “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Kalimat ini tidak hanya slogan semata tetapi  mengandung pesan yang mesti dilakukan oleh negara, pesan ini juga dapat dikatakan sebagai kewajiban para pemimpin guna memberikan rasa nyaman dan aman serta berkeadilan kepada semua warga Negara Indonesia. Kebijakan dan program pemerintah dibuat semata-mata untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia bukan untuk kepentingan kelompok tertentu, artinya pemerintah harus menjamin pemerataan pembangunan dengan mempertimbangkan rasa keadilan.

Membangun Negara tidak hanya menyangkut persoalan ekonomi, namun membangun Negara menyangkut semua aspek kehidupan. Pembangunan harus ditegakkan dengan rasa adil dan menyeluruh sehingga hasil-hasil yang dicapai dapat memperkuat kedaulatan bangsa dan memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Tujuan utama pembangunan adalah untuk menciptakan kesejahteraan kepada seluruh warga Negara Indonesia, bukan untuk memberi peluang warga Negara lain menguasai semua aspek kehidupan yang ada di Indonesia.

Para pemikir dan pendiri bangsa memiliki pandangan yang sangat luas, menjangkau masa lalu dan masa depan. Konstitusi yang mereka rumuskan sudah cukup menjadi pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara karena dasar lahirnya konstitusi Negara adalah kepribadian asli bangsa kita. Konstitusi kita merupakan penyatuan semua unsur mulai dari ras, agama, bahasa, budaya dan norma serta etik dan etika semua suku bangsa yang menyatu dibawah panji Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pemerintah dan semua elemen yang ada di Negara ini wajib hukumnya untuk selalu berpedoman pada konstitusi. Keluar dari pedoman dimaksud akan berdampak luas, dampaknya dapat menimbulkan ketidakadilan, yang pada gilirannya sangat berbahaya bagi keselamatan NKRI. Keselamatan Negara menjadi terancam, kelompok-kelompok tertentu akan merasa teraniaya untuk kemudian timbullah gejolak politik yang dapat menimbulkan disintegrasi bangsa.

Mengabaikan konstitusi, mengubah konstitusi, bahkan mempermainkan konstitusi akan melahirkan ketidakadilan, menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat kepada para pemimpinnya seperti situasi yang terjadi sekarang, menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat, masing-masing menganggap dirinya benar tanpa ada yang bisa memoderasi, hukum tidak dapat ditegakkan, semua alat Negara menjadi tangan-tangan kekuasaan karena digerakkan berdasarkan kepentingan kelompok tertentu dengan tujuan mempertahankan kekuasaan. Pemerintah bertindak berlebihan terhadap rakyatnya karena dianggap mengancam kekuasaanya, rakyat mudah terprovokasi karena ketidakpercayaannya terhadap pemerintah sebab pemerintah tidak lagi bertindak sebagai pengayom dan pelindung, pemerintah tidak lagi menjadi tumpuan hidup dan kehidupan bernegara melainkan hanya mewakili kelompok tertentu saja, semua ini akan berujung para “revolusi” kepada pemerintahan yang sah.

Saatnya bagi kita untuk menjaga keutuhan NKRI, kembalikan roh dan semangat para pahlawan saat mereka berjuang demi kemerdekaan. Mereka telah berjuang mengorbankan nyawa dan harta bendanya, mereka telah mengorbankan semua kenikmatan demi anak cucunya. Mereka tidak pernah membayangkan nilai-nilai perjuangannya melahirkan ketidakadilan di negeri ini. Karena mereka tahu bahwa ketidakadilan merupakan sumber lahirnya perpecahan, penghianatan, dan lain sebagainya. Mereka pula hanya tahu bahwa negeri yang mereka bangun dan perjuangkan akan menjadi rumah idaman bagi anak cucunya, bukan diperjualbelikan atau diserahkan kepada orang lain. Mereka tahu bahwa semua sumber daya alam yang ada dinegeri ini merupakan harta kekayaan yang akan dinikmati oleh anak cucunya bukan oleh orang lain. 

Untuk mewujudkan semua itu, maka Negara harus berdaulat, pemerintahannya berdaulat, rakyatnya pun berdaulat. Maka “keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia” harus ditegakkan dengan sepenuh hati yang dijiwai oleh “Ketuhanan yang Maha Esa”. Maka kemudian akan lahir semangat “Persatuan Indonesia”, tentunya setiap langkah dan tindakan harus memperhatikan prinsip “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Keputusan-keputusan yang diambil harus selalu dilakukan berdasarkan “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyaratan/perwakilan” dalam bingkai “kebhinekaan tunggal ika”.

Artikel keren lainnya:

Download video finalis Lomba Tari kreasi FLS2N Tingkat Nasional di Manado

Tahun 2016, Manado menjadi tuan rumah FLS2N lomba tari tingkat kreasi nasional. Para peserta merupakan tim terbaik dari daerahnya masing-masing. Secara umum, semua peserta memiliki kualitas yang sama, rata-rata mengambil tema tantang lingkungan karena memang FLS2N khususnya lomba tari yang dilaksanakan di Manado mengambil tema tentang lingkungan hidup.

Berikut beberapa video peserta FLS2N tingkat Nasional di Manado yang berhasil kami himpun. Walaupun hanya menggunakan perangkat HP, namun tidak mengurangi kualitasnya. Sebaliknya berdasarkan video ini, bagi para guru yang bertindak sebagai Pembina kegiatan eskul di sekolah dapat menjadi referensi untuk meningkatkan kreasinya khususnya dalam bidang seni tari.

Tari Kreasi FLS2N Tingkat Nasional di Manado Part 9
Tari Kreasi FLS2N Tingkat Nasional di Manado Part 10



Artikel keren lainnya:

Pengaruh arisan keluarga terhadap makna silaturahmi bagi para pesertanya

Setiap organisasi baik itu tingkat keluarga, organisasi, instansi maupun kerabat atau pertemanan tidak terlepas dari kegiatan arisan keluarga. Arisan keluarga dapat dimaknai sebagai tindakan atau kegiatan saling bantu membantu atau tolong menolong yang dilaksanakan secara berkala kepada semua peserta arisan, biasanya dapat berupa uang, barang dan jasa.

Kegiatan ini dilaksanakan dengan maksud untuk meningkatkan hubungan silahturahmi sesama anggota, mempererat ikatan kekeluargaan dan menumbuhkan jiwa sosial anggota. Begitu pentingnya sehingga hampir semua komunitas menjadikan kegiatan arisan keluarga sebagai bagian dari program utama. 

Pada prinsipnya, semangat yang dibangun melalui kegiatan arisan keluarga bukan besar kecilnya uang, benda dan jasa yang diberikan melainkan seberapa besar pesan rasa, cipta dan karsa yang tercermin melalui kegiatan ini.

Akan tetapi pada perkembangannya, kegiatan ini sudah jauh melenceng dari tujuan dan semangatnya. Persaingan antara anggota atau peserta terasa kental, mulai dari pakaian, makanan yang selalu wajib tersedia sampai dengan pamer harta benda.

Pergeseran gaya hidup ini cukup meruntuhkan pemahaman dan keinginan sebagian orang untuk bergabung menjadi peserta arisan keluarga. Nilai-nilai sosial yang seharusnya ditumbuhkembangkan menjadi pudar, hal ini terjadi akibat besarnya pengaruh gaya hidup liberal yang sangat individualistik.

Masyarakat lebih memandang kegiatan ini hanya untuk mencukupi kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi sendiri. Pola pikir inilah yang berkembang, pola pikir ini jika dibiarkan dapat mempengaruhi kualitasi dan kuantitas hubungan silaturahmi. Bahkan dapat menjurus pada fitnah apabila tidak dikelola dengan baik.

Atas dasar itulah, maka sebaiknya para pemimpin dan peserta arisan keluarga mulai membangun komitmen dan mengembalikan semangat dan motivasi tujuan dilaksanakannya kegiatan ini sebelum situasi mengarah pada bentuk persaingan negatif.

Artikel keren lainnya:

Sejarah Kabupaten Malinau masa lalu hingga jaman sekarang

Di masa lalu, Malinau pernah merupakan bagian dari kesultanan Bulungan dan kesultanan Berau, dengan dua raja Tidung bertahta di wilayah ini. Pada waktu itu, dari akhir tahun 1800-an sampai awal 1900-an, raja-raja Tidung memperoleh hak kepemilikan gua-gua sarang burung walet, yang disahkan oleh Sultan Bulungan (Sellato, 2001). 

Pada tahun 1919, tentara Belanda mendirikan pos di Malinau Kota. Seperti juga di daerah lain, Belanda memaksakan ‘ketertiban’ dengan menetapkan batas kampung dan kepemilikan sumberdaya, untuk mengenalkan dan mengokohkan konsep kewilayahan. Belanda juga mencampuri urusan struktur adat dengan menunjuk kepala adat besar di atas kepala adat. Pada tahun 1935, Belanda membentuk Majelis Kerapatan Besar Tanah-tanah Tidung, yang terdiri dari kepala adat Merap, Tidung, dan empat kelompok lainnya (Sellato, 2001).

Sebelum adanya kesultanan dan kerajaan-kerajaan kecil, masyarakat diatur melalui struktur kepemimpinan adat. Beberapa di antaranya lebih hirarkis daripada yang lainnya. Walau demikian, semuanya menerapkan kendali sosial dan konsultasi secara berkala terutama dalam lingkaran inti, tokoh masyarakat untuk mengatur kelompok dan menyelesaikan konflik. Konflik atau ketidakpuasan yang tidak dapat diselesaikan oleh kepala adat diselesaikan dengan membagi kelompok, sebagian kelompok pindah ke pemukiman baru, atau (dalam kasus kelompok luar) melalui kekerasan. Perkawinan atau aliansi dagang digunakan untuk membentuk hubungan dengan kelompok-kelompok luar.

Hak masuk ke wilayah desa ditentukan oleh aliansi etnis atau perdagangan ini, selain pada penghormatan atas kewenangan adat, permintaan izin dan persetujuan lisan, walaupun masyarakat sering memasuki DAS untuk berburu atau mengumpulkan hasil hutan tanpa izin. Sungai dan puncak gunung digunakan sebagai tanda batas. Ada kalanya kepala adat meminta upeti (fee) dari kelompok luar yang bermaksud mengumpulkan hasil hutan di wilayah mereka. Beberapa bukti menunjukkan bahwa di daerah hulu Malinau, kepala adat besar Merap, yang dulunya disebut Kepala Besar, menjadi penguasa setempat bersama dengan kerajaan-kerajaan Tidung pada sebagian besar abad ke 20 (Sellato, 2001).

Walau sering diklaim sebagai bagian dari Bulungan, wilayah Malinau dan kelompok-kelompok hulu lainnya independen dan tidak terkena wajib upeti. Mereka bebas berdagang dengan desa-desa di daerah hilir. Menjelang akhir 1800-an, dua kerajaan kecil Tidung membangun pusat kegiatan di Malinau (Sellato, 2001). Belanda lalu membangun kantor administratif di Malinau dan dari sini menaklukkan wilayah hulu, Apo Kayan dan Bahau Pujungan pada tahun 1925.

Kemerdekaan membawa perubahan dan aturan baru, termasuk UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Dengan UU ini, desa-desa harus mengikuti model nasional ‘desa’ di mana kepala desa bertanggungjawab kepada pemerintah, bukan kepada masyarakat. Masyarakat harus terdaftar dan menetap. Di Malinau, pemerintah Bulungan menetapkan pemukiman sebagai desa, walaupun mereka tidak memenuhi kriteria sebagai ‘desa’ sebagaimana ketetapan undang-undang. Namun pemukiman suku Punan tidak pernah ditegaskan secara formal (Barr dkk, 2001). 

Di masa itu, pemerintah juga mendorong pemindahan kelompok kecil masyarakat terpencil dari hulu ke bagian hilir. 
Perpindahan ke Malinau ini berlangsung dari tahun 1970 sampai tahun 1990 (Rhee, 2000; Anau dkk, 2001); sehingga penduduk Malinau terdiri dari beberapa kelompok etnis. Yang menarik adalah bahwa seluruh desa ikut dipindahkan – bukan hanya penduduknya, tapi juga status dan struktur administrasinya. Selain itu, mereka tetap merupakan kesatuan yang berbeda walaupun telah tinggal di wilayah desa lain. Jadi, di DAS Malinau ada beberapa pemukiman yang berisi lebih dari satu desa, di mana setiap desa dihuni oleh kelompok etnis yang berbeda.

Munculnya Orde Baru diiringi dengan penekanan pada pembangunan ekonomi, terutama melalui eksploitasi besar-besaran sumberdaya alam. Sumberdaya dikuasai oleh pemerintah pusat dan hak formal penggunaan hutan (Hak Pengusahaan Hutan atau HPH) diberikan pada beberapa perusahaan kayu besar. Malinau dibuka untuk pembalakan. Walaupun masyarakat lokal secara formal tidak mempunyai hak, secara de fakto hak adat diakui dan HPH seringkali memberi masyarakat kebebasan tertentu. Kadang-kadang HPH bernegosiasi secara langsung dengan penduduk desa untuk menetapkan lokasi perladangan gilir-balik boleh dikerjakan dan letak bidang-bidang kecil hutan desa (Barr dkk, 2001).

Kondisi ini berlangsung sampai perubahan yang dimulai tahun 1997. Pembentukan Kabupaten Malinau dan diberlakukannya UU Otonomi Daerah telah merubah tataran politik, ekonomi, dan sosial Malinau secara dramatis. Ketika otonomi daerah diberlakukan tahun 2000, pemerintah kabupaten mengeluarkan izin IPPK yang mewajibkan perusahaan kayu bekerjasama dengan masyarakat local.

Pemberian IPPK mendorong banyak klaim masyarakat atas hutan berdasarkan batas-batas desa dan lahan pertanian. Banyaknya tumpang tindih kawasan IPPK dengan kawasan HPH yang masih aktif; menambah kerumitan konflik. Masyarakat memahami otonomi daerah sebagai pemulihan hak-hak adat mereka, dan memang Amandemen UUD pada tahun 1998 secara eksplisit mengakui hak-hak adat (TAP MPR IX/2001). Setelah bertahun-tahun secara pasif menderita kehadiran HPH yang mengeksploitasi hutan mereka, masyarakat kini secara aktif menyatakan kepemilikan mereka atas sumberdaya. Hal ini diperkuat oleh sikap pemerintah kabupaten, yang selama beberapa dasawarsa menyaksikan pendapatan daerah dari sumberdaya alam mengalir ke pemerintah pusat. Satu komentar umum adalah: ‘Sekarang giliran kami untuk menikmati manfaat dari sumberdaya alam kami.’ Akibatnya, kini masyarakat leluasa dan terkadang dengan memaksa, menuntut kompensasi atau bagian dari keuntungan. Sekarang, perusahaanlah yang membutuhkan perlindungan hukum.

Artikel keren lainnya:

Pengaruh desentralisasi terhadap kesejahteraan warga di sekitar hutan dalam hal pengelolaan dan program kehutanan

Ada dua bentuk desentralisasi yang sangat berbeda implikasinya terhadap pengaruh dan kesejahteraan warga di dalam dan di sekitar hutan. 

Yang pertama adalah program kehutanan masyarakat yang didorong pusat, yaitu pemberian hak berkegiatan kehutanan oleh instansi kehutanan pusat atau tingkat menengah kepada kelompok masyarakat (atau agroforestri). Contohnya antara lain pengelolaan hutan bersama di India, kehutanan social terpadu di Filipina, kehutanan masyarakat di Kamerun, konsesi hutan bagi warga asli Bolivia, dan kehutanan ejidos di Meksiko.

Bentuk yang kedua adalah pengelolaan lokal, yaitu penyerahan wewenang administrasi dan pengambilan keputusan di berbagai sektor secara resmi dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pemerintah daerah memperoleh kewenangan yang sebelumnya berada di pusat, disertai alokasi keuangan dari pusat dan pendapatan daerah dari pajak, retribusi, dan royalti daerah. Tingkat wewenang, tanggung jawab, dan keuangan setiap sector berbeda-beda di setiap negara dan pengelolaan hutan tidak selalu didesentralisasikan penuh ke pemerintah daerah (Ribot dan Larson, 2005). Desentralisasi biasanya ditetapkan pada satu atau dua tingkat di atas masyarakat, seperti kepada panchayats di India, municipios di Bolivia, dan kepada distrik di Uganda. 

Terlepas dari kesamaan asalnya, program kehutanan masyarakat secara terpusat dan pengelolaan lokal sangat berbeda dalam implikasinya terhadap warga lokal. Berlawanan dengan pengelolaan hutan kemasyarakatan, kebijakan pengelolaan bersama atau devolusi, yang berupaya mempertahankan kontrol atas keputusan penting serta manfaat di sector kehutanan (Sarin dkk., 2003), desentralisasi memberi peluang keterlibatan pengguna hutan dalam kegiatan politik yang lebih luas dan mempengaruhi negara, termasuk dominasi historisnya atas kayu dan lahan hutan.

Dari cirinya, pengelolaan lokal memungkinkan kelompok masyarakat local mempengaruhi secara informal maupun formal. Tata kelola lokal membangun arena perjuangan baru yang mendorong organisasi sosial dan keterlibatan politik pada tingkat menengah (Shue, 1994). Batas antara negara dan masyarakat lebih samar dan lebih cair karena desentralisasi. Dengan demikian desentralisasi dapat berfungsi sebagai pemersatu negara dengan masyarakat seraya memupuk perjuangan di antara mereka. Saling ketergantungan tersebut menciptakan tantangan dan peluang yang khusus bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar wilayah hutan.

Pertama, terbentuknya pemerintah setempat meningkatkan kehadiran negara di tingkat lokal. Bila kehadiran di tingkat lokal disertai dengan kewenangan yang kuat, kemampuan masyarakat hutan untuk bertindak secara semi-otonom akan berkurang. Namun, masyarakat harus terlibat lebih langsung dengan negara untuk menjaga pengaruhnya atas pengelolaan hutan serta lebih berpengaruh dalam urusan kepemerintahan. Masyarakat lokal berpeluang lebih besar untuk terhubung dan membina hubungan pribadi dengan para pejabat lokal.  Para pejabat dengan wewenang yang besar akan terserap dalam hubungan sosial di tingkat lokal, beserta berbagai peluang dan kewajiban di dalamnya. Pemerintah lokal dapat terdiri dari masyarakat setempat, yang harus pandai berbagi peran. Dalam situasi seperti itu, batas antara masyarakat dan negara menjadi sangat cair. Namun kekuatan sosial tidak selalu terbentuk untuk mencapai tujuan yang sama dan bisa memiliki kepentingan yang sangat berbeda.

Menguatnya keterkaitan adalah seperti pedang bermata dua. Para elit lokal bias mengkooptasi atau berkolusi dengan pemerintah demi kepentingan sendiri, termasuk merebut sumberdaya pemerintah bagi kaum miskin (Etchevery-Gent, 1993). Untuk memperkuat pemanfaatan keterkaitan ini, negara harus cukup kuat untuk melindungi masyarakat dari kerakusan para elit, maupun ketidakadilan pasar. Namun masyarakat juga harus cukup kuat untuk ‘menerapkan wewenang sipil mereka atas urusan publik’ (Antlöv, 2003, hal.73). Meningkatnya kehadiran serta keterkaitan negara akan paling terasa bagi masyarakat yang secara fisik dekat dengan pemerintah daerah. Bagi masyarakat di daerah terpencil, perubahan yang ada mungkin tidak begitu terasa.

Kedua, desentralisasi dapat menyebabkan perpecahan dan melemahkan negara (Kohli, 1994), terutama selama proses transisi kebijakan. Agar negara tetap dominan dibutuhkan hubungan horisontal dan vertikal yang efektif di antara pemerintah daerah. Bila hubungan tersebut tidak ada, pemerintah daerah akan bertindak seperti pihak semi-otonom seperti dijelaskan di muka. Di Indonesia, pemerintah daerah, dinas kehutanan, dan Departemen Kehutanan sering bertindak seolah tidak ada pihak lain. Negara yang terpecah memudahkan korupsi pemerintah daerah dan sektor swasta karena pejabat lokal bisa mengabaikan hokum nasional tanpa takut terkena sanksi (Resosudarmo, 2003; Smith dkk.; 2003).

Ketiga, salah satu sumber kekuatan sistem pemerintahan sentralistik terletak pada sifat hubungan yang tidak personal (Kohli, 1994). Desentralisasi lebih mendekatkan Negara karena para pejabat terikat hubungan kekerabatan dan sejarah pribadi, pertemanan, saling ketergantungan ekonomi, norma budaya, dan hubungan kekuasaan setempat dengan masyarakat lokal. Meskipun hal ini mengurangi kekuasaan negara dan lebih memungkinkan kooptasi pejabat setempat, hubungan pribadi itu juga dapat lebih memudahkan Negara dan masyarakat berhubungan, mendorong komunikasi, pemahaman, dan pelibatan yang setara.

Keempat, faktor-faktor desentralisasi, negara yang lemah, serta pulihnya nilai tradisional dan identitas masyarakat asli memungkinkan kelompok tradisional atau budaya lokal menjadi lebih diakui secara politis, terutama bila skala pengaruhnya sama dengan pengaruh pemerintah daerah. Kecenderungan ini memperkuat hubungan pribadi antara masyarakat lokal dan para pejabat dan memaksa pemerintah daerah membangun aliansi dengan kelompok-kelompok tersebut, terutama yang paling berpengaruh. Ketika terjadi kekacauan perimbangan kekuasaan atau ketegangan antar-kelompok, pejabat local mungkin tidak mampu menjaga kestabilan kekuasaan politis.

Kelima, desentralisasi membatasi peluang masyarakat mengorganisasi prakarsa politis dalam skala besar namun meningkatkan peluang mengorganisasinya di tingkat lokal. Hal itu akan melahirkan tatanan politik lokal dengan wewenang dan kapasitasnya sendiri. Pemerintah lokal maupun kekuatan sosial mencari cara penggalangan dan mobilisasi masyarakat dan sumberdaya untuk meningkatkan pengaruh. Arena dan sarana pelibatan di tingkat lokal menjadi lebih penting daripada di tingkat nasional. Di kawasan hutan, masalah pembangunan ekonomi dan sosial dirasa lebih penting daripada masalah nasional keanekaragaman hayati, hak kekayaan intelektual, dan pendapatan devisa negara.

Keenam, munculnya tatanan politik lokal dicirikan oleh ketegangan yang ikut mendukung konflik dan ketidakstabilan kambuhan dan mendorong terjadinya penyesuaian dan pergeseran kekuasaan. Ketegangan timbul dari posisi pemerintah daerah yang berada di antara pemerintah pusat dan masyarakat lokal. Kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah rentan berkonflik. Tatanan politik lokal yang lebih kuat akan menyulitkan dominasi pemerintah pusat. Namun, ketergantungan antara pusat dan daerah tetap kuat, keduanya saling ingin memiliki sumberdaya pihak lain. Di wilayah hutan, pemerintah pusat enggan menyerahkan pendapatan dari kayu dan produk hutan yang bernilai tinggi, sedangkan pemerintah lokal memerlukan pasar, keahlian, dan modal yang tersedia di pusat.

Semua keadaan itu menciptakan peluang bagi masyarakat hutan lokal untuk mempengaruhi negara dengan cara yang baru, gabungan antara jalur formal dan informal. Jalur informal melalui keterlibatan langsung, hubungan pribadi, wewenang tradisional atau adat, dan organisasi politik lokal yang baru; sedangkan mekanisme formalnya melalui pemilihan umum atau pun partisipasi dalam dengar pendapat publik. Tatanan politik lokal menyebabkan gaya pengelolaan hutan a la Weber menjadi usang. Kontrol maupun monopoli oleh negara tidak bersifat absolut. Negara maupun masyarakat tidak bisa saling mendominasi. Pengelolaan menjadi bersifat multi-kutub, multi-lapis, dan bercirikan adanya berbagai pertarungan. Desentralisasi memungkinkan masyarakat lokal dan pemerintah bisa berbagi kekuasaan dengan lebih baik, tetapi juga rentan oleh tidak pastinya kekuasaan. 

Artikel keren lainnya:

4 Konotasi pembangunan politik secara geografis, deveriatif, teologis dan fungsional

Hungtinton dan Dominguez (dalam Afan Gaffar, 1989) konsep pembangunan politik dikatakan mempunyai konotasi secara geografis, deveriatif, teologis dan fungsional:

  1. Pembangunan politik dalam konotasi geografis berarti terjadi proses perubahan politik pada Negara-negara sedang berkembang dengan menggunakan konsep-konsep dan metoda yang pernah digunakan oleh Negara-negara maju, seperti konsep mengenai sosialisasi politik, komunikasi politik dan sebagainya. 
  2. Pembanguna politik dalam artri derivative dimaksudkan bahwa pembangunan politik merupakan aspek dan konsekuensi politik dari proses perubahan yang menyeluruh, yakni modernisasi yang membawa konsekuensi pada pertumbuhan ekonomi, urbanisasi, peningkatan pendidikan, media massa, perubahan status sosial dan aspek-aspek lainnya. 
  3. Pembangunan politik dalam arti teologis dimaksudkan sebagai proses perubahan menuju pada suatu atau beberapa tujuan dari sistem politik. Tujuan-tujuan itu misalnya mengenai stabilitas politik, integrasi politik, demokrasi, partisipasi, mobilisasi dan sebagainya. Juga termasuk didalamnya tujuan pembangunan suatu bangsa meliputi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerataan, demokrasi, stabilitas dan otonomi nasional. (Hungtington dalan Ramlan Surbakti, 1992) 
  4. Pembangunan politik dalam makna fungsional diartikan sebagi suatu gerakan perubahan menuju kepada suatu sistem politik ideal yang ingin dikembangkan oleh suatu Negara misalnya Indonesia ingin mengembangkan system politik demokrasi konstitusional.


Dengan mengeksistensikan budaya politik masyarakat lebih mengenal atau memahami nilai-nilai politiknya yang kemudian akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku politik masyarakat. Dengan demikian pembangunan politik dalam masyarakat serta dapat menyalurkan aspirasi-aspirasinya dengan benar sesuai dengan budaya politik yang dipahaminya. Dalam pelaksanaan pembangunan politik ini dapat dilihat akan makin tingginya kesadaran politik masyarakat, karena masyarakat yang telah memahami budaya politik itu dengan sendirinya bertanggung jawab akan kelangsungan pembangunan politik.  Dengan kata lain budaya politik merupakan landasan pelaksanaan pembangunan politik dan juga merupakan mata rantai diantara system politik.

Artikel keren lainnya: